Senja datang, dan dia paling suka menikmatinya sambil minum teh tubruk. Kubuka jendela kamarnya.
“Minumlah, mumpung masih hangat,” tawarku.
“Terima kasih, duduklah di sampingku!”
Aku mengangguk dan menghampirinya. Dia meminum tehnya perlahan.
“Kalau aku mati, apakah kau akan tetap mengingatku?” tanyanya santai.
Aku mengangguk lagi sambil memandang lekat-lekat matanya. Kami terdiam. Sunyi.
Senja semakin merah, daun-daun pohon Kamboja menari mengikuti kemana arah angin bertiup. Kesejukan senja selalu membawa kedamaian di sudut hati yang paling dalam.
Dia meminum tehnya hingga tetes terakhir, dan…
“Kau…” pekiknya terbata, seraya kedua tangannya memegangi leher.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!