Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

20 Tahun MKRI Melindungi Hak Konstitusi Perempuan dan Anak

23 Juli 2023   23:52 Diperbarui: 23 Juli 2023   23:53 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu masuk Perpustakaan MKRI (Dokpri) 

Sejarah pembentukan Mahkamah Republik Indonesia (MKRI) memang erat kaitannya dengan peran perempuan. Tanggal 13 Agustus 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani UU Nomor 24 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316) yang disepakati para hakim konstitusi sebagai hari lahir MKRI.

MKRI telah memiliki dua orang perempuan sebagai hakim konstitusi yaitu Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (16 Agustus 2008–13 Agustus 2018) dan Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. (13 Agustus 2018–sedang menjabat).

Sebagai perempuan, saya bangga dengan kehadiran kedua hakim perempuan yang bertugas sebagai satu dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi. Selama ini, dunia hukum dan juga konstitusi masih identik dengan kesan patriarki yang kuat.

Padahal, menurut Pasal 27 ayat 1 UUD 1945:
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Ini artinya semua warga negara memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam hukum dan pemerintahan tanpa membedakan apapun agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, dan golongan mereka.

Gedung MKRI (Dokpri)
Gedung MKRI (Dokpri)

Namun, selama ini, ketidakpastian akan perlindungan hukum perempuan yang telah dijamin oleh konstitusi masih kerap terabaikan.


Data hingga tahun 2021 yang dirilis oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat dari 441 Peraturan Daerah/perda yang bersifat diskriminatif, ironisnya sekitar 300 perda itu membatasi atau menyasar kaum perempuan.

Maka itulah, saat mengunjungi Perpustakaan MKRI di Medan Merdeka Barat Jakarta Pusat dan mendapati sejumlah putusan MK yang melindungi perempuan, putusan tersebut sangat layak untuk disebarluaskan ke masyarakat. MKRI berperan sebagai lembaga yang melindungi hak konstitusi negara, termasuk hak-hak kelompok rentan yakni kalangan perempuan dan anak.

Lokasi MKRI (Dokpri)
Lokasi MKRI (Dokpri)


Nah, lalu apa sajakah keputusan MKRI yang menjamin hak konstitusi kaum perempuan dan para anak di Indonesia? Silakan baca terus artikel sederhana berikut ini sebagai bentuk apresiasi terhadap MKRI yang sejak 20 tahun lalu konsisten mengawal budaya sadar berkonstitusi.

Melindungi Anak Hasil Nikah Siri

Tema Hari Anak Nasional ke-39 yaitu "Anak Terlindung, Indonesia Maju" yang jatuh tepat pada 23 Juli 2023 ini tentunya selaras dengan putusan MKRI yang sejak 13 tahun lalu yang mengakui hak hukum anak dari pernikahan siri (tidak tercatat dalam administrasi di KUA). Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1/1974 berbunyi:


"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."

Bagian anak di Perpustakaan MKRI (Dokpri)
Bagian anak di Perpustakaan MKRI (Dokpri)

Anak hasil nikah siri selama ini sulit memperoleh akta kelahiran dan mendaftar sekolah karena tak dapat mencantumkan nama ayahnya.  Resiko putus sekolah pun mengancam masa depan pendidikan anak-anak yang tak berdosa tersebut, padahal sebagai warga negara, mereka tetap memiliki hak bersekolah.



Kepedulian MKRI terhadap ibu dan anak juga saya lihat langsung di gedung Perpustakaan MKRI yang menyediakan bacaan dan alat bermain edukatif di ruang khusus anak. Materi hukum dan konstitusi yang sering terlihat berat dan rumit ternyata menjadi ringan dan seru saat dikemas dalam bentuk puzzle.


Puzzle edukatif MKRI (Dokpri)
Puzzle edukatif MKRI (Dokpri)

Ketika saya di Perpustakaan MKRI saat itu, ada sejumlah anak para staf di perpustakaan yang sedang  liburan sekolah. Ke depannya, ini akan kondusif untuk menumbuhkan budaya membaca sekaligus sadar berkonstitusi sejak dini dengan adanya kerjasama MKRI dan sekolah (SD, SMP, SMU) melalui study trip ke Perpustakaan MKRI.

Di tangan generasi muda inilah, masa depan hukum dan konstitusi Indonesia diwariskan. Di tahun 2045 nanti atau 100 tahun Indonesia merdeka, bisa jadi ada hakim konstitusi MKRI yang semasa sekolahnya dulu pernah mengunjungi gedung MKRI dan lalu terinspirasi untuk belajar hukum.
 
Mengubah Batas Usia Perkawinan

Definisi anak menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: 

"Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan." 

Maka itulah, Putusan MKRI Nomor 22/PUU-XV/2017 yang berkaitan  dengan batas minimal usia perkawinan pun dinaikkan dari 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki menurut pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 2014 menjadi
UU Nomor 16 Tahun 2019 yang  berubah sebagai berikut, 

“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”

Buku-buku konstitusi (Dokpri)
Buku-buku konstitusi (Dokpri)

Menurut Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, perkawinan anak  berdampak negatif bagi kesehatan   reproduksi anak perempuan yang belum matang karena rentannya kekerasan seksual dan juga mental dengan terpaksa putus sekolah setelah menikah dini, sehingga MKRI memberikan perlindungan untuk anak perempuan dalam pemenuhan hak konstitusionalnya.

Usia sekolah dan remaja itu adalah  waktunya untuk belajar banyak hal positif, tak terkecuali mengenal hukum dan konstitusi negara. Di Perpustakaan MKRI, kita dapat membaca sejumlah buku ajar yang berjudul 'Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi' untuk para murid di SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA.

Ruang baca Perpustakaan MKRI (Dokpri)
Ruang baca Perpustakaan MKRI (Dokpri)

Isi buku ajar tersebut disesuaikan dengan level kognitif siswa sesuai usianya. Di level SD, definisi hak dan kewajiban individu akan lebih mudah dipahami siswa karena berupa ilustrasi hidup sehari-hari.

Jika belum sempat mengunjungi Perpustakaan MKRI, buku 'Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi' tersebut juga dapat diperoleh di sejumlah lokapasar daring. Untuk koleksi buku di rumah maupun sekolah, buku tersebut patut untuk dimiliki.

Merevisi Usia Anak di Pengadilan

Belakangan ini, kasus kriminal yang melibatkan anak dan remaja sebagai pelakunya silih berganti masuk berita. Lalu, usia berapakah seorang anak harus dapat bertanggungjawab secara hukum?

Sebelumnya, usia anak yang dapat diberikan tanggungjawab secara pidana sesuai dengan UU Nomor  3/1997 tentang Pengadilan Anak yakni usia 8 tahun. Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak menyatakan, 

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal (delinquent child) telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Anak usia 8 (delapan) tahun itu rata-rata baru duduk di bangku kelas 2 atau 3 SD atau di kelas awal SD. Kita bisa bayangkan kondisi kejiwaan anak sekecil mereka saat harus keluar masuk ruang sidang pengadilan yang sangat kaku dan tegang.

Isi laporan tahunan MKRI (Dokpri)
Isi laporan tahunan MKRI (Dokpri)


Oleh karena itulah, Putusan MKRI Nomor 1/PUU-VIII/2010, yang dimohonkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, menetapkan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak (usia minimal pidana).

Bagian depan Perpustakaan MKRI (Dokpri)
Bagian depan Perpustakaan MKRI (Dokpri)

Anak berumur 12 tahun itu pada umumnya sudah duduk di kelas 5-6 SD atau kelas akhir SD. Secara psikologis, mereka tentu lebih dewasa daripada anak 8 tahun.

Meskipun begitu, pidana penjara bukanlah satu-satunya pilihan pidana bagi anak sehingga tidak secara mutlak dapat merugikan hak konstitutional anak. Perjalanan hidup anak tersebut masih panjang sehingga hadirnya Lembaga Pemasyarakatan Anak (LPA) lebih berfungsi sebagai wadah pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja bagi Anak Nakal yang telah diputus menjalani hukuman pidana .

Mendukung Hak Perempuan di DPR

Tahun 2024 nanti, rakyat Indonesia kembali menjalani Pemilu untuk memilih presiden dan paa wakil rakyat di DPR. Setiap warga negara, pria dan wanita memiliki hak konstitusi untuk memilih maupun dipilih saat Pemilu berlangsung.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaporkan pada awal Juli 2023 ini, jumlah pemilih perempuan dan laki-laki di Pemilu 2024 hampir imbang yakni 102,58 juta pemilih perempuan dan 102,21 juta pemilih laki-laki. Tetapi, hal serupa belum ditemui pada jumlah wakil rakyat.

Per Januari 2021, pada periode 2019-2024 hanya terdapat 123 orang jumlah perempuan di DPR RI yaitu sekitar 21,39% atau masih di bawah target minimal sebanyak 30%.

Pilpres termasuk Pemilu (Dokpri)
Pilpres termasuk Pemilu (Dokpri)

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 82/PUU-XII/2014 telah menyatakan bahwa

 "mengutamakan keterwakilan perempuan di dalam pimpinan alat kelengkapan dewan adalah sesuatu yang mesti diwujudkan."

Ini artinya ada keberpihakan dan komitmen lebih sesuai landasan dan mandat konstitusional dari putusan MKRI tersebut untuk menempatkan paling sedikit 30% perempuan di pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) DPR, DPD, dan MPR. 

Hadirnya wakil perempuan di parlemen sangat berpeluang untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan juga anak yang nbersifat efek jangka panjang untuk kesejahteraan bersama.

Putusan MKRI Nomor 114/PUU-XX/2022 pada Juni 2023 lalu terhadap permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menetapkan sistem Pemilu 2024 tetap proporsional terbuka juga turut menjadi bukti kuat dukungan MKRI terhadap wakil perempuan di DPR.  

Laporan tahunan MKRI (Dokpri)
Laporan tahunan MKRI (Dokpri)

Wakil Ketua MK Saldi Isra menuturkan, fakta di lapangan mendapati peran strategis partai politik (parpol) sebagai saluran tunggal bagi warga negara, baik pria maupun wanita yang memenuhi syarat, untuk diajukan sebagai calon anggota DPR/DPRD dalam sistem proporsional terbuka
sejak pelaksanaan pemilu setelah amandemen UUD 1945 pasca Reformasi tahun 1998 di Indonesia.

Ibarat manusia yang terus meng-up grade kualitas diri di usia 20-an, semoga MKRI terus konsisten dalam mengawal budaya sadar berkonstitusi di era disrupsi teknologi dan informasi saat ini, termasuk dengan menjamin hak konstitusi perempuan dan anak yang rentan termarginalkan. 

Pintu masuk Perpustakaan MKRI (Dokpri) 
Pintu masuk Perpustakaan MKRI (Dokpri) 

Zaman boleh terus berubah tiada henti, namun MKRI harus tetap menjaga marwah konstitusi hingga akhir nanti. Sukses selalu untuk MKRI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun