Siapa yang belum pernah belanja daring (online)? Bagi yang sudah pernah, ada dua hal yang akrab yaitu seruan kata 'Pakeet!' dan kemasan plastik pembungkusnya.
Pengalaman saya belanja online selama ini memang sulit terlepas dari plastik. Bentuk plastik yang paling umum yaitu bubble wrap dan selotip untuk menahan benturan selama paket dalam perjalanan.
Padahal, kadang barang yang dibeli via daring itu hanya 1-2 macam. Tapi, plastiknya bisa berlapis-lapis!
Itu baru plastik untuk seorang pembeli.
Padahal, menurut survei dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tahun 2020, frekuensi belanja online di Indonesia meningkat dari 1-5x/bulan menjadi 1-10x/bulan sejak pandemi terjadi, banyak banget!
Lalu, apa saja penyebab belanja online itu selama ini (masih) identik dengan plastik? Berikut ini penjelasan singkat plus solusinya.
Pesanan jarak jauh
Saya mendapati, untuk pengiriman sekitar Jabodetabek saja, sebuah paket sudah bertumpuk plastiknya. Â Kebayang kan betapa banyak plastiknya ketika pembeli berada di pulau yang berbeda dari penjual.
Pemilik toko pasti telah mengemas pesanan pembelinya dengan plastik. Eh, masih ditambah lagi dengan plastik dari jasa kurir.
Jadilah paket belanja online itu memiliki double bahkan triple plastic saat dikirimkan. Â Setibanya di rumah pemesan, plastik langsung dibuang begitu saja setelah isi paket dibongkar, duh!
Solusinya, belanja ke pasar lokal sekitar rumah dapat menjadi alternatif jitu ketika barang yang ditawarkan secara online juga tersedia di toko fisik.Â
Memang kita (harus) mau lebih dari sekedar rebahan sambil memencet tombol smartphone saat membelinya.
Namun, kita dapat membawa sendiri kantong dari rumah saat berbelanja langsung. Lumayan kan, tindakan ini mampu mengurangi jumlah sampah kantong plastik.
Memang, harga belanja online itu (kadang) lebih murah dibandingkan belanja luring. Tapi, setelah saya hitung-hitung lagi dengan waktu tunggu hingga paket tiba, belanja offline itu sama murahnya lho.
Berat paket kiriman
Semakin ringan suatu barang, maka plastik umumnya jadi pilihan utama untuk membungkusnya. Sifatnya yang elastik dan kedap air membuatnya berulangkali dipilih untuk pengiriman belanja online.
Padahal, ketika barangnya ringan dan berbentuk padat, plastik tidak diperlukan lho. Begitu pula saat bendanya berat dan besar.
Solusinya yaitu selain belanja ke pasar atau toko terdekat sehingga dapat membawa kantong belanja sendiri dari rumah, kemasan selain plastik adalah alternatifnya.Â
Contohnya, kemasan kain dan kertas untuk benda ringan, kardus dan logam untuk berat sedang, serta kotak kayu untuk benda berat.
Jika memang kemasan plastik tak dapat dihindari, kita bisa menggunakannya kembali untuk keperluan lainnya (reuse). Misalnya, kantong plastik tersebut dipakai sebagai kantong sampah di rumah.
Saat ini, kita juga memiliki pilihan berbagai bank sampah yang menerima sampah plastik yang sudah bersih dari masyarakat. Saya mengetahui ada bank sampah di sekitar rumah yang menerima kemasan botol dan gelas plastik bekas dari warga untuk ditukar dengan mangkok atau piring. Â
Di media sosial, kita juga bisa menemukan akun resmi institusi atau perusahaan swasta yang mendaur ulang sampah (waste management companies). Kita dapat mengirimkan sampah yang telah dipilah ke mereka atau ditaruh di sejumlah titik tertentu (drop box) sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan nantinya akan ditukar dengan sejumlah benefit seperti poin keanggotaan maupun manfaat lainnya berupa imbalan materi.
Kemasan dari toko
Sejak lebih sering berbelanja online dari toko ramah lingkungan (eco-friendly stores), kemasan plastik yang saya terima memang jelas jauh berkurang jumlahnya. Toko hijau tersebut memilih untuk mengemas dengan pembungkus dari bahan kaca, kain, kayu, kertas, logam, dan non plastic lainnya.
Selotip yang mereka gunakan pun terbuat dari kertas. Bubble wrap diganti dengan kertas mirip struktur sarang lebah maupun tumpukan serpihan kertas bekas untuk meredam goncangan saat pengiriman barang dilakukan.
Tentu saja saya lebih senang menerima kemasan kardus tersebut karena dapat langsung saya lipat dan sumbangkan ke bank sampah yang dikelola pengurus masjid terdekat dari rumah sebagai sedekah sampah. Ada pula kotak kardus yang masih bersih tersebut saya pakai kembali untuk tempat menaruh barang seperti sepatu ataupun wadah membungkus kado.
Kemasan kaca atau gelas dan logam yang saya dapat dari hasil belanja online lalu berubah fungsi sebagai wadah menyimpan bumbu dapur. Aromanya jelas lebih segar saat disimpan dalam wadah kaca dibandingkan wadah dari plastik.
Lalu bagaimana saat kita berbelanja online di toko yang bukan mengusung konsep ramah lingkungan? Tenang, selama ini saya mendapati mereka sudah banyak yang menawarkan opsi kemasan tambahan untuk pembeli.
Solusinya, kita lebih baik memilih kemasan kardus daripada bubble wrap. Harganya sama kok dengan kualitas yang menurut saya, kardus lebih terjamin dibandingkan plastik.
Kini, belanja online memang sudah jadi bagian dari keseharian hidup kita. Namun, kita tetap bisa mengurangi sampah plastik saat berbelanja daring agar Bumi kita (satu-satunya) ini tetap terjaga kebersihan dan kesejukannya. Salam lestari selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H