“Semoga kau bermimpi indah, sayang.” Kuraba sekali lagi nisan itu, kemudian beranjak pergi.
***
“Ambilkan minum, cepat!” bentaknya
Kusodorkan segelas air, yang langsung dihabiskannya.
“Kau harus makan,” ucapku
“Kau cerewet sekali sih, aku tidak lapar!” teriaknya
“Tapi kau harus makan,” ucapku lagi, sambil memandangi tubuh ringkihnya yang tergolek di atas dipan di sudut ruangan.
“Krrriuuuk…!” sebuah suara nun jauh di kedalaman perutnya yang menyahut. Kupandang lagi wajahnya. Akhirnya dia mengangguk lemah.
“Impian terbesarku saat ini hanyalah, ingin segera mati…” ucapmu lesu.
Aku hanya tersenyum samar sambil tak berhenti menyuapinya.
Senja datang, dan dia paling suka menikmatinya sambil minum teh tubruk. Kubuka jendela kamarnya.
“Minumlah, mumpung masih hangat,” tawarku.
“Terima kasih, duduklah di sampingku!”
Aku mengangguk dan menghampirinya. Dia meminum tehnya perlahan.
“Kalau aku mati, apakah kau akan tetap mengingatku?” tanyanya santai.
Aku mengangguk lagi sambil memandang lekat-lekat matanya. Kami terdiam. Sunyi.
Senja semakin merah, daun-daun pohon Kamboja menari mengikuti kemana arah angin bertiup. Kesejukan senja selalu membawa kedamaian di sudut hati yang paling dalam.
Dia meminum tehnya hingga tetes terakhir, dan…
“Kau…” pekiknya terbata, seraya kedua tangannya memegangi leher.
“Bukankah ini adalah impian terbesarmu, sayang?” ucapku lembut
“Kau…” ucapnya lagi untuk yang terakhir kalinya sebelum tubuhnya lunglai, dan kemudian kaku.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community disini
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H