Hidup itu untuk Diberdayakan, bukannya Menyerah dengan Keadaan
Alkisah ada dua orang kawan yang bercita-cita ingin menjadi penulis sejak masa muda mereka. Si A berkata, “Yuk, kita mulai menulis selembar halaman per hari. Setahun pasti bisa menjadi satu buku.” Jawab si B, “Saya sudah sering ikut pelatihan menulis. Pasti gampanglah itu menulis kalau hanya selembar ini.”
Kedua kawan itu memang tidak menjadikan profesi penulis sebagai pekerjaan utama. Hari pun berlalu diselingi kesibukan menjalani kehidupan masing-masing dengan bekerja dan berkeluarga. Si A menyempatkan diri di waktu luangnya untuk menulis. Dimulai dari menulis artikel, lalu buku, hingga menjadi penulis senior yang kerap membimbing penulis junior. Sementara si B menganggap kegiatan menulis bisa dikerjakan nanti saja ketika dia tidak lagi sibuk bekerja. Waktu senggangnya lebih banyak dihabiskannya untuk berleha-leha tanpa rencana.
Tanpa terasa, waktu terus berganti. Memasuki masa pensiun, si A sudah memiliki tabungan dan penghasilan tambahan dari royalti koleksi bukunya selama ini. Si B yang terlanjur terlena dengan kenyamanan hidupnya semasa bekerja baru tersadar. Dana pensiunnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dia harus memiliki tambahan pemasukan. Lalu dia teringat tentang tekadnya untuk menulis dulu. Namun, apa daya, jangankan menulis lama-lama, kondisi kesehatannya sudah menurun sehingga harus lebih banyak beristirahat.
Ilustrasi di atas memang hanya kisah fiksi. Meskipun demikian, fakta dan realita di masyarakat menunjukkan bahwa usia pensiun menjadi momok menakutkan. Mulai dari tak lagi memiliki penghasilan bulanan, mudah sakit, hingga merasa tak berdaya karena faktor lanjut usia. Ohya, tambahkan pula post-power syndrome jika sebelumnya adalah seorang pejabat.
Tak heran, masa pensiun banyak dianggap sebagai masa hidup yang kurang, bahkan tidak berarti lagi bagi kebanyakan orang. Menurun atau berhentinya penghasilan bulanan tak pelak membuat orang kehilangan rasa percaya diri. Selain masa pensiun, masa krisis keuangan juga jelas mengakibatkan orang frustasi dan depresi. Di Indonesia, krisis moneter tahun 1997 – 1998 menyebabkan banyaknya pengangguran mendadak yang ironisnya, terdidik secara formal. Perusahaan tempat para sarjana maupun master tersebut bekerja, terutama bank, satu persatu gulung tikar karena krisis ekonomi yang lebih popular dengan sebutan “krismon.”
Kamis 21 April 2016, peluncuran buku inspiratif tersebut dilangsungkan di kantor pusat BTPN di daerah Kuningan Jakarta dengan mengundang para Kompasianer dan pengusaha yang kisahnya turut dimuat dalam penulisan buku ini, yaitu Pak Taryat, pengusaha Alia Chocolate dari Ciomas, Bogor. Kompasianer Majawati Oen yang menjadi salah satu penulis buku tersebut juga hadir dan berbagi cerita tentang pengalamannya mewawancarai narasumber.
Yang Tua yang Tetap Berkarya
Berapa usia Anda saat ini? 20-an, 30-an, atau 40-an? Berapa pun usia muda Anda saat ini, percayalah. Masa tua akan menghampiri Anda. Jika masa tua tersebut akhirnya tiba juga, apakah yang Anda akan lakukan dengan hidup Anda? Tentunya berhenti berkarya karena usia tua bukanlah hal yang pantas dilakukan. Kelima orang warga senior (senior citizen) yang kisah suksesnya termuat dalam buku “Hidup yang Lebih Berarti” ini membuktikan bahwa dalam kesederhanaan masa purnabakti (pensiun), mereka terus dapat berkarya, berdaya, dan bermanfaat bagi sekelilingnya.