Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

[FFPI 2015] Indonesiaku Kebanggaanku, Filmku Nasionalismeku

25 Januari 2016   11:01 Diperbarui: 25 Januari 2016   11:20 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

          Budaya masyarakat Indonesia jelas beragam.  Contoh positifnya yaitu gotong royong, musyawarah untuk mufakat, toleransi, dan masih banyak lagi lainnya.  Ada pula contoh negatifnya (atau malah uniknya?) seperti budaya latah (ikut-ikutan), lempar batu sembunyi tangan, bergosip, KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), dan sebagainya.  Keempat film berikut ini bercerita dengan kocaknya tentang budaya yang ada pada masyarakat di Indonesia.

          Film “Nilep” dari kategori umum berkisah tentang tukang mainan anak keliling yang menjual lotere (undian) kepada pembelinya.  Empat orang anak berbeda pendapat tentang kejujuran si penjual.  Dua orang anak laki-laki menganggap penjual sengaja memasang nomor kosong atau berhadiah tidak menarik agar anak-anak terus penasaran untuk mencoba keberuntungannya.  Sedangkan dua anak lagi berprinsip, sekalipun dugaan kedua bocah laki-laki tersebut benar, tetap saja mereka tidak boleh melakukan balas dendam.  Apalagi sampai mencuri mainan yang menjadi hadiah dalam pengundian lotere tersebut.

Anak gimbal ini menjadi maskot di daerahnya di Pegunungan Dieng pada film "Ruwat" atau Membuang Sial (Dokpri)

          Lalu, masih dari film kategori umum, “Ruwat” menampilkan budaya ruwat (upacara tolak bala/menolak malapetaka) di daerah Pegunungan Dieng.  Seorang anak berambut gimbal alami dari lahirnya baru mau mengikuti upacara ruwat jika permintaannya berupa mengunjungi Hong Kong telah dipenuhi.  Maka sang orang tua pun – berprofesi sebagai petani yang memiliki seekor sapi - memutar otak dan akal mereka agar keinginan anak tersebut tidak harus dituruti sedangkan upacara ruwat tetap bisa terlaksana.  Akhir cerita yang mengejutkan sukses membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal.

Gegara trend batu akik, persatuan dan kesatuan antara ketua kelas dan anggotanya sempat terkoyak pertengkaran (Dokpri)

          Masih ingat trend cincin batu akik di 2015 yang sempat diminati masyarakat Indonesia?  Iming-iming mendadak kaya membuat banyak orang latah berdagang dengan mengoleksi batu akik.  Film “Ali-Ali Setan” dari kategori pelajar bercerita tentang sepasang murid SD yang bertengkar karena cincin batu akik.  Sebagai ketua kelas, Reza membuang cincin batu akik Irman karena menuruti peraturan sekolah : murid laki-laki dilarang memakai perhiasan.  Irman berkelit karena melihat pak guru mereka juga memakai cincin batu akik.  Perbuatan memang selalu menimbulkan dampak lebih kuat daripada perkataan.

Film "Opor Operan" menggambarkan dengan apik dan menggelitik tentang orang Indonesia yang panjang akalnya (Dokpri)

          Film terakhir dari kategori umum yaitu  “Opor Operan” bertutur tentang suasana menjelang Lebaran.  Opor ayam menjadi menu khas tiap kali Idul Fitri di Indonesia.  Namun, dari tiga orang ibu yang bertetangga di suatu pemukiman, hanya satu ibu yang baru selesai memasak opor ayam untuk dibagikan kepada tetangga.  Kebiasaan orang Indonesia yang banyak akalnya – apalagi saat kepepet untuk menjaga gengsi dan harga diri – dikritik dengan cantik plus menggelitik pada film produksi sebelas Sinema Pictures lainnya dari Bandung yang juga menjadi finalis dalam FFPI 2015 ini

Sutradara film "Filosofi Kopi" dan Juri FFPI 2015, Angga Sasongko, memaparkan kriteria film yang berkualitas (Dokpri)

Inilah Para Juara dari Kesepuluh Film Finalis FFPI 2015

          Saat ditanya salah seorang Kompasianer, Ibu Rahayu Damanik, salah seorang juri FFPI 2015 yaitu Angga Sasongko mengungkapkan sejumlah kriteria penentuan pemenang dari sepuluh finalis FFPI 2015.  Menurut sutradara film Cahaya dari Timur : Beta Maluku dan Filosofi Kopi tersebut, teknik produksi film bisa beragam karena mereka ada yang berasal dari sekolah film, komunitas film, sanggar film, maupun eskul film di sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun