Mohon tunggu...
Nisfani Alfi
Nisfani Alfi Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

saya seorang mahasiswa angkatan 2023

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontribusi Filsafat Pragmatisme terhadap Pendidikan

18 Juni 2024   17:37 Diperbarui: 18 Juni 2024   17:39 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pragmatisme adalah  aliran filsafat yang menekankan pentingnya pengalaman dan hasil-hasil praktis dalam menentukan kebenaran dan nilai  konsep, tindakan, atau teori. Pragmatisme menekankan nilai hasil praktis dan relevansi langsung antara ide dan tindakan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Menurut pandangan pragmatis, kebenaran tidak mutlak dan tidak tetap, tetapi berkaitan dengan akibat praktis yang dihasilkan. Ide dan konsep dianggap valid apabila dapat diuji dan berguna dalam kehidupan nyata. Pragmatisme juga menolak pandangan bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui spekulasi teoretis atau deduktif.

John Dewey, seorang filsuf pragmatis terkenal, menjelaskan bahwa konsep, keyakinan, dan teori harus diuji dalam konteks nyata dan pengalaman nyata. Pragmatisme dalam filsafat juga menekankan eratnya hubungan  antara pikiran dan tindakan.

 Dalam konteks pendidikan, pragmatisme mewakili pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengalaman praktis, penerapan pengetahuan dalam situasi konkret, dan pembelajaran melalui tindakan dan eksperimen. Tujuan utama  pendidikan praktis adalah untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang relevan dan berguna dalam kehidupan nyata.Namun penting untuk dicatat bahwa pragmatisme bukanlah satu-satunya pendekatan dalam filsafat dan pendidikan, ada berbagai pendekatan lain dengan pemahaman kebenaran dan nilai yang berbeda.

Pragmatisme dalam pendidikan mengacu pada pendekatan atau filsafat pendidikan yang menekankan  pentingnya pengalaman praktis dan penerapan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan pragmatis, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dapat diterapkan dan mempunyai manfaat nyata dalam kehidupan peserta didik. Tujuan utama  pendidikan praktis adalah untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang relevan dan berguna dalam kehidupan nyata. Namun penting untuk dicatat bahwa pragmatisme bukanlah satu-satunya pendekatan dalam filsafat dan pendidikan, ada berbagai pendekatan lain dengan pemahaman kebenaran dan nilai yang berbeda. 

Dalam pendekatan praktik langsung, proses belajar mengajar  berfokus pada pengembangan keterampilan praktis, pemecahan masalah, dan penerapan konsep  dalam konteks yang bermakna bagi siswa. Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa  mengembangkan keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan  logis. Pendidikan menjadi landasan yang tak terbantahkan bagi perkembangan individu dan kemajuan masyarakat. Dalam upaya mencapai pendidikan yang efektif, penting untuk mempertimbangkan dua faktor utama: fokus dalam kurikulum dan pemahaman siswa. Keduanya memegang peran vital dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang pragmatis dan relevan dengan tuntutan zaman.

Dalam ranah pendidikan, Pragmatisme telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan teori pendidikan. Salah satu tokoh utama Pragmatisme, yaitu John Dewey, secara eksplisit membahas pendidikan dan merumuskan teori pendidikan yang berakar pada filsafat Pragmatisme. Menurut Dewey, ada dua teori pendidikan yang saling bertentangan. Pertama, teori konservatif yang menganggap pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang dimiliki oleh anak itu sendiri. Pendidikan dipandang sebagai suatu proses eksternal yang menentukan segalanya, di mana materi pelajaran telah ditetapkan oleh pendidik tanpa memperhitungkan minat dan kebutuhan siswa. Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan, karena berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu: (1) pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, (2) pendidikan sebagai pertumbuhan, dan (3) pendidikan sebagai fungsi sosial.

1) Pendidikan sebagai Kebutuhan untuk Hidup

Pendidikan dianggap sebagai kebutuhan esensial dalam kehidupan, karena dipandang sebagai sebuah proses yang tidak hanya berfungsi sebagai alat, tetapi juga sebagai pembaharuan dalam kehidupan, yang dijelaskan sebagai "a renewal of life". Menurut Dewey, kehidupan senantiasa berubah dan menuju pada pembaharuan. Hidup berlangsung melalui interaksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dewey menggambarkan kehidupan sebagai "a self renewing process through action upon environment". Proses ini melibatkan interaksi individu dengan lingkungannya. Meskipun individu dalam masyarakat dapat terancam, kehidupan tetap berlanjut melalui proses reproduksi atau kelahiran, yang sejalan dengan pandangan bahwa manusia merupakan hasil dari evolusi fisik, biologis, dan sosial. Kelangsungan hidup ini dicapai melalui readaptasi, dan kehidupan sesungguhnya terdiri dari keseluruhan pengalaman individu dalam konteks kelompok.

2) Pendidikan sebagai Pertumbuhan

Dewey menjelaskan bahwa pertumbuhan adalah proses perubahan tindakan yang berkelanjutan untuk mencapai hasil berikutnya, dimana pertumbuhan terjadi karena adanya kebelummatangan. Dalam kebelummatangan ini, anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensial yang dapat berkembang menjadi sesuatu yang berbeda akibat pengaruh dari luar. Ciri kebelummatangan adalah ketergantungan dan plastisitas anak. Dalam konteks pendidikan, kekuatan untuk tumbuh bergantung pada kebutuhan atau ketergantungan pada orang lain, serta plastisitas yang dimiliki oleh anak.

3) Pendidikan sebagai Fungsi Sosial

Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi melalui self renewal, yang disebabkan oleh pertumbuhan yang dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan kepada anak-anak dan pemuda dalam masyarakat. Masyarakat bertanggung jawab atas meneruskan dan melestarikan nilai-nilai serta cita-cita mereka. Dalam hal ini, lingkungan berfungsi sebagai proses pembimbingan dalam membentuk anak-anak yang belum matang sesuai dengan struktur sosial masyarakat.

Untuk memahami tujuan pendidikan menurut pendekatan Pragmatisme, perlu dipahami pandangan mereka terhadap realitas, teori pengetahuan, kebenaran, dan nilai. Realitas dalam konteks ini dipandang sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia menjadi bermakna seiring dengan manusia memperoleh pemahaman atas makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan dianggap sebagai esensi dari realitas yang harus disikapi dengan kesiapan untuk mengubah cara-cara yang digunakan. Dalam hal kebenaran, Pragmatisme menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak mutlak, tidak berlaku umum, dan tidak tetap. 

Kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan selalu berubah seiring dengan pengalaman baru. Mengenai nilai, Pragmatisme menganggapnya sebagai sesuatu yang relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika dianggap tidak tetap, melainkan terus berubah sejalan dengan perubahan budaya dan masyarakat. Dari pemahaman ini, tujuan pendidikan dan pelaksanaannya diatur. Tujuan pendidikan harus bersifat objektif dan diambil dari konteks masyarakat tempat anak hidup, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan itu sendiri. 

Menurut Pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara universal atau pasti. Tujuan pendidikan bersifat khusus dan tidak dapat ditetapkan secara umum untuk semua masyarakat, kecuali jika ada hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat tersebut.

Menurut perspektif pragmatisme, materi pelajaran haruslah berdasarkan pada fakta-fakta yang telah diamati, dipahami, dan didiskusikan sebelumnya. Isi pelajaran haruslah mengandung ide-ide yang dapat memperluas situasi pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, serta haruslah terkait dengan konten materi yang diajarkan. Pendidikan pada setiap tahap atau levelnya harus memiliki kriteria yang mendasar untuk memanfaatkan kehidupan sosial. Dalam konteks proses pembelajaran, menurut Uyoh Sadulloh (2004: 132), terdapat beberapa saran bagi guru yang perlu diperhatikan, terutama dalam interaksi dengan siswa di dalam kelas, yakni:

1) Guru sebaiknya tidak memaksa ide atau tugas yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.

2) Guru sebaiknya menciptakan situasi yang menimbulkan rasa kebingungan pada siswa, sehingga mereka merasa tertarik untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.

3) Untuk menumbuhkan minat belajar pada siswa, guru harus mengenal baik kemampuan dan minat individu masing-masing siswa.

4) Guru harus mampu menciptakan situasi yang mendorong kerjasama dalam proses pembelajaran, baik antara siswa dengan sesama siswa, antara siswa dengan guru, maupun antara guru dengan guru.

Oleh karena itu, peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai fasilitator yang memberikan dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja sama, menyelidiki, dan mengamati secara mandiri. Melalui pendekatan ini, siswa dapat belajar sambil bekerja, dengan mendorong kreativitas mereka, sehingga mereka merasa tertarik untuk menyelidiki secara mendalam dan akhirnya dapat berpikir secara ilmiah dan logis, yaitu berpikir berdasarkan pada fakta dan pengalaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun