Kemarin saya membaca berita terbaru di salah satu akun resmi Instagram sebuah media online tentang nasib pegawai dua buah startup. Keduanya merumahkan sejumlah karyawannya untuk mencapai efisiensi bisnis startup.
Padahal, kedua startup berwarna hijau dan oranye itu banyak peminatnya lho. Sepengetahuan saya, keduanya jadi idola Generasi Millenial dan Z saat mencari sumber berita hits maupun online shopping sehari-hari yang free ongkir plus banjir promo, khususnya setiap tanggal cantik.
Kedua startup tersebut menambah daftar panjang startup di Indonesia yang nasib masa depannya masih kelam. Jangankan untuk bertahan hingga 10 tahun ke depan, tetap eksis sampai 5 tahun mendatang pun para startup ini belum yakin.
Fenomena ambruknya startup ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di Amerika Serikat yang merupakan gudangnya startup di bidang teknologi informasi. Tak heran, ada istilah 'Unicorn Zombie' di negaranya Mark Zuckerberg tersebut untuk startup yang dihargai tinggi namun sebenarnya mereka sedang goyah.
Saat startup melemah, karyawannya pun jelas resah. Itu yang saya lihat sendiri pada sejumlah orang di sekitar saya.
Padahal, kita sempat melihat fenomena betapa bangganya seseorang ketika dapat bekerja di sebuah startup, terutama startup yang sedang populer di masyarakat. Bayangan tentang (akan) melejitnya startup yang dipilih sebagai tempat kerja itu pun membuat para pekerjanya seolah terbang ke langit ketujuh.
Lalu, ketika sekarang startup mulai gonjang-ganjing, apa sih sebenarnya yang menyebabkan startup itu (ternyata) tak seindah awalnya? Inilah tiga penyebabnya yang saya rangkum dari penuturan sesuai pengalaman para (mantan) pekerja di sejumlah startup.
Jalan Pintas yang Keras
Strategi "bakar uang" berupa antara lain perang harga dan promo besar-besaran seringkali dipilih startup di awal operasi mereka. Tujuannya tentu saja mencari sebanyak mungkin konsumen.