[caption id="attachment_406365" align="aligncenter" width="448" caption="Museum Hakka di TMII yang serupa dengan bentuk Tulou Fujian dari Tiongkok (Dokpri)"]
Jika Museum Cheng Ho berbentuk rumah gaya peranakan, maka MHI dari jauh sudah mirip benar dengan benteng dan atap terbuka seperti stadion olahraga. MHI memang mengadopsi bentuk bangunan Tulou di pegunungan Fujian yang merupakan tempat tinggal marga Hakka di Tiongkok.Wajar jika MHI dibangun seperti bentuk Tulou.Para pendiri dan donator MHI adalah marga Tionghoa di Indonesia yang mayoritas berasal dari keturunan marga Hakka Yongding.
[caption id="attachment_406366" align="aligncenter" width="640" caption="Lobi utama Museum Hakka Indonesia di TMII (Dokpri)"]
Ketika memasuki MHI, pengunjung akan melihat bangunan yang tersusun atas 3 lantai.Umumnya Tulou memiliki 3 lantai.Fungsi Toulo adalah sebagai tempat tinggal dan bahkan bisa menampung hingga 100 keluarga.Lantai 1 untuk fasilitas umum seperti MCK dan sekolah, lantai 2 untuk tempat persediaan bahan pangan sehingga pasokan makanan tetap tersedia jika musim dingin tiba, dan lantai 3 tempat tinggal masing-masing keluarga.
[caption id="attachment_406367" align="aligncenter" width="640" caption="Lantai 1 Museum Hakka di TMII yang bisa menampung hingga 1000 orang (Dokpri)"]
Masih menurut petugas MHI, Tulou ada juga yang hingga memiliki 5 lantai. Namun, berapapun jumlah lantainya, Tulou hanya memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar.Hal ini untuk memudahkan pengawasan terhadap orang yang keluar dan masuk Tulou karena Tulou juga berfungsi sekaligus sebagai benteng pertahanan terhadap pihak musuh maupun hewan buas pada zaman dahulu.Sejak 2008, Tulou diakui UNESCO sebagai salah satu World Heritage Site (Situs Bangunan Bersejarah).
[caption id="attachment_406368" align="aligncenter" width="640" caption="Peta persebaran awal daerah di Nusantara yang didatangi etnis Tionghoa (Dokpri) "]
Di TMII, lantai 1 MHI berfungsi sebagai ruan rapat dan pertemuan yang bisa disewa masyarakat umum dan toko oleh-oleh.Petugas MHI menyebutkan, di bulan Agustus 2015 nanti, ada seorang pengusaha yang akan menikahkan anaknya di gedung museum tersebut dan sudah membayar uang muka sewa gedung sebagai tanda jadi.Lantai dasar MHI mampu menampung hingga 500 orang jika mereka duduk dan 1000 orang tanpa tempat duduk.
[caption id="attachment_406369" align="aligncenter" width="640" caption="Ruang Merah Putih di lantai 2 museum yang berisi foto-foto tokoh nasional Tionghoa-Indonesia (Dokpri)"]
Jika ingin menaiki lantai 2 dan 3 MHI, pengunjung bisa menggunakan lift atau lantai.Nah, di lantai 2 inilah terdapat sejarah marga Tionghoa di Indonesia.Oleh karena itu, lantai 2 disebut khusus sebagai Museum Tionghoa Indonesia (MTI) karena sejarah marga Hakka di Indonesia sangat berkaitan erat dengan sejarah masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan.
Di masa awal kedatangan marga Tionghoa ke Indonesia, tidak semua daerah di Nusantara didatangi dan ditempati oleh mereka.Di Sumatera, marga Tionghoa awalnya banyak bermukim di Medan, Bagan Siapi-api, Palembang, dan Bangka-Belitung.Lalu di Jawa, mulanya marga Tionghoa terkonsentrasi di daerah Batavia, Semarang, dan Surabaya.Kemudian di Sulawesi, mereka bermula tinggal di Makasar dan Manado.Selanjutnya di Kalimantan, mereka berada di Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda.Sekalipun demikian, di MTI juga terdapat keterangan dan tentang orang Cina di Bali.
[caption id="attachment_406371" align="aligncenter" width="640" caption="Para tokoh agama dan cendikiawan dari warga Tionghoa di Indonesia (Dokpri)"]
Di MTI inilah, pengunjung bisa menjumpai Ruang “Merah Putih”.Di bawah tulisan “Indonesia Kepadamu Kami Berbakti” berjejer foto tokoh-tokoh Tionghoa yang berjasa terhadap Nusa dan Bangsa dari berbagai bidang kehidupan. Mulai dari tokoh Muhammadiyah sekaligus Ketua Partai Masyumi Bengkulu dan pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Abdul Karim Oey atau Oey Tjeng Hien, wartawati dan penulis senior Kompas Threes A. Santosa, politisi Alvin Lie, Sosiolog dan Anggota Komnas Anti Kekerasan pada Perempuan Dr. Mely G. Tan atau Tan Giok Lan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabinet Indonesia Bersatu II Pang Hui Lan atau Dr. Marie Elka Pangestu, pendiri dan rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Nio Cwan Chung atau Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, aktor Ferry Salim, hingga pembalap muda Rio Haryanto.
[caption id="attachment_406372" align="aligncenter" width="640" caption="Kuli Tionghoa-Indonesia yang bekerja di zaman penjajahan Belanda (Dokpri)"]
MTI juga berisi sejarah kehidupan dan profesi marga Tionghoa di Indonesia.Saat Belanda masih menjajah Indonesia, banyak marga Tionghoa yang berkerja sebagai kuli dan pekerja kasar.Namun ternyata kehidupan keras tersebut tak menyurutkan rasa nasionalisme marga Tionghoa di Indonesia.Terbukti ada dua tokoh nasional dari warga Tionghoa Indonesia yang turut berperan aktif dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu Sie Kok Liong dan Kwee Tiam Hong.
Urusan kuliner, sudah menjadi rahasia umum bahwa cita rasa Tionghoa banyak mempengaruhi sajian makanan di Indonesia.Sebut saja Lumpia Semarang, Laksa Betawi, Bakpia Pathok, dan masih banyak lagi ragamnya. Foto Nila Chandra atau Chan Lan Nio sebagai ahli kue tradisional dan ahli tahu Sumedang, Ong Boen Keng, turut pula terpajang di Ruang Merah Putih MTI di lantai 2 MHI.
[caption id="attachment_406373" align="aligncenter" width="448" caption="Laksa Betawi dengan pikulannya di Museum Tionghoa dan Hakka Indonesia TMII (Dokpri)"]
Barulah di lantai 3, pengunjung benar-benar dapat mengetahui sejarah marga Hakka di Indonesia yang sebagian besar berasal dari daerah Yongding di Indonesia.Ternyata marga Hakka di Indonesia banyak yang berkecimpung dalam industri obat-obatan di Indonesia.Merek obat dan ramuan kesehatan yang terkenal antara lain Pil Sehat, obat batuk dan influenza Ultraflu, permen pelega tenggorokan Milton, dan larutan pereda panas dalam Lasegar dan Cap Badak.Di bidang properti, ada pemilik Summarecon Gading.Di bidang pendidikan, terdapat Panji Wicaksana, 90 tahun, dosen Trisakti dan Atmajaya.
[caption id="attachment_406374" align="aligncenter" width="640" caption="Museum Hakka Yongding Indonesia di TMII berada di lantai 3 (Dokpri)"]
Pulang dari mengunjungi Taman Budaya TMII, saya mendapatkan banyak informasi berharga dan sudut pandang yang lebih humanis tentang marga Tionghoa di Indonesia, terutama sumbangsih mereka dalam pembangunan nasional, mulai dari ekonomi, politik, agama, pendidikan, hingga sastra, seni dan budaya.Kesimpulannya, misi Taman Budaya Tionghoa-Indonesia memang seiring sejalan dengan fungsi utama TMII sebagai perekat budaya bangsa.
[caption id="attachment_406375" align="aligncenter" width="640" caption="Satu keluarga yang mengunjungi Museum Hakka Yongding di TMII (Dokpri)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H