Ide sederhana namun dekat realita
Siapa yang (tak) pernah merasakan dilema antara dua pilihan pekerjaan? Itulah yang dirasakan sang aktor utama yaitu seorang penyanyi kafe Ugyen (Sherab Dorji) yang harus mengajar di sekolah pada daerah paling terpencil di Bhutan yaitu Lunana sebagai tugas negara.
Ugyen sendiri sudah tak sabar ingin pindah ke Australia untuk kehidupan (materi) yang jauh lebih baik. Jelas Ugyen sempat menolak penugasan tersebut dengan alasan dirinya takut ketinggian karena Lunana-yang berarti Dark Valley-berada di pegunungan tinggi yang aksesnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki
Cerita Ugyen ini sangat dapat dipahami sehari-hari, terlebih bagi para pencari kerja ketika dihadapkan dengan harapan vs kenyataan. Kita umumnya berasumsi bahwa kebahagiaan itu hadir dengan adanya kemapanan.
Singkatnya, Ugyen dengan 1/2 hati berangkat ke Lunana setelah supervisornya dengan tegas mengatakan bahwa masalah utama Ugyen bukanlah ketinggian (altitude), namun perilaku kepribadiannya (attitude). Mulai saat itulah, penonton dapat membayangkan jika cerita hidup mereka seperti halnya Ugyen.
Sejatinya, film adalah kumpulan gambar bergerak yang bercerita. Dorji sang sutradara pun menegaskan bahwa dirinya adalah seorang pendongeng (storyteller).
Tdak sedikit orang yang lebih tertarik dengan kisah film yang dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka sehingga terasa lebih familiar dibandingkan dengan ide film yang super canggih dan penuh fantasi.Â
Saat menonton Lunana, pengalaman Ugyen sebagai pemuda kota yang terbiasa hidup dengan listrik dan elektronik namun ternyata tetap dapat menjalani keseharian tanpa keduanya di Lunana dapat memberi gambaran realistis bahwa bahagia itu sederhana.
Alat minimal namun alam optimal
Proses produksi Lunana ini sejak awalnya sudah memiliki tantangan yang luar biasa. Desa Lunana (56 orang penduduk, 4,800 m dpl/di atas permukaan laut) baru dapat dicapai dengan berjalan kaki selama sekitar 8 hari!
Jadi, adegan Ugyen yang harus turun-naik lembah dan bukit hingga sepatunya rusak itu juga dialami para kru film. Ketiadaan listrik di Lunana mau tak mau membuat Dorji hanya mampu mengambil gambar dengan single camera yang dihidupkan oleh baterai surya (solar batteries) sehingga saat mendung atau hujan turun, proses shooting film pun terpaksa dihentikan dulu.