Bagi Eyang Habibie, usia kemerdekaan Indonesia bisa jadi tak ubahnya umur sang adik tercinta. Ini karena proklamasi Indonesia ‘lahir’ 9 tahun setelah Presiden RI ke-3 tersebut berusia 9 tahun 1 bulan 22 hari. Putra Indonesia yang lahir di Pare-pare Sulawesi Selatan pada 25 Juni tahun 1936 itu sempat merasakan kejamnya pesawat militer Belanda yang menjatuhkan bom di kampung halamannya. Wajarlah jika pria yang harum namanya di dunia dirgantara sedunia sempat pernah membenci pesawat terbang.
Namun, benarlah kata beliau. Rudy – begitu nama akrabnya – malah jatuh cinta luar biasa kepada sang burung besi. “Manusia berencana, namun Allah swt juga yang berkuasa,” kata Eyang Habibie yang fasih berbahasa Jerman dan Inggris. Pecinta matematika dan fisika serta mainan merek Meccano ini malah mengambil jurusan teknik pesawat terbang kala berkuliah di Aachen, Jerman tahun 1955, tepat 10 tahun usia kemerdekaan Indonesia.
Acara yang terselenggara atas kerja keras dan cerdas Friends of Mandiri Museum tersebut tidak hanya menyajikan koleksi foto kehidupan Eyang Habibie dari usia dini hingga saat ini. Bagi yang berjiwa seni maupun teknik sejati, pada Minggu 21 Agustus 2015 esok, rangkaian acara “Pameran Foto 80 Tahun Habibie” akan ditutup dengan 3 kegiatan yaitu “Lomba Membuat Pesawat dari Kayu Balsa, Lomba Foto dan Final Stand-Up Comedy, serta Lomba Membatik Pesawat N-250.” Maka sempatkan diri Anda bersama keluarga ataupun teman dan rekan tercinta untuk menyaksikan ketiga rangkaian program pada penutupan pameran tersebut.
Penonton film “Habibie dan Ainun” pasti mengingat adegan saat Rudy muda – diperankan aktor Reza Rahadian – sedang sakit tuberculosis parah dan dirawat di salah satu RS di Jerman. Bukannya teringat keluarga atau kekasih tercinta di Indonesia (pastinya juga belum ada karena waktu itu belum bertemu kembali dengan Ibu Ainun), Eyang malah menulis sumpah setianya kepada Ibu Pertiwi untuk menguatkan semangatnya sampai saat ini. So sweet and patriotic, indeed. Anak muda Indonesia, jadikanlah kesulitan dan kesakitan sebagai motivasi hidup seperti halnya Eyang ya #SelfReminder
Foto-foto pernikahan mereka yang penuh rasa cinta nan bersahaja – untuk ukuran zaman mereka, ada satu foto pernikahan yang ‘luar biasa ekspresif’ - secara halus menyampaikan pesan kepada muda-mudi penerusnya : “Kalau sudah saling cocok dan keluarga setuju, tunggu apa lagi?” *indahnya pacaran setelah pernikahan*
Pilihan pasangan hidup Eyang yaitu Ibu Ainun yang 100% asli putri Indonesia semakin menegaskan rasa cinta Eyang terhadap tanah airnya. Sekalipun pernah ada wanita Eropa yang singgah di hati Eyang – familiar dengan nama Ilona? – pesona wanita Indonesia tetaplah sang juaranya. Walaupun begitu, Eyang tak serta-merta memaksakan kehendaknya terhadap Ibu Ainun mengenai jumlah buah hati mereka. Patut diingat, keduanya sama-sama terlahir dari produk ‘KB’ alias ‘Keluarga Besar’ dan (bukan kebetulan) kompak menjadi anak ke-4 dari 8 bersaudara, wow!
Kebahagiaan dan kesuksesan sebagai eksekutif perusahaan di negeri orang tak lantas membuat Eyang lupa dengan cinta sejatinya kepada Ibu Pertiwi. Tujuan cinta pertama Eyang, sang ibunda tercinta yaitu R. A. Marini Puspowardojo, mengirim Rudy muda ke Jerman agar tingkat intelektualitas putra beliau menjadi tambah bermutu dan membuat Indonesia semakin maju. Maka di era tahun 70-an, tepatnya tahun 1974, Eyang kembali ke pangkuan tanah air yang puluhan tahun ditinggalkannya.
Tahun 1978, Eyang resmi membuat teknologi semakin digemari karena bertambah manusiawi bagi generasi muda – anak sekolah banyak yang mengidolakan sang ahli dirgantara asal Indonesia tersebut dan bercita-cita dapat mengikuti jejak Eyang – dengan menjadi Menristek RI hingga tahun 1998.
Eyang sudah menjadi bukti nyata bahwa putra Indonesia tak kalah kualitasnya di bidang teknologi. Tambahkan pula, Eyang mencontohkan langsung (sangat) mungkinnya keseimbangan antara kesuksesan pendidikan dan pekerjaan dengan menuntaskan kuliah S3 beliau di Jerman. Catat ya, Eyang selalu lulus kuliah di tiap jenjangnya dengan nilai yang “very good.”
Namun hebatnya, Eyang tak pernah menganggap dirinya jenius dan bahkan sebal disebut demikian – yang belum atau tidak jenius, kalau mau pongah dan jumawa, tolong diingat sudah menyumbangkan dan berbuat hal baik apa untuk Indonesia tercinta – serta mencontohkan bahwa industri teknologi bisa dimulai dari modal sederhana maupun apa adanya seperti halnya Apple yang dimulai oleh Steve Jobs dan Steve Wozniak dari garasi rumah mereka.
Lalu datanglah tahun 1998, tahun yang takkan (pernah) terlupakan bagi segenap rakyat Indonesia. Dua tahun sebelum era millennium menyongsong, Indonesia menyaksikan pergantian kekuasaan dari era kepresidenan (yang lumayan mirip kerajaan) Pak Harto menuju periode Reformasi di bawah komando Eyang, Wapres ke-7 RI. Transisi tampuk kepemimpinan nasional dari Presiden RI ke-2 kepada tangan dingin Eyang - namun Syukur Alhamdulillah, selalu minus tangan besi - mampu terkendali tanpa harus mengorbankan lebih banyak lagi air mata para anak bangsa.
Jadilah dengan manajemen Eyang, nilai Rupiah menguat hingga di bawah Rp. 10.000,- setelah dihantam krisis moneter tahun 1997/1998. Kebebasan pers yang dipasung selama 32 tahun dibuka selebar-lebarnya oleh Eyang. Bagi beliau, urusan Hak Asasi Manusia (HAM) harus diprioritaskan meskipun Indonesia harus merelakan ‘kehilangan’ propinsi ke-27 atau propinsi termudanya kala itu, Timor Timur, yang sekarang menjadi negara merdeka Timor Leste.
Enam tahun lalu, Eyang harus rela ketika separuh jiwanya dipanggil Yang Maha Kuasa. Tahun 2010, Ibu Ainun menyusul Papi (Alwi Abdul Jalil Habibie) dan Mami Eyang, ke alam baka. Cinta sejati Eyang fisiknya memang telah tiada. Namun, kenangan manis dan nasionalis tentang Hasri Ainun Habibie akan abadi dengan buku yang ditulis suami tercintanya, Habibie & Ainun. Selamat hari lahir ke-80, Eyang. Teruslah menginspirasi kami para anak negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H