Judul Buku : Ikan Adalah Pertapa
Penulis : Ko Hyeong Ryeol
Penerjemah : Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Tahun Terbit : 2023
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tebal : xxiii + 259 halaman
Jika berbicara perihal Korea Selatan atau biasa kita kenal dengan sebutan negeri ginseng, pikiran kita akan tertuju kepada negara yang diimpikan dan diidamkan oleh para kawula muda. Keindahan dari Korea Selatan seakan-akan memberikan kesan tersendiri bagi penduduk Indonesia. Namun, ihwalnya suatu negara yang dipimpin dan diduduki oleh seorang manusia, tentunya memiliki keelokan yang akan selalu beriringan dengan sisi kelam nan memprihatinkan. Kondisi tersebut pada akhirnya memang bisa kita rasakan dan sadari secara langsung. Begitu juga dengan seorang penyair asal Korea Selatan, bernama Ko Hyeong Ryeol yang menyadari dan merasakan kondisi tersebut juga terjadi di negaranya, dengan kesigapan dan ketajaman mata, ia merekam kondisi tersebut dan menuangkannya ke dalam karya sastra, yaitu puisi.
"Puisi hadir bukan untuk dirinya sendiri. Ia hadir tanpa bisa melepaskan diri dari kepeduliannya akan realitas sosial". Demikian ungkapan penerjemah antologi puisi Ikan adalah pertapa, Nenden Lilis Aisyah. Memang begitulah kehadiran puisi, ia berlayar merefleksikan keadaan yang benar-benar terjadi di tengah kehidupan masyarakat, kelahirannya melambangkan bentuk kejujuran yang disalurkan oleh nurani untuk menyadarkan insan dan meluruskan jalan. Kenyataan sosial inilah yang menjadi landasan seorang sastrawan dalam melahirkan karya-karyanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa sastra tidak hanya perihal estetika semata, melainkan juga respon terhadap kenyataan sosial, politik, dan budaya.
Kita bisa melihat fenomena tersebut dengan munculnya aliran romantisme di eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Munculnya aliran tersebut merupakan respon dari adanya situasi revolusi industri yang terjadi di inggris dan eropa. Situai tersebut pada akhirnya merubah pola kehidupan dan kebudayaan masyarakat, lalu revolusi Prancis pada tahun 1789 yang menumbangkan sistem monarki dan menggantinya dengan pemerintahan yang didasarkan pada kekuasaan rakyat ("Catatan Penerjemah", Nenden Lilis A., hlm 219). Selain itu juga, bentuk respon terhadap perkembangan teknologi cetak pada abad ke-18 yang membuat penyebaran dari karya sastra dan seni lebih mudah dan cepat, sehingga menciptakan pasar baru yang lebih agung dan meningkatkan permintaan terhadap karya-karya yang baru dan berbeda dari karya sebelumnya.
Begitu pula dengan Korea Selatan, kemunculan sastra aliran kiri, dan aliran nasionalis adalah bentuk dari respon sastrawan terhadap situasi yang sedang terjadi di negerinya yang tentunya tidak terlepas dari dinamika sosial, politik, dan budaya. Fenomena yang terjadi memiliki ikatan kuat terhadap karya yang dilahirkan pada saat itu, terlebih kepada karakteristik itu sendiri ("Catatan Penerjemah", Nenden Lilis A., hlm 219). Maka, karya sastra yang lahir akan mewakili zamannya. Seperti halnya dengan lahirnya puisi-puisi dari penyair yang lahir di Sokcho Provinsi Gangwon tahun 1954, penyair terkenal di Korea, bernama Ko Hyeong Ryeol yang sangat peka merekam dinamika sosial, politik, budaya, sejarah, dan lingkungan alam yang terjadi di negerinya. Melalui antologi puisi Ikan adalah Pertapa yang merupakan kumpulan puisi dwi bahasa (Indonesia-Korea) dan diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah juga diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2023 dengan ketebalan 260 halaman itu, KO merekam realitas yang terjadi di negerinya untuk membangunkan kita dari mimpi dan menyadarkan kita dengan kehidupan yang sebenarnya. Puisi-puisi tersebut seolah-olah memberikan kita kacamata lain terhadap hadirnya fenomena keelokan Korea Selatan terlebih kepada budaya populernya yang sering kali menghipnotis kita dari rumit dan pahitnya dunia.
Antologi puisi ini ditujukan kepada pembaca Indonesia yang sebelumnya hanya mendapatkan gambaran Korea Selatan dari permukaan saja, puisi pada antologi ini berusaha untuk menyelami lebih dalam ke dasar persoalan masyarakat dengan goresan luka dan kepedihan, bagaikan goresan silet yang ditaburi oleh butiran garam. Keresahan, kepedihan, dan kepahitan sebuah negeri impian yang dihantui oleh warna hitam legam yang mengerikan itu memberikan kita kesadaran tentang humanisme. Walaupun persoalan itu tidak terjadi di negeri kita Indonesia, tetapi nilai-nilai yang terkandung dapat menjadi bahan refleksi.
Ko Hyeong Ryeol membagi bagian antologi puisinya dengan empat bagian yang masing-masing bagiannya diisi oleh lima belas puisi. ke enam puluh puisi yang terkumpul tersebut dapat kita ambil benang merahnya, yaitu tema yang diangkat adalah persoalan yang berkaitan dengan sejarah, politik, masalah sosial, permasalahan eksploitasi lingkungan alam, dan refleksi personal dari penyair terhadap nilai-nilai kehidupan.
Marilah kita bahas salah satu puisi yang menyoroti masalah sosial yang terjadi di Korea, yaitu puisi berjudul "Lelaki di Atas Atap Tinggi". Puisi ini berbicara tentang penderitaan atas tekanan tinggi secara sosial yang dirasakan oleh orang-orang Korea. Fenomena Hell Joseon dan kesenjangan sosial dan bunuh diri di negeri ginseng ini menjadi isu sosial yang kehadirannya tertutup oleh megahnya pembangunan infrastruktur, industri, dan gemerlapnya dunia hiburan Korea yang sudah menembus kancah internasional. Hell Joseon itu sendiri adalah istilah yang muncul dan populer sebagai bentuk keluhan dan keresahan terhadap ketidaklayakan dunia kerja yang memberikan tekanan besar pada orang-orang Korea tanpa bayaran yang setimpal. Belum lagi, terhadap persoalan lain yang sifatnya lebih tersembunyi, yaitu ketatnya persaingan sosial yang terjadi antara penduduknya menjadi faktor terjadinya kesenjangan yang terjadi di Korea, seperti persaingan yang ketat untuk masuk ke dunia pendidikan dan hiburan.
Bahasa puisi ini seolah-olah tak menunjukkan tentang sesuatu yang berkaitan dengan "kesenjangan sosial" karena penyair memperhalus bahasanya dengan menggunakan imaji yang dapat dirasakan dan personifikasi. Namun, pada diksi "Loncat", yaitu pada larik Seorang lelaki berdiri di atas atap tinggi/ Alas atap tinggi itu panas seolah membakar/ Kalau tidak terbang/ Mungkin dia loncat ke bawah/ Sepertinya tak ada jalan lain kecuali jalan itu/ Di atas atap tinggi// ("Lelaki di Atas Atap Tinggi", Ryeol, hlm 118-119) kita menjadi tercerahkan tentang kemana arah pembicaraan penyair Ko.
Penyair disini menjelaskan begitu kerasnya persaingan untuk mencapai kedudukan tinggi di Korea, kalau kedudukan itu tidak dapat dicapai tidak menutup kemungkinan bahwa bunuh diri menjadi solusi untuk mendapatkan ketenangan. Karena bagi sebagian mereka tidak ada jalan lain untuk mencapai kesejahteraan hidup selain mendapatkan kedudukan tinggi, baik itu di bidang pendidikan maupun karir.
Puisi demi puisi yang tertulis dalam antologi puisi Ikan adalah Pertapa ini tidak hanya memiliki maksud yang hanya bersifat tunggal. Namun, di setiap tanda-tanda yang terdapat di dalam puisi tersebut memiliki milyar-milyar, juta-juta makna yang berbeda dari berbagai penjuru arah. Setiap pembaca pasti memiliki interpretasi tersendiri terhadap puisi yang dibaca dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang ia rasakan. Saya sendiri sebagai pembaca puisi KO mengamini bahwasanya Ko Hyeong Ryeol adalah seorang penyair terkenal yang memiliki mata tajam bagaikan pisau dalam memotret realitas yang terjadi di negaranya, Korea Selatan. Antologi puisi ini dapat dibilang sebagai bahan bacaan yang cukup memerlukan ketajaman analisa terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Korea Selatan juga memerlukan pengetahuan yang mumpuni untuk dapat memaknai puisi demi puisinya, sehingga antologi ini cocok dibaca oleh kalangan tertentu yang memiliki ketertarikan terhadap sastra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H