Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi melalui self renewal, yang disebabkan oleh pertumbuhan yang dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan kepada anak-anak dan pemuda dalam masyarakat. Masyarakat bertanggung jawab atas meneruskan dan melestarikan nilai-nilai serta cita-cita mereka. Dalam hal ini, lingkungan berfungsi sebagai proses pembimbingan dalam membentuk anak-anak yang belum matang sesuai dengan struktur sosial masyarakat.
Untuk memahami tujuan pendidikan menurut pendekatan Pragmatisme, perlu dipahami pandangan mereka terhadap realitas, teori pengetahuan, kebenaran, dan nilai. Realitas dalam konteks ini dipandang sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia menjadi bermakna seiring dengan manusia memperoleh pemahaman atas makna yang terkandung di dalamnya, dan perubahan dianggap sebagai esensi dari realitas yang harus disikapi dengan kesiapan untuk mengubah cara-cara yang digunakan. Dalam hal kebenaran, Pragmatisme menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak mutlak, tidak berlaku umum, dan tidak tetap.Â
Kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan selalu berubah seiring dengan pengalaman baru. Mengenai nilai, Pragmatisme menganggapnya sebagai sesuatu yang relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika dianggap tidak tetap, melainkan terus berubah sejalan dengan perubahan budaya dan masyarakat. Dari pemahaman ini, tujuan pendidikan dan pelaksanaannya diatur. Tujuan pendidikan harus bersifat objektif dan diambil dari konteks masyarakat tempat anak hidup, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan itu sendiri.Â
Menurut Pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara universal atau pasti. Tujuan pendidikan bersifat khusus dan tidak dapat ditetapkan secara umum untuk semua masyarakat, kecuali jika ada hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat tersebut.
Menurut perspektif pragmatisme, materi pelajaran haruslah berdasarkan pada fakta-fakta yang telah diamati, dipahami, dan didiskusikan sebelumnya. Isi pelajaran haruslah mengandung ide-ide yang dapat memperluas situasi pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, serta haruslah terkait dengan konten materi yang diajarkan. Pendidikan pada setiap tahap atau levelnya harus memiliki kriteria yang mendasar untuk memanfaatkan kehidupan sosial. Dalam konteks proses pembelajaran, menurut Uyoh Sadulloh (2004: 132), terdapat beberapa saran bagi guru yang perlu diperhatikan, terutama dalam interaksi dengan siswa di dalam kelas, yakni:
1) Guru sebaiknya tidak memaksa ide atau tugas yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
2) Guru sebaiknya menciptakan situasi yang menimbulkan rasa kebingungan pada siswa, sehingga mereka merasa tertarik untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapi.
3) Untuk menumbuhkan minat belajar pada siswa, guru harus mengenal baik kemampuan dan minat individu masing-masing siswa.
4) Guru harus mampu menciptakan situasi yang mendorong kerjasama dalam proses pembelajaran, baik antara siswa dengan sesama siswa, antara siswa dengan guru, maupun antara guru dengan guru.
Oleh karena itu, peran guru dalam proses pembelajaran adalah sebagai fasilitator yang memberikan dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja sama, menyelidiki, dan mengamati secara mandiri. Melalui pendekatan ini, siswa dapat belajar sambil bekerja, dengan mendorong kreativitas mereka, sehingga mereka merasa tertarik untuk menyelidiki secara mendalam dan akhirnya dapat berpikir secara ilmiah dan logis, yaitu berpikir berdasarkan pada fakta dan pengalaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H