Lalu, bagaimana jadinya ketika jumlah petani (muda) minim? Â Terobosan Smart Farming dapat menjadi solusinya. Â Bukan sekedar smart, namun juga dapat berkembang sebagai TOP (Teamwork, Open-source, & Professional) Smart Farming. Â Berikut ini penjelasan lengkapnya.Â
Bagi masyarakat umum, termasuk mahasiswa saya. teknologi pertanian masih identik dengan alat-alat pertanian (alsintan) semisal traktor. Â Padahal, inti dari pertanian cerdas (Smart Farming) adalah pemanfaatan IoT (Internet of Things) untuk pertanian yang efisien dan efektif.
Satu waktu, seorang mahasiswa saya cuti kuliah setahun karena kurang biaya. Â Orang tuanya gagal panen padi di desa di Sleman Yogya. Â Penyebabnya yaitu musim kemarau berkepanjangan yang menghambat irigasi sawah. Â Saat itu, memang belum ada aplikasi KATAM.
Masyarakat Indonesia patut mengapresiasi kerja nyata Kementerian Pertanian (Kementan) RI untuk terwujudnya Smart Farming. Â Di bawah komando Mentan Amran Sulaiman, Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan) telah memiliki beberapa capaian penting, termasuk KATAM.
Iklim jelas berperan penting dalam pertanian. Â Setiap daerah memiliki pola iklim yang berbeda-beda. Â Di Indonesia, luasnya daerah dan perbedaan geografis dari Sabang sampai Merauke membuat setiap lahan pertanian memerlukan data iklim yang selalu aktual dan akurat.
 Petani di Kolombia dapat terhindar dari kerugian sebesar 3 Juta Dolar untuk biaya pupuk dan bibit karena menunda masa tanam.  Saran tersebut diberikan Kementan Kolombia bersama International Center for Tropical Agriculture setelah mendapat data perubahan iklim di tahun 2014.  Â
Kerjasama antar sektor dalam Smart Farming sangat berpotensi untuk mendongkrak hasil panen regional dan nasional. Â Maka itulah, kerja tim antar instansi pemerintah dengan perusahaan swasta dan universitas, mutlak dihadirkan demi suksesnya Smart Farming di Indonesia.
Open-source agar Produktivitas Smart Farming Semakin Tinggi