Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Operasi Harga Daging Sapi, Dari Misi Revolusi Menjadi Solusi Pasti

30 Juni 2016   15:10 Diperbarui: 30 Juni 2016   15:21 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daging sapi beku tipe secondary cut ini juga tetap gurih saat dimasak menjadi rendang (Dokpri)

Daging sapi termasuk idola menu Lebaran. Sebut saja semur daging, rendang daging, empal daging dan sebagainya. Maklum saja, hari raya Idul Fitri adalah momen perayaan acara keIslaman terbesar di Indonesia. Euforia hari raya Haji atau Idul Adha pun tidak sesemarak Idul Fitri bagi kebanyakan rakyat Indonesia.

Bisa dibilang, seistimewa Lebarannya, semewah menu jamuannya. Meskipun mahal, demi menyuguhi para tamu Lebaran, masyarakat Indonesia rela merogoh isi kocek dan dompetnya lebih dalam untuk membeli jenis bahan pangan tertentu. Daftarnya antara lain daging sapi, daging ayam, santan kelapa, minyak goreng, cabai, bawang merah, bawang putih, dan masih banyak lagi.

Sesuai hukum permintaan dalam teori ilmu ekonomi, semakin banyak jumlah permintaan suatu barang atau jasa, maka semakin mahal harga barang atau jasa tersebut. Saya ingat betul, komentar rutin orang tua saya tiap kali pulang berbelanja dari pasar tradisional menjelang Lebaran datang, "Haduh, haduh! Harga kok ya selalu meroket tiap Lebaran. THR jadi numpang lewat aja nih." Pasti banyak orang mengiyakan pendapat Bapak dan Ibu saya tersebut.

Bahkan ketika dirunut lebih awal lagi, harga bahan pangan seringnya sudah mulai naik dari sejak awal Ramadhan. Jangankan harga daging yang memang tidak (terlalu) murah di hari selain Lebaran, harga bahan pangan sampingan pun ikut.  Pengalaman saya di minggu pertama Ramadhan di awal Juni ini mendapati harga sebungkus (sachet) bubuk pudding atau jelly instant naik harganya dari Rp. 3000/bungkus menjadi Rp.4000/bungkus. Berarti harganya naik sebesar Rp.1000/bungkus atau hingga 30%, wow!  Bisa jadi, ini karena melonjaknya pembuatan es buah atau minuman manis untuk buka puasa yang memakai pudding atau jelly sebagai pelengkapnya.  

Kisah lainnya, teman saya yang berasal dari Bandung bercerita tentang acara buka bersama keluarganya di akhir pekan pada seminggu awal Ramadhan tahun 2016 ini. "Wah, belum Lebaran, harga daging sudah naik banget lho, Nis. Biasanya sekilo sembilan puluh ribu (Rp.90.000/kilo). Eh, kemarin waktu ke pasar, harganya sudah seratus empat puluh ribu per kilo (Rp.140.000/kilo),”curhatnya ke saya.  Otomatis otak saya menghitung kenaikan harga daging sapi di Bandung tersebut.  “Naik Rp.50.000/kilo berarti.  Ampun ya, naiknya sampai 55%!” komentarnya saya takjub.

Maka saya pun langsung tertarik untuk mengikuti Nangkring Kompasiana bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Rabu, 22 Juni 2016, tentang tata kelola niaga harga daging sapi.  Istimewanya lagi, Thomas ‘Tom’ Lembong sebagai Menteri Perdagangan (Mendag) bahkan secara sukarela menawarkan diri untuk menjadi narasumber utama dan satu-satunya pada acara yang berlokasi di Anomali Coffee, Menteng – Jakarta, pada pukul 17.00 hingga 19.00 WIB itu. 

 Kesediaan bapak menteri yang juga alumni Harvard University tersebut untuk langsung memaparkan informasi terpercaya dan edukasi kepada sebanyak 50 orang jurnalis warga dari Kompasiana tentu sangat layak diapresiasi.  Selama hampir 2 jam, Pak Tom yang murah senyum tersebut berdiskusi dengan para Kompasianer dalam suasana, yang menurut beliau kepada moderator dari Kompas TV, Liviana C. (Livi), “Menyenangkan sekali bagi saya untuk bisa berdiskusi dalam suasana kekeluargaan seperti ini.”    

Diskusi tentang harga daging sapi dengan Kemendag RI di Anomali Coffee Menteng Jakarta, 22 Juni 2016 (Dokpri)
Diskusi tentang harga daging sapi dengan Kemendag RI di Anomali Coffee Menteng Jakarta, 22 Juni 2016 (Dokpri)
Ini biang keladi harga daging sapi tinggi

           “Mencoba hal-hal yang baru.  Mencoba hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.  Ini sesuai dengan semangat revolusi mental yang dicanangkan oleh Pak Jokowi (Presiden RI ke-7).  Sekali-kali kita jungkir balik.  Jika biasanya harga mahal saat Lebaran, saatnya hal tersebut diubah,” begitu tutur Pak Tom di awal diskusi.  Selama ini, melonjaknya harga bahan pangan setiap Ramadhan dan dan Lebaran, terutama daging sapi, dianggap normal oleh (hampir) semua masyarakat Indonesia.  Akibatnya, mereka pun pasrah dengan kenyataan tersebut sekalipun membuat kondisi keuangan mereka kembang-kempis.

            Lalu, apakah penyebab utama kenaikan drastis harga daging sapi selama ini? “High Cost Economy.  Di sini (di Indonesia), semuanya serba mahal.  Pulsa mahal, listrik pun mahal,” jawab Pak Tom.  Lanjut beliau, “Inefisiensi struktur industri menyebabkan tingginya biaya ekonomi di Indonesia.” Contohnya, biaya transportasi dari peternakan sapi ke rumah pemotongan hewan (RPH) menjadi tinggi karena kemacetan di jalan. Ditambah lagi dengan kemacetan yang kembali terjadi dari RPH ke pasar tradisional maupun supermarket tempat daging sapi didistribusikan ke masyarakat luas. 

 “Di Malaysia dan Singapura, infrastrukturnya sudah jauh sangat efisien daripada Indonesia sehingga kemacetan tidak menjadi masalah lagi,” ujar Pak Tom.  Kemendag juga telah mengirimkan tim kerja ke Malaysia dan Singapura untuk melihat tata kelola harga daging sapi di sana, termasuk meninjau ke supermarket dan pasar tradisional.  Terpacu dengan optimalnya efisiensi struktur industri kedua negara tetangga tersebut, Pak Tom pun mantap berprinsip, “Ketika mereka bisa, kenapa kita tidak bisa? Indonesia juga pasti bisa.”

            Hal menarik lainnya yang dipaparkan Pak Tom adalah adanya motto program yaitu a call to action’ dari Presiden Jokowi untuk menetapkan harga daging sapi Rp.80.000/kilo saat Lebaran.  Sekilas program tersebut terlihat mustahil atau mission impossible. Namun, Pak Tom percaya bahwa pasti selalu dan harus ada solusi untuk setiap masalah, tak terkecuali tingginya harga daging sapi.  “Persoalan tidak bisa diatasi dengan alasan.  

Waktu ada yang mengeluh ke saya: Pak Tom, harga pakan ternak saja sudah mahal, bagaimana mungkin harga daging sapi bisa turun?” Sambungnya, “Saya langsung tidak setuju.  Jawaban itu keliru karena tidak memberi solusi.  Ya, memang ada masalah, tapi tetap harus disertai dengan langkah-langkah mengatasinya.” Di tengah hiruk-pikuk topik naiknya harga daging sapi, Pak Tom pun masih bisa bergurau, “Saya masih doyan steak. Belum eneg meskipun bolak-balik berurusan dengan daging sapi.”     

Para Kompasianer peserta Nangkring Kemendang tentang harga daging sapi (Dokpri)
Para Kompasianer peserta Nangkring Kemendang tentang harga daging sapi (Dokpri)
Revolusi harga daging sapi dimulai darisini

            “Ada daging sapi yang harganya terjangkau untuk masyarakat semua kalangan,” begitu penjelasan Pak Tom tentang tujuan utama dari penurunan harga daging sapi menjadi Rp.80.000/kilo.  Uniknya lagi, titik landasan penetapan harga daging sapi yang terjangkau tersebut ternyata adalah jaminan adanyakecukupan gizi untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya generasi muda. “Gizi masyarakat luas menjadi fokus utama Bapak Presiden (Pak Jokowi) dengan adanya penurunan harga daging sapi,”ujar Pak Tom.   

 Pak Tom kemudian berbagi pengalamannya saat hadir dalam acara buka puasa di kantor BPK (Badan Pemeriksa keuangan) yang juga dihadiri oleh Bustanul Arifin, salah seorang menteri pada era Orde Baru.  Menurut Pak Bustanul, seperti yang disampaikannya ke Pak Tom, pemerintah Indonesia bisa semakin efektif mengatasi masalah kurang gizi, termasuk stunting (keterlambatan pertumbuhan) pada anak-anak, dengan konsumsi lebih banyak zat protein yang bersumber dari daging sapi.   Menurut saya pribadi, strategi pemerintah tersebut sangat tepat guna karena berdampak positif secara jangka panjang untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia dalam menunjang pembangunan nasional.

           Pak Tom pun mengakui, pemerintah tidak muluk-muluk menargetkan semua rakyatnya dapat menikmati potongan daging kualitas sangat bagus (primary cut).  Potongan has dalam dan luar serta lamusir adalah bagian dari daging sapi berkualitas premium yang bisa dijumpai di kafe dan ‘HoReKa/Hotel, Restoran, dan Katering’ elit.  “Primary cut itu dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat kelas atas yang jumlahnya tentu saja tidak terlalu banyak.

  Contohnya Wagyu dan prime ribs,” urai Pak Tom.  Tambahnya, “Namun, fokus dan komitmen utama pemerintah saat ini tentunya ke masyarakat luas yang lebih banyak bisa membeli potongan daging sapi dengan kualitas bagus hingga sedang atau secondary cut type A-B (umumnya dimasak di skala rumah tangga untuk rendang, semur, dendeng, dan abon sapi) dan CL atau manufacturing meat sebagai bahan baku industri bakso.” Daging sapi jenis secondary cut dan CL inilah yang diprioritaskan pemerintah agar harganya bisa berkisar dari Rp.60.000-70.000/kilo untuk tipe CL dan Rp.80.000-90.000/kilo untuk secondary cut

            Selain memprioritaskan jaminan gizi bagi masyarakat luas di Indonesia dengan adanya harga daging sapi yang terjangkau, pemerintah juga berusaha melindungi kelancaran jalannya struktur industri di bidang peternakan sapi dan pengolahan dagingnya.  Di bidang pengolahan daging sapi, harga daging sapi yang meroket akan membuat pengusaha kecil dan menengah seperti pedagang bakso dan sosis bisa gulung tikar.  “Saya sempat khawatir dan gelisah dengan keberlanjutan prospek usaha para penjual bakso jika harga daging sapi terlalu mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat kelas bawah,” komentar Pak Tom. 

Selanjutnya, di sektor peternakan sapinya, Pak Tom menjelaskan “Jika harga daging sapi terlalu tinggi, maka peternak sapi cenderung akan memotong sapi betina indukan yang merupakan penghasil sapi potong.  Padahal ini sama saja seperti ‘membakar’ usaha mereka sendiri.  Sapi indukan adalah ‘pabrik’nya usaha peternakan sapi potong.”  Lanjutnya dengan prihatin,” Namun, pemerintah juga tidak bisa menyalahkan tindakan mereka itu (agar segera meraih keuntungan) karena sebagian besar peternak sapi di Indonesia memang belum memiliki daya tahan keuangan yang tinggi.  Kebanyakan mereka tidak kaya-kaya amat.  Peternakannya juga masih dikelola secara kekeluargaan dan belum berupa pabrik besar dengan mesin pemotong daging yang modern seperti di Australia.  Mereka tidak tahan ketika melihat peluang laba di depan mata sehingga langsung membantai sapi indukan yang ada.”

Jenis potongan dan harga daging sapi berdasarkan kualitasnya (Dokpri)
Jenis potongan dan harga daging sapi berdasarkan kualitasnya (Dokpri)
Aksi pasti mengatasi tingginya harga daging sapi

           Maka inilah saatnya seluruh elemen pemerintahan bersama segenap rakyat Indonesia bersatu padu dalam menyukseskan terjangkaunya harga daging sapi bagi seluruh masyarakat.  Kekompakan ini sudah dimulai dan dicontohkan langsung dari semakin solid dan terbukanya komunikasi antara 4 (kementerian) yang terkait langsung dengan tata kelola niaga harga daging sapi di Indonesia yaitu Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Koperasi dan UKM.  “Sudah saatnya bagi kami (para menteri) untuk menurunkan ego sektoral antar instansi sehingga sinergi kerjasamanya lebih baik lagi,” ungkap Pak Tom sumringah

Selain keempat kementerian tersebut, pemerintah juga menggandeng pelaku sektor keuangan yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tercapainya financial inclusion (pemerataan akses keuangan) bagi peternak sapi dengan adanya akses ke bank yang lebih mudah sehingga kondisi keuangan mereka lebih sehat.  Jika keuangan petani sapi lebih terjamin, maka mereka tidak akan mudah membantai sapi betina indukan demi mengejar keuntungan sesaat.  Untuk pembangunan infrastruktur dan manufaktur, maka pemerintahan kini sedang membangun industri RPH yang modern agar lebih efisien jalannya usaha potong sapi. 

 “Pemerintah juga saat ini giat-giatnya membangun waduk untuk mengairi pertanian dan peternakan sesuai tujuan Nawacita Pak Jokowi yang menargetkan berdirinya 69 waduk di seluruh Indonesia hingga 2019.  Pengalaman pemerintah selama ini mendapati bahwa ketersediaan pasokan air sangat menunjang kelancaran usaha peternakan, seperti contohnya usaha ternak sapi dan jagung yang ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur,” urai Pak Tom.

            Untuk menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia, maka pemerintah juga telah menggelar Operasi PasarDaging Sapi yang dilakukan bersama oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian (Kementan).  Info lokasi dan daftar alamat lengkap dari nama pengelola operasi pasar daging sapi di 26 provinsi di Indonesia tersebut dimuat dalam situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dapat dibaca di tautan berikut ini.  Saya mencoba langsung menu daging sapi lada hitam yang dihidangkan saat Nangkring Kompasiana dengan Kemendag seminggu lalu itu.  Ternyata, daging sapinya berasal dari “Pasar Ramadhan” yang digelar oleh Kemendag.  Mau tahu rasa dan tekstur dagingnya? Lembut, lunak, dan lezat lho.  Maknyuusslah pokoknya!

            Nah, dari segi edukasi konsumen, maka inilah saatnya mengubah pola pikir dan perilaku (mindset and behavioral changes) mereka tentang konsumsi daging sapi dari daging segar ke konsumsi daging beku.  Pak Tom menyadari benar bahwa selama ini, masyarakat Indonesia lebih senang membeli potongan daging sapi segar daripada daging sapi beku. Tak heran, permintaan daging sapi segar selalu jauh melampaui permintaan daging beku. 

Hmm, pasti inilah penyebab sapi indukan turut dipotong juga untuk memenuhi melonjaknya permintaan pasar dan pedagang yang ada.  “Padahal, secara ekonomis, stok daging sapi segar yang dibekukan tetap menguntungkan karena ketika demand (permintaan) konsumen meningkat, stok daging beku tersebut dapat segera dijual setelah dikeluarkan dari ruang penyimpanan beku (chill storage),” terang Pak Tom.

Operasi Pasar Daging Murah tersedia di 26 provinsi di seluruh Indonesia (Sumber : https://www.kominfo.go.id/content/detail/7767/daging-untuk-rakyat-komitmen-pemerintah-lewat-operasi-pasar/0/kerja_nyata)
Operasi Pasar Daging Murah tersedia di 26 provinsi di seluruh Indonesia (Sumber : https://www.kominfo.go.id/content/detail/7767/daging-untuk-rakyat-komitmen-pemerintah-lewat-operasi-pasar/0/kerja_nyata)
            Daging sapi jelas memiliki potongan bagian yang berbeda-beda.  Perbedaan bagian daging sapi itulah yang lalu menentukan jenis kualitas dagingnya.  Ada harga jelas ada rupa.  Semakin berkualitas potongan dagingnya, maka semakin mahal pula harganya.  Secara ekonomi, kenyataan tersebut tentu tidak dapat dihindari lagi.

            Namun, bukan berarti masyarakat umum – terutama dari kelas menengah dan bawah – jadi tidak bisa menikmati daging sapi.  Komitmen pemerintah untuk terjaminnya sumber gizi berupa protein (zat pembangun tubuh) dari daging sapi yang harganya terjangkau oleh masyarakat luas harus selalu didukung sekaligus dimonitor manfaatnya.  Kemakmuran dan kesejahteraan penduduk suatu bangsa salah satunya ditopang dari kedaulatan dan swasembada pangan di negara tersebut.  Yuk, bersama kita konsumsi daging bekunya, majukan peternak sapinya, dan dukung program pemerintah Indonesia.   

COO Kompasiana, Pepih Nugraha/kemeja putih dan Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong (Dokpri)
COO Kompasiana, Pepih Nugraha/kemeja putih dan Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong (Dokpri)
           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun