RAMADHAN yang ditunggu umat Islam itu akan tiba. karena penuh dengan kebajikan yang membahagiakan.
Pada bulan tersebut tingkat kebajikan kaum Muslimin meningkat pesat bila dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain. Kaum yang lebih ber-punya memperhatikan kaum miskin yang ada di sekitar. Ikatan emosional terjalin secara menakjubkan karena setiap individu ingin mendapatkan barokah serta kemuliaan di bulan penuh ampunan. Karenanya, kendati harga beberapa bahan pokok naik drastis, dan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak masih terasa, tidak menghalangi umat Islam untuk menyambut gembira kedatangan bulan puasa ini.
Kaum Muslimin meramaikan bulan suci Ramadan dengan memperbanyak ibadah bukan hanya berpuasa dan salat malam tetapi juga dianjurkan melakukan ibadah yang berdimensi sosial. Kepedulian, kebajikan, dan keramahtamahan harus menjadi bagian aktivitas harian dalam mengisi bulan seribu bulan ini. Ramainya simbol Islam, indahnya iklim religiusitas, dan membludaknya jamaah di masjid, tak seharusnya melupakan diri kita dari pen-deritaan sesama yang sedang kesulitan. Inti diwajibkannya ibadah puasa, untuk meningkatkan kepedulian dan empati terhadap kesulitan sesama manusia sehingga mampu membentuk pribadi saleh baik ritual maupun secara sosial.
Islam adalah agama kebajikan, dan sepatutnya kaum Muslimin berbagi kebahagiaan dengan sesama, tanpa dibatasi agama dan ideologi. Artinya, siapa pun orangnya, tatkala mereka membutuhkan pertolongan, saat itu pula kita berupaya sekuat tenaga menjadi penolong bagi mereka. Ibadah puasa dapat mengantarkan kita untuk membiasakan berprilaku positif. Kalau pada bulan puasa orang bisa bersungguh-sungguh menjalankan perbuatan amal saleh maka dapat dipastikan yang bersangkutan bisa menciptakan lang-gengnya perbuatan kebajikan selama hidupnya.
Puasa atau shaum mengajarkan kita untuk menebarkan kebajikan dalam aktivitas hidup kese-harian. Kebajikan ialah kritalisasi dari refleksi seorang hamba terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kebajikan menjadi salah satu landasan Islam hadir di muka bumi dan menjadi “rahmat” bagi alam semesta. Karenanya, di dalam perspektif etika sosial, umat Islam merupakan “agent of change” yang harus terus-menerus belajar menjadi “manusia bajik” di tengah-tengah kehidupan sosial. Dengan inilah maka eksistensi diri-nya di lingkungan sekitar memiliki manfaat, dengan perilaku luhur, seperti berzakat, berderma, sedekah, adil, dan membina relasi harmonis dengan sesama.
Dalam menjalankan ibadah puada ada keutamaan yang berlimpah diberikan oleh Allah SWT pada 10 hari pertama bulan Ramadhan. "Seperti diketahui, tidak hanya tubuh saja yang melakukan adaptasi, pada fase 10 hari pertama Ramadhan ini, banyak persoalan yang harus dihadapi dengan pro-ses beradaptasi atau penyesuaian. Siapa yang mampu mele-wati ini? hanya orang yang benar-benar sa-bar dan niat beriba-dahlah yang mampu melewatinya".
10 (sepuluh) hari ke-dua adalah fase maghfiroh (ampunan). Nabi Muham-mad SAW menyampaikan, di 10 hari kedua Ramadhan supaya kita mengejar ampunan dari Allah SWT. Maghfiroh itu diberikan khusus di waktu tersebut demi keselamatan orang yang berpuasa dari dosa-dosa yang telah dilakukannya sebagai bentuk kasih sayang Allah. Maka, sungguh merugi mereka yang hingga memasuki sisa waktu terakhir di 10 hari kedua Rama-dhan tidak memiliki keinginan kuat menyambut tawaran ampunan Allah.
Di dalam Surah Ali `Imran: 133 dije-laskan, "dan berse-geralah kamu menuju ampunan (maghfiroh) Tuhanmu."
