Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Sempat Ditolak, Kini "Lunana: A Yak in the Classroom" Menembus Nominasi Oscar

21 Februari 2022   23:20 Diperbarui: 29 Maret 2022   12:52 1661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film ini adalah debut perdana Dorji sang sutradara dan juga para pemerannya, termasuk Pem Zam sebagai anak asli desa Lunana (Ilustrasi: Screendaily)

Apa yang terlintas di benak Anda ketika mengetahui suatu film termasuk nominasi piala Oscar? Film tersebut tentunya punya kualitas (jauh) di atas rata-rata.

Oscar dapat dibilang sebagai indikator paling bergengsi untuk mutu suatu film.

Sejarah panjang piala film yang sudah berusia 94 tahun tersebut membuat Oscar menjadi tolok ukur tertinggi bagi para sineas film di seluruh dunia.

Selama ini, nominasi dan pemenang Oscar identik dengan negara maju, khususnya negara Barat. Tak heran, kemenangan film Parasite yang bercerita tentang timpangnya kelas sosial antara kaum papa vs kaya dari Korea Selatan pada tahun 2020 lalu sebagai film pertama dalam bahasa selain Inggris untuk kategori Best Picture memberi angin segar bagi film Asia.

Tahun 2022 ini, film dari sebuah negara terkecil di Asia Selatan dengan total penduduk kurang dari 1 juta jiwa (hanya sekitar 756,100 orang menurut survei tahun 2021) yaitu Bhutan berhasil menarik perhatian dunia. 

Film Lunana: A Yak in the Clasroom yang digarap oleh seorang sutradara pemula bernama Pawo Choyning Dorji (39) menjadi salah satu nominasi fitur film internasional terbaik (International Feature Film) pada Oscar 2022.

Di atas kertas, peluang menangnya film Lunana yang diproduksi tahun 2019 atau sebelum pandemi mewabah ini untuk memang dapat dibilang paling kecil. Dorji sang sutradara pun mengakui bahwa nominasi Oscar ini lebih mirip sebuah mimpi indah bagi masyarakat Bhutan.

Saat wawancara virtual dengan staf dan mahasiswa The University of Southern California School of Cinematic Arts (USC-SCA), Dorji bahkan mengakui film Lunana sempat ditolak masuk seleksi Oscar 2021 karena kendala teknis administrasi. Namun, panitia Oscar memberinya kesempatan untuk mencoba kembali di tahun 2022.

Keberhasilan menembus nominasi Oscar 2022 ini pun hampir terganjal (lagi) karena situs resmi pendaftaran Oscar belum memasukkan Bhutan dan bahasanya sebagai salah satu negara peserta sehingga Dorji sempat tak bisa mengisi formulir daring tersebut. Tak patah arang, Dorji yang bukan alumni sekolah film itu lantas mengirim surat elektronik ke panitia Oscar untuk memberitahukan kesulitannya.

Usaha gigih Dorji membuahkan hasil dengan diterimanya pendaftaran Lunana, bahkan hingga menembus nominasi. Selain faktor cerita filmnya, kisah perjuangan sutradara Lunana pun tak kalah menariknya andainya dibuatkan film tersendiri kelak.

Maka itulah, saya menjagokan Lunana sebagai pemenang kategori film internasional terbaik pada Oscar 2022 ini. Ketiga hal berikut ini adalah penjelasan tentang layaknya Lunana menyabet Oscar untuk pertama kalinya bagi negara Bhutan.

Film ini adalah debut perdana Dorji sang sutradara dan juga para pemerannya, termasuk Pem Zam sebagai anak asli desa Lunana (Ilustrasi: Screendaily)
Film ini adalah debut perdana Dorji sang sutradara dan juga para pemerannya, termasuk Pem Zam sebagai anak asli desa Lunana (Ilustrasi: Screendaily)

Ide sederhana namun dekat realita

Siapa yang (tak) pernah merasakan dilema antara dua pilihan pekerjaan? Itulah yang dirasakan sang aktor utama yaitu seorang penyanyi kafe Ugyen (Sherab Dorji) yang harus mengajar di sekolah pada daerah paling terpencil di Bhutan yaitu Lunana sebagai tugas negara.

Ugyen sendiri sudah tak sabar ingin pindah ke Australia untuk kehidupan (materi) yang jauh lebih baik. Jelas Ugyen sempat menolak penugasan tersebut dengan alasan dirinya takut ketinggian karena Lunana-yang berarti Dark Valley-berada di pegunungan tinggi yang aksesnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki

Cerita Ugyen ini sangat dapat dipahami sehari-hari, terlebih bagi para pencari kerja ketika dihadapkan dengan harapan vs kenyataan. Kita umumnya berasumsi bahwa kebahagiaan itu hadir dengan adanya kemapanan.

Singkatnya, Ugyen dengan 1/2 hati berangkat ke Lunana setelah supervisornya dengan tegas mengatakan bahwa masalah utama Ugyen bukanlah ketinggian (altitude), namun perilaku kepribadiannya (attitude). Mulai saat itulah, penonton dapat membayangkan jika cerita hidup mereka seperti halnya Ugyen.

Sejatinya, film adalah kumpulan gambar bergerak yang bercerita. Dorji sang sutradara pun menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pendongeng (storyteller).

Tdak sedikit orang yang lebih tertarik dengan kisah film yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka sehingga terasa lebih familiar dibandingkan dengan ide film yang super canggih dan penuh fantasi. 

Saat menonton Lunana, pengalaman Ugyen sebagai pemuda kota yang terbiasa hidup dengan listrik dan elektronik namun ternyata tetap dapat menjalani keseharian tanpa keduanya di Lunana dapat memberi gambaran realistis bahwa bahagia itu sederhana.

Alat minimal namun alam optimal

Proses produksi Lunana ini sejak awalnya sudah memiliki tantangan yang luar biasa. Desa Lunana (56 orang penduduk, 4,800 m dpl/di atas permukaan laut) baru dapat dicapai dengan berjalan kaki selama sekitar 8 hari!

Jadi, adegan Ugyen yang harus turun-naik lembah dan bukit hingga sepatunya rusak itu juga dialami para kru film. Ketiadaan listrik di Lunana mau tak mau membuat Dorji hanya mampu mengambil gambar dengan single camera yang dihidupkan oleh baterai surya (solar batteries) sehingga saat mendung atau hujan turun, proses shooting film pun terpaksa dihentikan dulu.

Dorji pun pernah berpikir, jika film ini sampai tak selesai karena minimnya alat shooting di tengah lokasi yang jauh dari manapun, setidaknya sekali seumur hidup, dia dan timnya pernah mengalami pengalaman menyenangkan hingga mencapai Lunana yang indah dengan penduduknya yang luar biasa hangat dan ramah.

Ya, sepanjang film penonton akan disuguhi cantiknya alam Bhutan yang diwakili sejuknya pemandangan Lunana mulai dari segarnya gemericik aliran sungai, hijaunya padang rumput untuk tempat belajar di alam, hingga hadirnya binatang yak (sejenis kerbau) sebagai hewan ternak sekaligus sumber energi di rumah maupun di sekolah dari fesesnya yang telah dijemur, unik kan?

Kotoran hewan ternak ternyata dapat menjadi sumber pelita di Lunana (Ilustrasi: Youtube Films Boutique)
Kotoran hewan ternak ternyata dapat menjadi sumber pelita di Lunana (Ilustrasi: Youtube Films Boutique)

Selain penduduk asli Lunana yang turut mendukung rampungnya film dengan menjadi pemerannya, kerja sama dari Norbu, seekor yak yang tenang berada dalam kelas selama film berlangsung ikut menambah daya tarik film. Bagi warga desa di belahan dunia manapun, tak terkecuali di Bhutan, kisah hidup mereka sehari-hari jelas tak terlepas dari peran penting hewan ternak yang ada.

Selain bercerita tentang proses mencari kebahagiaan hidup, Dorji yang mengawali karier sebagai fotografer sebelum menjadi asisten sutradara ini memang memiliki misi untuk lebih mengenalkan Bhutan ke seluruh dunia melalui filmnya. Misi yang kini tercapai dengan semakin banyaknya orang yang mengetahui tentang Lunana.

Kru amatir yang berakting mahir

Saat Lulana adalah film perdana yang disutradarai oleh Dorji, maka begitu pula dengan pengalaman awal akting para aktor dan aktrisnya. Tak ada satu pun pemeran Lulana yang merupakan aktor profesional karena di Bhutan, para pemeran film sehari-hari bekerja selain di sinema demi mendapat gaji tetap.

Aktor pemeran Ugyen ternyata berprofesi utama sebagai penyanyi kafe dan resepsi pernikahan. Aktris cilik pemeran ketua kelas yang penuh antusias dan semangat Pem Zam (Zam) adalah gadis asli Lunana yang sebelumnya tidak pernah sekalipun menonton film, mirip seluruh warga Lulana lainnya, wow!

Namun, kemampuan akting mereka terlihat alami dan meyakinkan. Dorji sendiri memang telah menghabiskan banyak waktu terlebih dahulu bersama calon pemeran Lunana untuk mengenal lebih baik agar mereka mampu menghasilkan penampilan terbaik.

Dorji menyadari betul bahwa pemeran filmnya bukanlah A-list actors, bahkan baru ada yang mengenal film seperti halnya Pem Zam. Maka pendekatannya adalah mengarahkan mereka berakting sesuai dengan skenario film yang telah disesuaikan dengan karakter khas mereka masing-masing.

Siapa sangka, metode Dorji tersebut sukses memunculkan adegan spontan yang cukup sekali dilakukan (no retake), terutama untuk adegan Ugyen bersama para siswa-siswinya. 

Persahabatan Ugyen dengan seorang gadis penggembala yak sekaligus penyanyi lagu gembala yaitu Saldon (Kelden Lhamo Gurung) membuktikan kedekatan antara lawan jenis itu tak melulu soal romansa, namun diskusi mereka hingga meliputi topik perubahan iklim saat membahas peluang semakin tipisnya salju di Lunana.

Pastinya tiada gading yang tak retak. Meskipun cerita Lunana yang sederhana itu begitu mengena di kehidupan nyata, di akhir film penonton akan dihadapkan pada ujung cerita yang membuat tanda tanya baru seperti halnya kisah hidup manusia yang seringkali kisahnya begitu tak terduga.

Film Lunana adalah nominasi Oscar yang tak terduga bagi masyarakat Bhutan (Ilustrasi: Filmaffinity)
Film Lunana adalah nominasi Oscar yang tak terduga bagi masyarakat Bhutan (Ilustrasi: Filmaffinity)

Selepas menyaksikan Lunana, saya pun berdoa dan berharap bukan hanya untuk kemenangan pertama Bhutan di ajang Oscar, namun juga film Indonesia kelak dapat segera menyusul sebagai nominasi Oscar. 

Ketika impian itu jadi kenyataan, maka cerita bahagia pun akan dibagikan ke seluruh Indonesia, seperti yang saat ini dirasakan warga Bhutan dengan nominasi perdana Lunana.

Informasi film:

Judul: Lunana: A Yak in the Classroom

Pemeran utama: Sherab Dorji, Ugyen Norbu Lhendup, Kelden Lhamo Gurung, Pem Zam.

Sutradara: Pawo Choyning Dorji.

Tahun produksi: 2019.

Durasi: 109 menit

Produser: Pawo Choyning Dorji, Steven Xiang, Stephanie Lai, Jia Honglin

Sinematografi: Jigme T. Tenzing

Editor: Ku Hsiao Yun

Desain Produksi: Tshering Dorji

Musik: Hu Shuai

Penghargaan:

- Pilihan Audiens untuk Film Fitur Terbaik dan Penghargaan Terbaik Festival di Festival Film Internasional Palm Springs 2020

- Piala Lessina d'Oro untuk Film Terbaik di Festival Film Della Lessinia di Italia

- Aktor Terbaik untuk Sherab Dorji di Festival International du Film de Saint-Jean-de-Luz

- Nominasi Oscar 2022 untuk kategori fitur Film Internasional Terbaik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun