Hal itu diperparah dengan pengakuan public figures yang menyatakan bahwa ide-ide kreatif mereka banyak yang timbul setelah merokok.Â
Faktanya, saat merokok, maka denyut jantung bertambah sehingga kemampuan jantung membawa oksigen berkurang, dan terjadi penggumpalan darah yang berujung pada serangan jantung.
Jika sejak remaja, seseorang sudah aktif merokok, maka dapat dibayangkan buruknya kondisi kesehatan, kualitas hidup dan produktivitas kerjanya saat dewasa.
Rokok telah lama dikenal sebagai faktor resiko utama penyebab muculnya penyakit jantung koroner (coronary heart disease), stroke, dan penyakit dalam lainnya seperti kanker serta penyakit paru-paru.
Sebabnya mereka menganggap dirinya lebih gagah dan berkuasa, remaja perokok lalu menjadikan remaja yang tidak merokok sebagai korban bullying.
Padahal, merokok jelas menyakiti diri mereka sendiri sekaligus mengganggu orang lain (sebagai pelaku bullying).
Remaja yang memilih untuk merokok karena menyerah terhadap peer pressure harus siap menanggung resiko kesehatan.
Mereka juga kehilangan kesempatan untuk belajar mengoptimalkan kebebasan eksistensialnya.
Menurut Bertens dalam Etika (Gramedia, 1993), kebebasan eksistensial adalah kebebasan bersikap dan bertindak positif (kesadaran hati nurani) yang dipilih berdasarkan kedewasaan diri, kemandirian, dan kematangan religius.
Peran orang tua, guru, dan tokoh masyarakat, sangat vital dalam meminimalisir dampak negatif dari maraknya iklan rokok yang mengepung remaja.