"Biasanya sepeda langsung Ayah bawa masuk rumah kan?" kata istrinya lagi. "Ya, tapi tadi Ayah belum sempat bawa masuk rumah. Sudah mau bersiap sholat Jum'at."
Pasangan suami istri senior itu pun lantas sibuk mencari sepeda lipat Pak Haji Adi. Mereka hanya tinggal berdua di rumah karena ketiga anak mereka tinggal di luar kota setelah bekerja dan menikah.
Hasilnya nihil. Sepeda lipat model terbaru dengan merek yang berawalan huruf 'B' dan berakhiran 'N' itu sudah raib dari rumah Pak Haji Adi.
Dirinya langsung terduduk lemas. Sepeda lipat senilai hampir 50 juta itu baru dibelinya 1 bulan lalu dari hasil keuntungan kebun kopi miliknya selama setahun.
Bu Haji Ida menyodorkan sekotak tissue ke suaminya untuk melap keringat di keningnya. "Istighfar, Yah. Sabar, sepeda lipat itu memang sudah takdirnya hilang."
"Pasti sepeda itu hilangnya belum lama. Tadi waktu Ayah ke masjid, sepeda itu masih ada," ujar Pak Haji Adi sambil menatap garasinya. "Ayah harus lapor satpam perumahan sekarang juga," katanya seraya bangkit dari kursi.
 "Sudahlah, Yah. Ikhlaskan saja," bujuk Bu Haji Ida seraya menarik tangan suaminya. Sambungnya lagi, "Coba diingat lagi. Apa Ayah kurang sedekah jadi hartanya belum disucikan?"
Pak Haji Adi tertegun. Dirinya memang belum membayar zakat hasil perkebunan kopinya karena rencananya akan dibayarkan bersama zakat fitrahnya nanti.
"Ada hak orang lain dalam harta kita, Yah. Mungkin hilangnya sepeda ini sebagai teguran dari Allah swt karena kita kurang berinfak selama ini," lanjut Bu Haji Ida. Pak Haji Adi kembali tersadar bahwa dirinya tadi tak bersedekah di masjid padahal kakinya sudah tersandung kotak amal di lantai.
"Ayo, Bu. Kita istirahat dulu saja siang ini," kata Pak Haji Adi sambil menutup pintu rumahnya. Saat pintu hampir tertutup, tiba-tiba ada suara lagu terdengar.
Penyanyinya adalah pengamen yang tadi berpapasan dengannya sepulangnya dari masjid. Bu Haji Ida berinisiatif, "Sebentar, Yah. Ibu ambilkan recehan dulu."