10 (sepuluh) hari akhir Ramadhan sebagai fase pembe-basan dari api neraka. Sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Salman Al Farisi: “Adalah bulan Rama-dhan, awalnya rahmat, pertengahan maghfiroh dan akhirnya pembebasan dari api neraka.” Sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Sepu-luh akhir Ramadhan merupakan pamung-kas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu de-ngan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini. Dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan turunnya Lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa juga turun pada bulan Ramadhan secara keseluruhan. Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan di dalamnya Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penje-lasan dari petunjuk dan pembeda antara yang hak dan yang batil.
Al-Qur’an dan hadits sahih menunjukkan bahwa lailatul qadar itu turun di bulan Ramadhan. Dan boleh jadi di sepanjang bulan Ramadhan semua, lebih lagi di sepuluh terakhir Ramadhan.
Idealisme kebajikan dapat terlihat saat menyaksikan kemiskinan merajalela, di mana ketika itu pula hati nurani terjentik sehingga lahir empati, yang dengan segenap akal dan jiwa, bersungguh-sungguh melakukan upaya pembebasan. Orang yang berpuasa dengan akal dan hati akan memahami kehidupan sebagai kanal melaksanakan amal saleh, berbuat bajik, dan menyebar-kannya agar dapat membahagiakan manusia lain.
Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan makan orang miskin,” (QS. Al-Mau’n [107]: 1-3).
Ketika seseorang bertemu dengan warga miskin, kemudian berupaya meringankan kemiskinannya, ketika itu pula dia telah mengejawantahkan ajaran kebajikan yang terkandung di dalam Islam. Kebajikan yang diberikan kepada se-sama manusia inilah yang disebut dengan kebajikan sosial, di mana hal tersebut menjadi faktor utama tewujudnya masyara-kat sejahtera.
Dalam perspektif Islam, seorang manusia mesti mencapai dua tangga kemuliaan untuk menjadikan diri sebagai manusia bijak dan makhluk bajik. Pertama, dirinya harus terus menerus berusaha mengenali hakikat diri, potensi, dan bakat dengan usaha pencarian yang tidak pernah berhenti. Sebab, selama nafas dikandung badan, selama itu pula dirinya harus piawai menggerakkan mata batinnya untuk memperoleh pencerahan diri. Hakikat dirinya sebagai seorang khalifah fi al-ardh dapat terbuka lebar ketika detik demi detik dari kehidupan-nya digunakan untuk melakukan refleksi eksistensial ikhwal “siapakah aku” dan “bagaimana aku seharusnya” dalam kehidupan ini.
Kedua, ketika mampu mengenal sisi eksistensial kemanusiaan
nya, sekuat tenaga mempraktikkan pengetahuan untuk pengembangan diri dan orang lain. Dalam bahasa lain, mengamalkan setiap ilmu pengetahuan yang diketahui. Tujuannya, agar di antara manusia saling berbagi manfaat hidup satu sama lain. Dalam khazanah Islam dikenal doktrin, ”khairunnaas anfauhum linnaas”, yakni manusia terbaik itu ialah manusia yang memberikan manfaat untuk manusia lain.
Jadi, ibadah puasa yang dilaksanakan tidak hanya berkutat menahan diri dari rasa lapar dan dahaga an sich; tetapi juga menahan diri untuk tidak serakah dengan berupaya mengenal hakikat kemanusiaan di dalam diri. Dalam konteks ini, puasa akan dijadikan sebagai prosesi aktif menemukan posisi eksistensi diri di tengah kehidupan masyarakat sekitar. Sehingga nilai kolektif terbangun ketika kita mampu menangkap hakikat kemanusiaan dalam melaksanakan ibadah puasa. Praktik ibadah puasa dapat menciptakan nilai-nilai etika, moral, dan kebajikan sosial.Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy
Apa yang terjadi di negeri kita hari ini sungguh amat memprihatinkan. Di tengah umat melaksanakan ibadah puasa ramadhan, negeri yang didiaminya tidak lagi senyaman dan seindah pada masa lalunya. Orang-orang terlihat sibuk dengan aksinya menuntut keadilan dan kejujuran dalam pelaksanaan Pemilu yang baru saja usai. Mereka sepertinya berada dalam kegalauan.
Para pengunjukrasa berbuka, dan salat tarawih, dan sahur di lapangan terbuka, karena mereka ingin menyampaiukan aspirasinya agar penyelenggara negera bisa bekerja dengan penuh kejujuran. Mereka tidak ingin kebohongan demi kebohongan terus berlangsung dan dipelihara di negeri ini.
Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram: “Ketahuilah, amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus : “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah) Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan, “Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H