Mohon tunggu...
Annisa
Annisa Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Membaca, Menulis, Jalan-Jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Menyiapkan Diri Saat Berpuasa

30 Desember 2024   10:20 Diperbarui: 30 Desember 2024   10:20 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan makan orang miskin,” (QS. Al-Mau’n [107]: 1-3).

Ketika seseorang bertemu dengan warga miskin, kemudian berupaya meringankan  kemiskinannya, ketika itu pula dia telah mengejawantahkan ajaran kebajikan yang terkandung di dalam Islam. Kebajikan yang diberikan kepada se-sama manusia inilah yang disebut dengan kebajikan sosial, di mana hal tersebut menjadi faktor utama tewujudnya masyara-kat sejahtera.  

Dalam perspektif Islam, seorang manusia mesti mencapai dua tangga kemuliaan untuk menjadikan diri sebagai manusia bijak dan makhluk bajik. Pertama, dirinya harus terus menerus berusaha mengenali hakikat diri, potensi, dan bakat dengan usaha pencarian yang tidak pernah berhenti. Sebab, selama nafas dikandung badan, selama itu pula dirinya harus piawai menggerakkan mata batinnya untuk memperoleh pencerahan diri. Hakikat dirinya sebagai seorang khalifah fi al-ardh dapat terbuka lebar ketika detik demi detik dari kehidupan-nya digunakan untuk melakukan refleksi eksistensial ikhwal “siapakah aku” dan “bagaimana aku seharusnya” dalam kehidupan ini.

Kedua, ketika mampu mengenal sisi eksistensial kemanusiaan
nya, sekuat tenaga mempraktikkan pengetahuan untuk pengembangan diri dan orang lain. Dalam bahasa lain, mengamalkan setiap ilmu pengetahuan yang diketahui. Tujuannya, agar di antara manusia saling berbagi manfaat hidup satu sama lain. Dalam khazanah Islam dikenal doktrin, ”khairunnaas anfauhum linnaas”, yakni manusia terbaik itu ialah manusia yang memberikan manfaat untuk manusia lain.

Jadi, ibadah puasa yang dilaksanakan tidak hanya berkutat menahan diri dari rasa lapar dan dahaga an sich; tetapi juga menahan diri untuk tidak serakah dengan berupaya mengenal hakikat kemanusiaan di dalam diri. Dalam konteks ini, puasa akan dijadikan sebagai prosesi aktif menemukan posisi eksistensi diri di tengah kehidupan masyarakat sekitar. Sehingga nilai kolektif terbangun ketika kita mampu menangkap hakikat kemanusiaan  dalam melaksanakan ibadah puasa. Praktik ibadah puasa dapat menciptakan nilai-nilai etika, moral, dan kebajikan sosial.Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy

Apa yang terjadi di negeri kita hari ini sungguh amat memprihatinkan. Di tengah umat melaksanakan ibadah puasa ramadhan, negeri yang didiaminya tidak lagi senyaman dan seindah pada masa lalunya. Orang-orang terlihat sibuk dengan aksinya menuntut keadilan dan kejujuran dalam pelaksanaan Pemilu yang baru saja usai. Mereka sepertinya berada dalam kegalauan.

Para pengunjukrasa berbuka, dan salat tarawih, dan sahur di lapangan terbuka, karena mereka ingin menyampaiukan aspirasinya agar penyelenggara negera bisa bekerja dengan penuh kejujuran. Mereka tidak ingin kebohongan demi kebohongan terus berlangsung dan dipelihara di negeri ini.

Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram: “Ketahuilah, amalan taqorub (mendekatkan diri) pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zholim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah)

Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang sangat bagus : “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat Latho’if Al Ma’arif, 1/168, Asy Syamilah) Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,  “Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun