Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Pahlawan, Mari Fokuskan Kemajuan Pembangunan

10 November 2015   10:28 Diperbarui: 10 November 2015   17:13 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bung Tomo, pemimpin Pertempuran Surabaya 10 November yang diperingati sebagai Hari Pahlawan (Sumber Ilustrasi 1)

 

               Selain Hari Kemerdekaan Indonesia setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia juga memiliki hari pentingnya lainnya untuk mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan. Tepatnya setiap tanggal 10 November atau hari ini, Hari Pahlawan diperingati sebagai bentuk penghargaan sekaligus penghormatan terhadap perjuangan arek-arek Suroboyo yang dipimpin oleh Bung Tomo dalam melawan pasukan Sekutu pasca Proklamasi 17 Agustus 1945.

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 tersebut dicatat sebagai salah satu bentuk nyata rasa nasionalisme rakyat Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan bangsa yang baru 3 bulan sebelumnya memproklamirkan kemerdekaannya. Sekalipun harus menghadapi bombardir serangan tentara Sekutu yang berisi aliansi negara maju yaitu Inggris dan Belanda, rakyat Indonesia tetap gagah berani melawan bentuk kolonialisme gabungan tersebut. Pasukan Sekutu kala itu boleh menang soal senjata, namun semangat menyala dalam membela negara pastinya hanya dimiliki pejuang Indonesia.

Setiap kali membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia, saya selalu kagum dengan realita bahwa dengan senjata sederhana – terutama bambu runcing – para pejuang di zaman revolusi fisik dahulu dapat mengusir penjajah yang jelas lebih canggih alat perangnya. Selain perlengkapan perang, secara keilmuan, bangsa Indonesia juga masih kalah jauh dari Belanda dan juga Jepang. Era penjajahan, hanya segelintir orang Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan formal. Jangankan bersekolah, baca-tulis pun banyak yang tak mampu.

Luar biasanya, semangat mereka untuk merdeka terus bergelora. Meskipun zaman itu belum ada media sosial yang bisa menyebarkan informasi perjuangan dari satu daerah ke daerah lainnya di Indonesia dengan cepat dan serentak, rasa persatuan sudah dibentuk sejak peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda pada 27-28 Oktober 1928. Lalu, 17 tahun kemudian, tepatnya tahun 1945, bangsa Indonesia pun, dengan seizin Yang Maha Kuasa, berhasil memproklamirkan kemerdekaannya. Saya sempat terpikir, jika kala itu perkembangan fasilitas IT (teknologi dan informasi) sudah dirasakan di Indonesia, mungkinkah kemerdekaan akan lebih cepat diraih? Atau malah sebaliknya?

Para pahlawan perjuangan di Indonesia tentu saja berharap dengan kemerdekaan yang diraih dapat membukakan pintu kesejahteraan yang seluas-luasnya dan seadil-adilnya bagi segenap rakyat Indonesia. Kemakmuran di suatu negara jelas sulit diwujudkan jika bangsa tersebut masih dijajah bangsa lainnya. Nah, ironisnya, era pasca kemerdekaan kini, penjajahan tidak lagi bentuknya secara fisik sehingga tidak disadari dengan nyata keberadaannya. Tapi, jangan salah. Pengaruhnya bahkan lebih parah daripada penjajahan fisik karena mengakibatkan kemunduran bangsa yang diam-diam dijajah tersebut, bahkan di era modern saat ini.

Satu waktu, sehabis menghadiri konggres pertanian internasional di Vietnam, seorang teman pernah bercerita. “Hebat ya Vietnam itu. Pemerintahnya benar-benar fokus dan serius dengan sektor pertaniannya. Bisa-bisa sebentar lagi mereka bisa semaju Thailand dalam memproduksi komoditas pertaniannya,” begitu kisahnya. “Padahal mereka baru 40 tahun lalu bersatu setelah Perang Vietnam berakhir tahun 1975. Bagaimana ini dengan Indonesia yang sudah merdeka selama 70 tahun?” tambahnya lagi.

Bicara kualitas pembangunan, memang bangsa Indonesia tak usah terlalu jauh berambisi menyamai negara-negara maju di Amerika dan Eropa serta Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Silakan tengok dulu negara-negara di Asia Tenggara. Contoh paling nyatanya adalah negara serumpun Indonesia, Malaysia. Di awal Orde Baru, negara jiran tersebut mengirimkan mahasiswanya untuk belajar ke perguruan tinggi di Indonesia. Sekarang? Fenomena sebaliknya yang terjadi.

Setelah Malaysia yang telah melesat maju kualitas pembangunannya beberapa langkah di depan Indonesia, kini juga mulai ada Vietnam yang semakin memantapkan mutu pembangunan bangsanya, terutama di bidang pertanian dengan program reformasi lahan (land reform). Padahal, secara luas wilayah pertaniannya, Indonesia jauh lebih luas daripada Vietnam. Logikanya, Indonesia yang 30 tahun lebih dulu merdeka dari Vietnam dapat menjadi pemeran utama dalam bidang pertanian di Asia Tenggara.

Memang banyak orang yang bisa berkilah, “Mengurus negara sebesar Indonesia itu tidak semudah yang dibayangkan.” Tapi, menilik kesuksesan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya 7 dekade lampau, meskipun dengan fasilitas perang seadanya, kenapa kesuksesan yang sama tidak bisa diulang lagi dalam pembangunan nasional setelah Indonesia merdeka? Bahkan saat Pertempuran Surabaya 10 November, pihak Sekutu yang awalnya mengira Surabaya dapat ditaklukkan dalam waktu tiga hari, ternyata salah besar.

Selama tiga minggu, rakyat dan pejuang Surabaya terus melawan tentara Sekutu yang dipersenjatai dengan pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Walaupun akhirnya Surabaya dapat dikuasai Sekutu, namun bukan berarti penduduk Surabaya mau begitu saja menyerah dan bertekuk lutut pada tentara Inggris dan Belanda tanpa perlawanan berarti.

 

Kini, setelah 70 tahun merdeka, saatnya segenap rakyat Indonesia menjadi pahlawan pembangunan nasional (Sumber Ilustrasi 2)

 

Maka itulah, bertepatan dengan momentum Hari Pahlawan hari ini, segenap rakyat Indonesia agar mengingat kembali makna dan esensi perjuangan para pahlawan yang telah gugur dalam meraih kemerdekaan dan kedaulatan bangsa. Tanpa adanya kemerdekaan, mustahil pembangunan nasional dapat dilaksanakan demi menyejahterakan segenap rakyat Indonesia. Sudah saatnya masyarakat Indonesia kembali FOKUS dengan tujuan dan sasaran pembangunan nasional yang telah dilaksanakan sejak Presiden RI pertama, Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga Presiden ketujuh kini, Joko Widodo.

Presiden dan pemerintahan Indonesia boleh berganti selama 70 tahun ini. Namun target, tujuan, dan sasaran pembangunan harus selalu berfokus untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh anak bangsa. Bagi masyarakat Indonesia yang pernah pergi apalagi sampai tinggal di luar negeri, ingatlah bahwa Anda dikenal oleh masyarakat dunia sebagai perwakilan Indonesia seutuhnya. Mereka tidak peduli tentang partai politik apa dan calon presiden yang mana yang Anda dukung saat pemilu tahun 2014 lalu. Yang mereka tahu, Anda adalah WNI atau Warga Negara Indonesia. Jadi kebaikan yang Anda lakukan akan memberi nama baik untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan dan begitu pula sebaliknya.

Sebelum tahun 1945, rakyat Indonesia telah serius berfokus dan bertekad bulat untuk merebut kemerdekaannya dari penjajah Belanda dan Jepang. Saat itu, semuanya rela menjadi pahlawan bangsa tanpa berpikir panjang tentang penghargaan apalagi jabatan saat Indonesia telah merdeka. Selama itu untuk kemerdekaan Indonesia, jangankan harta dan tenaga, nyawa pun menjadi taruhannya.

Fokus tingkat tinggi dan kebulatan tekad untuk merdeka yang dimiliki para pahlawan Indonesia tersebut tentunya sangat tepat jika ditiru oleh para generasi penerusnya dalam memajukan pembangunan nasional saat ini dan seterusnya. Hentikan kritik destruktif yang hanya menghasilkan debat kusir tanpa henti terhadap pemerintahan yang kini sedang berkuasa. Bukankah para pahlawan itu lebih banyak bekerja dengan hasil nyata daripada hanya berkata penuh retorika?

Sudah saatnya seluruh masyarakat Indonesia membiasakan diri dengan kritik konstruktif yang disertai dengan solusi nyata – sesuai status dan profesinya masing-masing - terhadap pemerintahan yang sedang menjalankan pembangunan nasional. Berkeluh-kesah, khususnya di media sosial, tanpa adanya semangat untuk berubah menjadi lebih baik lagi itu tidak akan menghasilkan kemajuan apapun bagi diri sendiri maupun orang lain. Bisa bayangkan jika dulu rakyat Indonesia malah lebih sering mengeluhkan keadaan bangsanya yang dijajah via media sosial tanpa berjuang secara nyata dengan memanggul senjata? Harap diingat, media sosial adalah perantara dan alat, bukan tujuan dan sasaran akhir pembangunan nasional.

Sejatinya, setiap orang adalah pahlawan bagi dirinya sendiri dan juga orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Mari segenap rakyat Indonesia bersatu menjadi pahlawan pembangunan nasional mulai saat ini dan ke depannya dalam meraih kemakmuran bangsa bersama-sama. Selamat Hari Pahlawan. Jayalah selalu Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun