Lagipula, tak enak kan ya kalau kita seolah masih menyimpan 'skor' siapa yang lebih benar dengan keluarga, terutama keluarga inti. Semakin tinggi 'skor' itu, semakin lebar jurang tercipta yang akan memisahkan kebersamaan nantinya.
Namanya juga hidup seatap. Tak mungkin gesekan bisa hilang 100 persen saat kita berinteraksi.
Nah, sewaktu kita sudah ikhlas memaafkan, kita telah membuat batasan yang sehat untuk diri kita sendiri maupun orang lain untuk tak terpaku dengan masa lalu. Ketika maaf saling terlontar, di situlah tak ada lagi pihak yang merasa paling benar.
Bukankah tak tertutup kemungkinan, suatu saat kitalah yang menyakiti keluarga kita dengan sengaja maupun tidak. Di situlah terasa betul pentingnya keikhlasan memaafkan.
Ikhlas membuat beban terlepas
Bermaaf-maafan sudah (lama) dilakukan, tapi kenapa ya terasa ada yang masih mengganjal di dada? Hati-hati lho, sangat besar peluang bahwa kita belum 100% ikhlas memafkan.
Wajarlah saat rasa kecewa, marah, dan sedih bercampur menjadi satu saat kita disakiti. Memaafkan pun sepertinya hanya sebatas formalitas semu.
Padahal, semua rasa tak karuan itu bisa terkikis sedikit demi sedikit saat kita ikhlas memaafkan. Beban di hati dan kepala pun terangkat.
Sebaliknya, saat kita terus menyimpan amarah dalam dada, itu mirip benar dengan api dalam sekam. Tak tampak wujudnya, namun saat muncul dampaknya saat membahayakan semuanya.
Bisa terbayangkan betapa ringannya dada dan kepala saat kita telah memaafkan. Setelah itu, keikhlasan pun mudah mengikuti.
Beban perasaan yang terus terpendam juga bisa membuat badan sakit lho. Lebih baik dimaafkan dan diikhlaskan ya.