Mereka lalu memilih untuk memberi makan kucing jalanan yang ada di sekitar perumahan. Selama dua minggu, mereka rutin melakukan streetfeeding setiap sore sambil mencatat jumlah kucing yang diberi makan dan memotret kegiatannya.
Siapa sangka, proyek kedua mapel tersebut membuka mata mereka bahwa selain manusia di muka Bumi ini, ada juga hewan dan tanaman yang harus dirawat sebaik mungkin.Â
Tak heran, seusai proyek streetfeeding kucing-kucing tanpa tuan itu, seorang  dari mereka bercita-cita menjadi dokter hewan (vet) dan satu lagi ingin menjadi Youtuber tentang animal rescue sehingga nantinya bersama mereka dapat membangun shelter hewan, so sweet!
Saya lantas teringat kalimat dari Mas Mendikbudristek yang isinya bahwa Kurikulum Merdeka itu bertumpu tak hanya pada aspek kompetensi para siswa, namun juga pembentukan karakter (baik) mereka. Di Indonesia, kita tidak kekurangan orang pintar, tapi kita masih perlu (banyak) insan kreatif yang berakhlak mulia, sepakat ya?
Sekolah lebih interaktif programnya
Banjir tiap kali hujan deras dan macet parah menjadi 'ciri khas' daerah tempat tinggal saya dan juga para murid les privat itu di Tangerang. Tak heran, sekolah (terpaksa) diliburkan tiap kali banjir melanda karena akses ke jalan raya tertutup total dengan genangan air.
Seorang murid privat saya di SMP bertutur, sekalipun banjir, kini dia tetap semangat belajar karena sekolah jarak jauh (daring) tetap berjalan untuk menggantikan tatap muka.Â
"Serunya lagi, kita (para siswa) bisa saling melaporkan langsung kondisi banjir di rumah masing-masing waktu sekolah online. Ya mirip reporter berita gitu, jadi lebih keren belajarnya karena enggak cuma dengerin dan ngeliatin layar laptop aja," urai siswi kelas 7 SMP yang aslinya pendiam dan pemalu tersebut, tetapi malah menyukai tugas live news report untuk mapel Bahasa Indonesia.
Kurikulum Merdeka telah dirancang dari awal untuk mendukung guru dan siswa belajar interaktif yang disesuaikan dengan kondisi relevan dan situasi unik mereka tanpa harus terbebani dengan segunung materi baku (atau kaku?) yang selama ini lekat dengan kurikulum sekolah.Â
Riset dari Pritchett dan Beatty yang terbit dalam "International Journal of Educational Development" pada 2015 mendapati bahwa padatnya materi kurikulum ternyata malah menghambat pembelajaran di sejumlah negara berkembang karena guru lebih fokus pada capaian materi dibandingkan pemahaman belajar siswa.