Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Sambatan, Solusi Gotong Royong untuk Ketersediaan Perumahan

27 Februari 2016   21:02 Diperbarui: 27 Februari 2016   21:53 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada budaya sambatan, tidak dikenal istilah upah ataupun balasan berbentuk uang. Ditilik dari kajian ilmu Antropologi Ekonomi, sambatan bertumpu pada asas timbal-balik (Reciprocity). Contohnya, seperti pengalaman Simbah Kakung dan Putri saya. Saat ada warga lainnya di desa mereka yang sedang membangun rumah, mereka turut pula membantu dengan tenaga dan waktunya.

Budaya sambatan lebih berorientasi pada bentuk gotong-royong dan saling tolong-menolong serta ajang silaturahmi antar warga desa. Prinsip utama sambatan adalah “siapa menanam kebaikan, pasti akan memetik hasilnya kelak (sapa nandur kebecikan, mesti bakal ngunduh). Bisa dipastikan, dengan adanya budaya sambatan saat membangun, seisi desa bisa saling mengenal warganya dengan baik agar mudah mendapatkan bantuan di saat memerlukan. Puluhan tahun lalu, tutur orang tua saya, tak ada istilah ‘penduduk gelap’ yang keberadaannya tidak dikenal di desa mereka.

Sambatan tentunya juga membuat waktu pembangunan rumah menjadi semakin singkat karena dibantu oleh hampir seisi penduduk desa. Rumah zaman baheula (masa lampau) umumnya terbuat dari kayu atau triplek seperti rumah Simbah saya, dan bukannya tembok seperti saat ini. Bahkan tak sedikit rumah warga desa di Jawa yang dibangun dari bambu (gedhek). Meskipun begitu, apapun jenis rumahnya (kayu, triplek, bambu, tembok), bagi para pelaku sambatan, yang terpenting adalah ikatan kekeluargaan, persaudaraan, dan solidaritas yang terjalin dengan membangun bersama rumah warga di suatu desa.

Setelah kuliah, saya baru tahu bahwa mayoritas rumah warga desa - tempat Simbah saya tinggal - dibangun dengan cara sambatan. Sekarang, rumah tempo dulu tersebut tidak lagi ditempati pemilik aslinya yang sebagian besar sudah wafat, termasuk Simbah saya. Rumah hasil budaya sambatan itu saat ini lebih banyak ditempati generasi kedua atau generasi ketiga, bahkan tidak sedikit pula yang sudah dijual ke orang lain.

["Saat sambatan dilakukan, para bapak bergotong rotong membangun rumah sementara para ibu bersama menyiapkan makanan di dapur"/Sumber Ilustrasi 2]

Sayangnya, belakangan ini budaya sambatan tak lagi sering dilakukan dalam keseharian penduduk desa di Jawa seperti dulu, tak terkecuali di desa almarhum dan almarhumah Simbah saya. Menurut penuturan anggota keluarga besar saya di sana, meningkatnya tingkat pendidikan sekaligus pendapatan, secara tak langsung sedikit demi sedikit menggeser budaya guyub (kebersamaan) para warga desa saat akan membangun rumah. Zaman sekarang, sudah banyak tenaga tukang bangunan yang bisa dibayar harian maupun borongan untuk membangun rumah. Tak tertutup kemungkinan, budaya sambatan di Pulau Jawa bisa jadi nasibnya lambat laun hanya menjadi nostalgia.

Sebagai warga komplek perumahan di kota besar, saya memang tak pernah merasakan sendiri adanya budaya sambatan di sekeliling tempat tinggal saya. Namun, satu hal yang saya alami sendiri, budaya gotong royong berupa kerja bakti warga di komplek untuk membersihkan lingkungan semakin lama semakin berkurang frekuensinya. Awalnya sebulan sekali, kini setahun paling hanya 2 – 3 kali.

Fakta dan realita dengan semakin memudarnya budaya gotong royong, khususnya sambatan ini tentunya harus mendapat perhatian serius dari masyarakat bersama. Ditambah dengan kenyataan pahit bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan pendanaan untuk memiliki rumahnya sendiri, khususnya untuk kalangan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah atau bekerja di sektor informal) dan juga MBM (Masyarakat Berpenghasilan Menengah). Menurut Data BPS dan Bank Dunia tahun 2011, hanya 18% pembeli rumah yang menggunakan KPR perumahan dan hampir semuanya berasal dari pekerja kantoran atau sektor formal.

Di Indonesia, nyatanya ketersediaan rumah layak huni masih sangat kurang dibandingkan jumlah rumah tangga yang ada. Menurut survei organisasi Real Estate Indonesia (REI) pada tahun 2012, baru 45 juta unit rumah yang tersedia untuk 240 jutaan penduduk. Sedangkan pertumbuhan penduduk per tahunnya adalah 1,3%.

Kita tentunya menyambut baik dan mengapresiasi UU Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) yang akan segera disahkan pemerintahan Presiden Jokowi. Sambil menunggu resminya UU Tapera, kenapa masyarakat Indonesia tidak mengoptimalkan kembali budaya sambatan yang telah terbukti manfaatnya berupa rumah yang dapat ditempati warga sejak dahulu hingga bertahun-tahun kemudian?

Untuk penduduk desa, sambatan dapat pula dibantu oleh pihak aparat pemerintahan, seperti Babinsa dan anggota TNI ABRI di Desa Bragol Kecamatan Karangjati Ngawi. Contoh nyata sambatan anggota Kodim Ngawi bersama warga dilakukan saat merenovasi rumah tak layak huni milik warga miskin, Sukiran, tersebut pastinya sangat layak ditiru oleh daerah lainnya di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun