Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Demi Konten, Pantaskah Eksploitasi Dianggap Keren?

19 Januari 2023   10:05 Diperbarui: 20 Januari 2023   09:13 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Thinkstockphotos)

Menteri Sosial, Tri Rismaharini belum lama ini mengecam konten aksi mandi lumpur para lansia di Tiktok yang sejatinya adalah mengemis online. 

Di era digital ini, para peminta-minta bahkan telah merambah dunia maya setelah bertahun-tahun sebelumnya memancing rasa iba di jalan raya.

Profesi Content Creator memang kini semakin diminati dengan gemerlapnya pundi-pundi uang dari hasil AdSense yang membuat banyak orang menghalalkan segala cara agar kontennya semakin banyak ditonton. 

Dikutip dari Kompas.com, penyedia platform influencer marketing Famous Allstars (FAS) memprediksi, nilai pasar industri content creator di Indonesia dapat menembus Rp 4 triliun hingga Rp 7 triliun dan nilai ini diprediksi akan meningkat sampai lima kali lipat pada 2027.

Manisnya industri konten kreatif membuat banyak Content Creators kerapkali tak selektif (Ilustrasi: Sky News.com)
Manisnya industri konten kreatif membuat banyak Content Creators kerapkali tak selektif (Ilustrasi: Sky News.com)

Saat liburan Tahun Baru 2023 ini, bayi seorang selebgram sampai naik jet ski tanpa pengaman seperti helm dan pelampung demi tingginya trafik kanal YouTube milik ibunya. Hmm, jangan-jangan YouTuber itu menganggap bayinya sudah mirip kucing yang (mitosnya) memiliki 9 nyawa, parah banget!

Eh, saat diingatkan para warganet dan pakar parenting, si selebgram dengan sekitar 30 jutaan pengikut di Instagram dan YouTube tersebut malah menanggapinya dengan santuy, kalau tidak bisa dibilang meremehkan. 

Parahnya lagi, para penggemarnya pun tak kalah militannya membela sosok video creator, yang juga adik dari seorang public figure tersebut, tanpa menimbang pengaruh buruk dari konten tersebut bagi masyarakat.

Sering kesel enggak sih ketika melihat para Content Creators tersebut mengekploitasi mulai dari bayi sampai lansia untuk keuntungan materi? Umumnya, dalih mereka saat ditegur adalah 'kebebasan berekspresi' sehingga aksi nyeleneh yang berbahaya sekalipun dianggap lumrah saja.

Tak cukup 'berkreasi' dengan manusia, hewan pun tak sedikit yang turut menjadi mesin uang bagi para influencer. Mulai dari binatang peliharaan seperti anjing dan kucing hingga satwa liar semisal harimau, monyet, dan ular yang habitat aslinya seharusnya di alam.

Memang sih, kita tak memungkiri bahwa hewan tersebut dirawat dengan baik, bahkan banyak pula anjing dan kucing milik para influencer yang menjadi model untuk iklan pakan hewan maupun klinik hewan. Unsur edukasi plus hiburan membuat konten gemoy dari para selebriti berbentuk anak berbulu (anabul) yaitu celebcat & celebdog tersebut ramai diserbu para animal lovers.

Tapi, apa kontennya tetap membuat gumush saat ditunjukkan tutorial memandikan ular piton segede gaban bersama para keponakan berusia TK dan SD dari seorang YouTuber lainnya yang rumahnya (hampir) mirip kebun binatang tersebut? Meskipun di awal vlog disebutkan ular albino itu telah jinak, tetep aja kan ular itu bukan hewan domestik layaknya anjing dan kucing, auto tepok jidat deh!

Ada lagi konten dari YouTuber tersebut yang bernama 'the cage challenge' yaitu tantangan masuk kandang macan milik orang lain bersama anjingnya. Okay, proses syutingnya memang dalam pengawasan penuh para pawang sehingga resiko dicakar si macan dewasa itu dapat diminimalisir sehingga si vlogger (terlihat) menjadi keren dan pemberani bersama anjingnya.

Namun, bagaimana dengan para penonton video tersebut, terutama yang belum dewasa yaitu usia sekolah dan remaja? Tak tertutup kemungkinan, mayoritas penonton di bawah umur tersebut hanya fokus pada aksi kerennya tanpa jauh memikirkan faktor resikonya.

