Bepergian dengan kendaraan itu hal yang biasa di Jakarta.  Pergi tanpa terjebak macet di Jakarta itu baru luar biasa.  Kemacetan sudah menjadi makanan sehari-hari penduduk ibukota dan kota besar lainnya di Indonesia.  Tapi, masakan, kita pasrah saja dengan macet yang luar biasa?
Seingat saya, 10 tahun lalu, Jakarta memang sudah macet. Â Pengalaman pergi dan pulang kerja bersama adik yang sedang kuliah masih teringat jelas. Jika kami berangkat sebelum jam enam pagi, perjalanan dengan kendaraan beroda empat masih nyaman. Â Masih lancar jayalah waktu itu. Â Namun, berangkat setelah jam enam pagi berarti harus naik motor.Â
Sekarang? Berangkat setelah Shubuh pun, pukul 4.30 atau 5 pagi pun, macet sudah beruntun. Â Ampun deh! Â Mau naik mobil atau motor sama saja macetnya. Â Adik saya pernah berseloroh, "Di Jakarta itu enggak macetnya waktu tengah malam sampai dini hari aja, Mbak." Â Dia benar. Jalan raya di Jakarta itu baru sepi antara jam 1 malam sampai jam 3 pagi. Â
Macet parah ternyata bukan monopoli warga Jakarta. Â Sejak berdomisili di Bogor, saya merasakan langsung macet saat jam berangkat dan pulang sekolah. Â Tambahkan pula saat akhir pekan ketika masih tanggal muda atau long weekend. Â Jalan raya di Kota Bogor dipenuhi para wisatawan yang ingin menikmati pesona alam dan lezatnya kuliner di Kota Hujan.Â
Saking parahnya macet akhir pekan, rekan kantor saya pernah bercanda, "Sekarang ke Jakarta (dari Bogor) malah lebih cepat daripada pergi di dalam Jakarta atau Bogor.  Kan Commuter Lineenggak kenal macet."  Jika lancar, jarak tempuh dari Stasiun Bogor menuju stasiun akhir seperti Stasiun Kota sekitar 1.5 -- 2 jam.  Itu sama dengan waktu dari Terminal Bis Baranangsiang di Kota Bogor ke Terminal Laladon - Dramaga di Kabupaten Bogor saat macet total.  Padahal, tanpa macet, waktu tempuh keduanya hanya sekitar 45 -- 60 menit.
Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna yang dimuat dalam Kompas.com, data rata-rata dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa penduduk Jabodetabek menghabiskan waktu di luar rumah selama lebih dari setengah hari (14 -- 16 jam).  Padahal, masih menurut Yayat, jarak tempuh antara kantor dan rumahnya idealnya hanya memakan waktu 1 jam saja.  Jam kerja memang normal yaitu 8 -- 10 jam.  Tapi, macet di perjalanannya itu lho, bisa  sampai (hampir) selama waktu kerjanya atau 6 -- 8 jam.
Kemacetan jelas memusingkan. Â Mulai dari masalah kesehatan karena stress di jalan, keamanan karena padatnya orang dan kendaraan membuat pencopet leluasa beroperasi, hingga kerugian ekonomi hingga 5 milliar/tahun menurut data Bappenas tahun 2016 akibat kemacetan.
Berangkat (Jauh) Lebih Awal Sehingga Terhindar Macet Total
Sejak maraknya pembangunan infrastruktur di Jakarta, saya memilih berangkat 1 -- 2 jam lebih awal dari waktu tempuh normal. Â Contohnya, pembangunan jalan layang sepanjang Kapten Tendean hingga Ciledug yang membuat macet sepanjang daerah Kebayoran Lama sampai Petukangan. Biasanya Ciledug -- Blok M bisa ditempuh selama 45 menit sampai 1 jam. Â Namun, adanya pembangunan jalan layang tersebut membuat waktu tempuh hingga 90 -- 120 menit.
Jadi, mau ditempuh dengan motor, mobil, maupun kendaraan umum, saat jam padat di Jakarta, pengemudi di jalan raya bergerak mirip kura-kura. Data Pemprov DKI mendapati adanya 2 waktu 'langganan' macet total di Jakarta yaitu pukul 06.30-09.00 dan 16.30-19.30 WIB.
Hafal Jalan Pintas Supaya Macet (Parah) Dapat Diterabas
Sudah berangkat (jauh) lebih awal, tapi masih terjebak macet juga? Â Strategi kedua yaitu menempuh jalan pintas di luar jalan raya. Â Umumnya, jalur alternatif itu melewati jalan permukiman warga di kompleks perumahan atau perkampungan. Â Untuk urusan satu ini, saya akui adik bungsu saya jagonya. Â Setahu saya, para mahasiswa yang aktif berorganisasi atau berwirausaha di kampus sebagian besar mengetahui seluk-beluk jalan, termasuk jalur pintasnya.
Wajarlah saya langsung lega tiap kali mendapati supir angkutan online, motor maupun mobil, yang tahu rute singkat, apalagi saat macet namun diburu waktu. Â Saking senangnya, tips ekstra dan 5 bintang otomatis saya berikan saat menilai kualitas pelayanan mereka. Memang ada kalanya, jalan alternatif itu jaraknya jadi lebih jauh. Â Namun setidaknya, kendaraan masih tetap bisa melaju dan tidak diam di tempat karena terkurung parahnya macet di jalan raya.Â
Syukur Alhamdhulillah, sang supir Uber tahu rute pintas meskipun di awal, dirinya sudah mengingatkan, "Maaf, lewat sini sebenarnya jadi lebih jauh. Tapi, enggakkena macet. Â Bagaimana?" Keenam penumpang pun sepakat memilih jalur alternatif melalui perkampungan yang jalannya masih berbatuan. Â Sementara itu, rombongan satu lagi (nekad) melewati jalan raya karena memang lebih dekat. Â Namun, Â ternyata kami yang menaiki Uber sampai 30 menit lebih awal! Pulangnya, kami menyewa Uber lagi dan semua rombongan melewati rute singkat yang sama. Â Macet zaman now tuhmemang tak kenal waktu, termasuk di hari Minggu.Â
Berbagi Tumpangan Kendaraan Agar (Satu) Mobil Terisi Sepenuhnya
 Nah, ini yang sering membuat saya gemas tiap kali melihat mobil pribadi yang hanya berisi satu atau dua orang saat macet parah.  Mbokya diisi penuh tuh mobil supaya lebih efektif dan tidak buat jalan tambah padat.  Masih menurut Kompas Interaktif, di tahun 2015, menurut Data Statistik Transportasi DKI Jakarta ada 16.07 juta unit kendaraan.  Sedangkan, jalan raya yang terbangun 6.95 juta meter, saja! Jelas lebih efisien saat satu mobil bisa ditumpangi banyak orang.
Maraknya angkutan online saat ini memang sangat menunjang konsep berbagi tumpangan (ridesharing). Â Dulu, orang lebih terbiasa (plus gengsi) dengan naik mobil pribadi atau taksi karena enggan naik kendaraan umum. Â Tetapi sekarang, saya perhatikan, tiap akan bepergian lebih dari 2 orang, kalimat pertama yang muncul adalah, "Naik aplikasi (kendaraan) ini atau itu aja yuk!" Lumayan kan, jadi irit bensin, parkir, dan tenaga tapi tetap bisa menikmati nyamannya mobil pribadi. Polusi udara tentu berkurang dengan menaiki satu mobil bersama.
Setahu saya, ada beberapa tetangga di Jakarta yang pergi kerja dengan satu mobil bersama karena jalurnya searah. Â Beberapa teman yang bekerja di segitiga emas, Thamrin-Kuningan-Sudirman, bertutur bahwa mereka juga menaiki satu mobil untuk pulang ke Bogor bersama. Â Tentunya ada iuran bensin dan tarif tol yang ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal. Â Giliran menyetir, mereka pun telah menyusun jadwalnya masing-masing bagi yang mampu menyetir.Â
Pastinya, selain banjir tahunan, penduduk Jakarta sangat berharap masalah kemacetan akan berkurang dari tahun ke tahun. Â Bagi yang memiliki mobil pribadi, daripada menganggur di garasi rumah atau hanya memuat 1-2 orang, kan lebih produktif tuhya dengan berbagi tumpangan ke tetangga atau rekan kerja. Â Yuk, mari kita kurangi macet yang membuat pusing dengan berbagi tumpangan (ridesharing). Â Sepakat ya semuanya? Â