Hal menarik lainnya yang dipaparkan Pak Tom adalah adanya motto program yaitu “a call to action’ dari Presiden Jokowi untuk menetapkan harga daging sapi Rp.80.000/kilo saat Lebaran. Sekilas program tersebut terlihat mustahil atau mission impossible. Namun, Pak Tom percaya bahwa pasti selalu dan harus ada solusi untuk setiap masalah, tak terkecuali tingginya harga daging sapi. “Persoalan tidak bisa diatasi dengan alasan.
Waktu ada yang mengeluh ke saya: Pak Tom, harga pakan ternak saja sudah mahal, bagaimana mungkin harga daging sapi bisa turun?” Sambungnya, “Saya langsung tidak setuju. Jawaban itu keliru karena tidak memberi solusi. Ya, memang ada masalah, tapi tetap harus disertai dengan langkah-langkah mengatasinya.” Di tengah hiruk-pikuk topik naiknya harga daging sapi, Pak Tom pun masih bisa bergurau, “Saya masih doyan steak. Belum eneg meskipun bolak-balik berurusan dengan daging sapi.”
“Ada daging sapi yang harganya terjangkau untuk masyarakat semua kalangan,” begitu penjelasan Pak Tom tentang tujuan utama dari penurunan harga daging sapi menjadi Rp.80.000/kilo. Uniknya lagi, titik landasan penetapan harga daging sapi yang terjangkau tersebut ternyata adalah jaminan adanyakecukupan gizi untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya generasi muda. “Gizi masyarakat luas menjadi fokus utama Bapak Presiden (Pak Jokowi) dengan adanya penurunan harga daging sapi,”ujar Pak Tom.
Pak Tom kemudian berbagi pengalamannya saat hadir dalam acara buka puasa di kantor BPK (Badan Pemeriksa keuangan) yang juga dihadiri oleh Bustanul Arifin, salah seorang menteri pada era Orde Baru. Menurut Pak Bustanul, seperti yang disampaikannya ke Pak Tom, pemerintah Indonesia bisa semakin efektif mengatasi masalah kurang gizi, termasuk stunting (keterlambatan pertumbuhan) pada anak-anak, dengan konsumsi lebih banyak zat protein yang bersumber dari daging sapi. Menurut saya pribadi, strategi pemerintah tersebut sangat tepat guna karena berdampak positif secara jangka panjang untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional.
Pak Tom pun mengakui, pemerintah tidak muluk-muluk menargetkan semua rakyatnya dapat menikmati potongan daging kualitas sangat bagus (primary cut). Potongan has dalam dan luar serta lamusir adalah bagian dari daging sapi berkualitas premium yang bisa dijumpai di kafe dan ‘HoReKa/Hotel, Restoran, dan Katering’ elit. “Primary cut itu dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat kelas atas yang jumlahnya tentu saja tidak terlalu banyak.
Contohnya Wagyu dan prime ribs,” urai Pak Tom. Tambahnya, “Namun, fokus dan komitmen utama pemerintah saat ini tentunya ke masyarakat luas yang lebih banyak bisa membeli potongan daging sapi dengan kualitas bagus hingga sedang atau secondary cut type A-B (umumnya dimasak di skala rumah tangga untuk rendang, semur, dendeng, dan abon sapi) dan CL atau manufacturing meat sebagai bahan baku industri bakso.” Daging sapi jenis secondary cut dan CL inilah yang diprioritaskan pemerintah agar harganya bisa berkisar dari Rp.60.000-70.000/kilo untuk tipe CL dan Rp.80.000-90.000/kilo untuk secondary cut.
Selain memprioritaskan jaminan gizi bagi masyarakat luas di Indonesia dengan adanya harga daging sapi yang terjangkau, pemerintah juga berusaha melindungi kelancaran jalannya struktur industri di bidang peternakan sapi dan pengolahan dagingnya. Di bidang pengolahan daging sapi, harga daging sapi yang meroket akan membuat pengusaha kecil dan menengah seperti pedagang bakso dan sosis bisa gulung tikar. “Saya sempat khawatir dan gelisah dengan keberlanjutan prospek usaha para penjual bakso jika harga daging sapi terlalu mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah,” komentar Pak Tom.
Selanjutnya, di sektor peternakan sapinya, Pak Tom menjelaskan “Jika harga daging sapi terlalu tinggi, maka peternak sapi cenderung akan memotong sapi betina indukan yang merupakan penghasil sapi potong. Padahal ini sama saja seperti ‘membakar’ usaha mereka sendiri. Sapi indukan adalah ‘pabrik’nya usaha peternakan sapi potong.” Lanjutnya dengan prihatin,” Namun, pemerintah juga tidak bisa menyalahkan tindakan mereka itu (agar segera meraih keuntungan) karena sebagian besar peternak sapi di Indonesia memang belum memiliki daya tahan keuangan yang tinggi. Kebanyakan mereka tidak kaya-kaya amat. Peternakannya juga masih dikelola secara kekeluargaan dan belum berupa pabrik besar dengan mesin pemotong daging yang modern seperti di Australia. Mereka tidak tahan ketika melihat peluang laba di depan mata sehingga langsung membantai sapi indukan yang ada.”
Maka inilah saatnya seluruh elemen pemerintahan bersama segenap rakyat Indonesia bersatu padu dalam menyukseskan terjangkaunya harga daging sapi bagi seluruh masyarakat. Kekompakan ini sudah dimulai dan dicontohkan langsung dari semakin solid dan terbukanya komunikasi antara 4 (kementerian) yang terkait langsung dengan tata kelola niaga harga daging sapi di Indonesia yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi dan UKM. “Sudah saatnya bagi kami (para menteri) untuk menurunkan ego sektoral antar instansi sehingga sinergi kerjasamanya lebih baik lagi,” ungkap Pak Tom sumringah.