Saya pernah mendengar langsung komentar anak-anak tetangga berusia SD yang ingin memelihara macan karena terlihat keren seperti sejumlah video YouTube saat saya memberi makan sore sejumlah kucing jalanan di depan rumah. 

"Kalian sanggup enggak memelihara kucing sebelum pingin mengurus harimau? Macan itu badannya berkali-kali lipat besarnya dari kucing-kucing ini lho dan rumahnya seharusnya di hutan!" ujar saya.

Mereka pun langsung ternganga setelah mendengar kalimat saya tersebut. 

"Lebih baik kalian rajin belajar supaya besarnya nanti dokter hewan jika memang sayang binatang supaya banyak satwa dapat ditolong dan bukan cuma untuk dibuat video," tambah saya.

Kontrol sosial dan peraturan legal dapat mengurangi jumlah konten yang tak bermutu serta minim nilai moral (Ilustrasi: Kidslox.com)
Kontrol sosial dan peraturan legal dapat mengurangi jumlah konten yang tak bermutu serta minim nilai moral (Ilustrasi: Kidslox.com)

Maka itulah, "kritik sosial" dari netizen dan "peraturan legal" dari pemerintah mutlak ada secara terus-menerus agar materi konten tak hanya viral, namun juga memiliki nilai moral. Jangan sampai terjadi 'The Broken Window Theory' yaitu saat ketidakteraturan di masyarakat dianggap perkara kecil sehingga memicu kasus kriminal yang lebih parah nantinya.

Teori Jendela Pecah (The Broken Window Theory) menyatakan bahwa saat kejahatan ataupun ketidakteraturan kecil, seperti vandalisme dan merusak kaca rumah kosong, dibiarkan tanpa ditindaklanjuti, maka akan lebih banyak orang melakukan hal serupa karena dianggap wajar dan bahkan menyebabkan terjadinya kejahatan dalam skala yang lebih besar. Teori kriminologi tersebut dirumuskan bersama oleh Profesor James Q. Wilson dan George L. Keliling dari ilmu sosial di Harvard University pada tahun 1982.

Jadi bayangkan saja ketika konten yang sarat eksploitasi manusia dan hewan terus berseliweran di Indonesia tanpa adanya peraturan yang jelas dan sanksi tegas. Tak mustahil, masyarakat akan mengira konten eksploitasi itu adalah cara (tanpa etika) yang efektif dan efisien dalam meraih timbunan cuan sebagai Content Creators.

Netizen pun harus tetap kritis dalam menyikapi konten apapun dari idola mereka. Jangan lagi deh latah merequest ke para influencer agar membuat konten yang 'seru' tapi nirmutu semisal "Buat konten anjingnya ketemu serigalanya si X donk supaya tarung, Bang!" Ngeselin abis!

Ingatlah selalu bahwa 'Supply & Demand Theory' juga berlaku di dunia Content Creators. Ketika banyak penonton meminta sejumlah jenis konten yang dapat mendongkrak jumlah views, maka para Content Creators pun akan berlomba-lomba menyajikannya.

Pasti masih segar kan di ingatan kita tentang maraknya perilaku konyol para remaja yang nekad menghadang truk yang sedang melaju demi viralnya konten mereka. Korban tewas dan terluka pun tak sedikit dari aksi 'menjemput maut' itu, miris banget!

Solusinya, kita dapat membantu popularitas konten edukatif yang (berulangkali) masih rendah jumlah penontonnya. Padahal, saat ini sudah banyak lho topik bernas dan cerdas yang disajikan oleh para Content Creators dengan menarik, tak terkecuali dengan animasi unik.

Industri kreatif memang akan terus berkembang di masa depan di seluruh dunia, termasuk industri konten di Indonesia. Idealnya, konten kreatif itu mencerdaskan tanpa harus meresahkan apalagi membahayakan, sepakat ya kita semuanya?

Untuk membuat suatu konten agar menjadi trending topic dan viral maka nilai moral serta sosial pun harus tetap optimal. Yakinlah, pasti jauh lebih beruntung di dunia dan berpahala di akhirat kelak saat konten itu menyebarkan kebaikan baik bagi penontonnya maupun pembuat kontennya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun