Mohon tunggu...
Nisaul Hulayyah
Nisaul Hulayyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Terima kasih telah singgah, semoga pembaca selalu betah!

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Representasi Tokoh Alina Suhita dalam Novel dan Film "Hati Suhita" yang Berlaku di Kehidupan Nyata

17 Januari 2024   16:00 Diperbarui: 12 Juli 2024   18:41 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompas.com

(Foto di atas merupakan tokoh Alina Suhita, dalam filmnya diperankan oleh Nadya Arina).

Tokoh Alina Suhita merupakan bagian dari cerita fiksi berbentuk novel yang kemudian diangkat menjadi sebuah film bertema religi. Novelnya berjudul Hati Suhita karya Khilma Anis yang terbit pada tahun 2019. Sedangkan filmnya disutradarai oleh Archie Hekagery yang tayang pada tanggal 25 Mei 2023. Pertama, membahas dari segi novel terlebih dahulu. Khilma Anis merupakan penulis yang memiliki latar belakang pesantren sehingga memengaruhi novel yang beliau hasilkan. 

Ya, novel Hati Suhita menceritakan tentang perjodohan antara anak kiai di lingkungan pesantren. Alina Suhita merupakan anak kiai Jabbar pemilik pesantren yang berkembang pesat di Mojokerto. Dia dijodohkan dengan Abu Raihan Al Birruni (Gus Birru) anak kiai Hanan pemilik pesantren Al-Anwar di Kediri. Perjodohan terjadi ketika mereka masih remaja. Apalagi dahulu Alina pernah menimba ilmu di pondok pesantren Al-Anwar dan menjadi santriwati kesayangan kiai Hanan karena dia memiliki wawasan yang luas serta penghafal Al-Qur'an. 

Gus Birru yang memilih cuek terhadap kehidupan pesantren milik ayahnya, membuatnya lebih memilih kuliah di universitas yang ada di sekitar Jawa Tengah (versi film di Universitas Gadjah Mada (UGM) sedangkan dalam novel tidak dijelaskan secara rinci). Masa perkuliahan mempertemukan Gus Birru dengan Ratna Rengganis, seorang jurnalis. Keduanya, aktif dalam pergerakan mahasiswa sehingga saling jatuh cinta dan berpacaran. Rengganis yang menjadi masa lalu Gus Birru sulit ditepis di pikiran Gus Birru sehingga membuatnya bersikap dingin terhadap Alina. 

Ketika pernikahan Alina dan Gus Birru telah dilaksanakan. Tepat pada malam pertama Gus Birru berkata "jika dia tidak mencintai Alina" sehingga Gus Birru tidak menyentuh Alina selama 7 bulan pernikahan. Semasa melewati hiruk-pikuk rumah tangga, Alina banyak menelan rasa sakit atas perlakuan suaminya. Apalagi dia pernah dituduh menikah dengan Gus Birru karena ingin menguasai pondok pesantren milik orang tuanya, dituduh meminta honeymoon ke Ummik (ibu Gus Birru) padahal Ummik yang menawarkan, dan lain-lain. 

Akan tetapi, dia mampu melewatinya karena imannya yang kuat dan selalu memegang prinsip ajaran Jawa yaitu mikul duwur, mendem jero yang artinya menjunjung tinggi sesuatu dan memendam sesuatu dengan dalam. Oleh karena itu, dia mampu menyimpan segala rasa sakitnya dengan dibaluti senyuman sehingga di akhir cerita Alina mendapatkan kemenangannya, yaitu berhasil meluluhkan hati suaminya melalui doa-doa yang dia panjatkan.

Kedua, membahas dari segi film. Perkembangan penceritaan hampir mirip dengan novel meskipun ada beberapa perbedaan. Ya, mungkin cara untuk keberhasilan ekranisasi (proses perubahan dari novel ke film). Konflik yang terjadi antar tokoh lebih seru dinikmati melalui film sehingga penonton terbawa suasana. Rata-rata orang yang menonton film ini berhasil meneteskan air mata karena melihat perjuangan Alina melewati kesulitan dalam kehidupan rumah tangganya. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, tokoh Alina Suhita sangat sulit ditemukan. 

Seperti yang kita ketahui, tidak ada perempuan yang tidak ingin disentuh oleh suaminya. Bukankah tujuan pernikahan dalam Islam yaitu menuai makna terindah dari sakinah (tentram), mawadah (kasih), dan warahmah (sayang)? Lantas jika tidak sentuh oleh suaminya, bisa dianalogikan perempuan tersebut menjadi pajangan. 

Selain itu, setiap pernikahan perempuan ingin dicintai dan diperlakukan dengan baik oleh suami. Perempuan saat ini jika menjadi Alina kemungkinan lebih memilih untuk berpisah dengan alasan tidak kuat menjalani kehidupan rumah tangganya. Kemungkinan juga tidak mendapatkan support system dari luar dan rasa keimanan yang mulai menurun. Sebenarnya, perempuan seperti itu hanyalah ingin didengar dan membutuhkan bahu untuk bersandar. 

Bayangkan saja, betapa sakitnya menjadi Alina. Dibalik rasa sakitnya, dia justru terus berbakti kepada suaminya. Kemungkinan perempuan saat ini jika diperlakukan tidak baik oleh suami maka akan berlaku sama sehingga dapat memunculkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal tersebut juga dapat berurusan dengan pihak yang berwajib jika seseorang berani melapor karena sekarang sudah ada undang-undang yang mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga. 

Cara tersebut perempuan ingin mendapatkan keadilan dan kejayaan atas dirinya yang menganggap jika dia berhak untuk bahagia. Bayangkan saja, untuk apa hidup dengan orang yang tidak cinta dan bersikap kasar? Bukankah terus-menerus akan menimbulkan penyakit dalam diri dan obatnya bukan dari pihak medis. Artinya, sulit sembuh karena sudah termasuk tabiat. 

Perempuan saat ini juga, pasti beranggapan buruk tentang perjodohan dengan alasan belum saling kenal lebih jauh dapat menimbulkan kecanggungan. Selain itu, dapat menimbulkan statement "dijodohkan seperti zaman Siti Nurbaya saja." Siapa sih yang tidak tahu cerita Siti Nurbaya yang trending pada zaman Balai Pustaka apalagi selalu identik dengan perjodohan itu menyengsarakan. 

Ada lagi, seseorang yang lama berpacaran bernotaben sudah kenal lama dapat menimbulkan sesuatu yang tidak sesuai harapan. Sebenarnya perihal menjemput jodoh tergantung pemikiran diri sendiri menyikapi hal tersebut. Tidak ada salahnya seseorang memiliki kriteria jodoh tertentu. Kalau semua kriteria dikabulkan Alhamdulillah, kalau hanya sebagian tetap Alhamdulillah, dan tidak sama sekali ya Alhamdulillah. Masa harus Astagfirullah, kemungkinan sudah ketentuan dari sang pencipta seperti itu. 

Kesabaran setiap perempuan memiliki intensitas tersendiri. Ada yang sedang menunggu seseorang sehingga dengan cara melalui doa menjadi cara utama. Sang pencipta pun dapat menghadirkan suatu godaan. Perempuan bisa saja mampu melewatinya. Akan tetapi, hasil dari menunggu akankah selalu terbesit kepastian? Tidak ada yang tahu. Oleh karena itu, doa saling menguatkan antar pasangan itu dibutuhkan. Cukup Alina saja yang bertarung melawan suaminya melalui doa, perempuan saat ini kalau bisa jangan ya!

Terakhir, untuk perempuan jika disuruh menjadi Alina kemungkinan mayoritas beranggapan tidak. Ya, cukup Alina dalam cerita fiksi saja yang merasakan sakitnya kehidupan rumah tangga. Perempuan saat ini jangan sampai merasakannya karena kondisi psikologis perempuan sangat dikhawatirkan. Oleh karena itu, untuk laki-laki belajarlah menerima seseorang yang dicintai dengan apa adanya. Jangan menyamakan dia dengan apapun. Rasanya disamakan itu tidak enak dan menimbulkan insecure. Saling berkaca itu dibutuhkan agar mengetahui kekurangan dan kelebihan masing-masing. Terkadang dari kekurangan tersebut menjadi suatu kelebihan jika mampu menempatkannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun