Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bersatunya Tionghoa dan Indonesia di Taman Budaya TMII

29 Maret 2015   21:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49 1331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_406348" align="aligncenter" width="448" caption="Pintu gerbang Taman Budaya Tionghoa-Indonesia di TMII Jakarta Timur (Dokpri)"][/caption]

“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.”Kutipan terkenal tersebut menggambarkan tentang peran penting Negera Tirai Bambu tersebut sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia.Di Indonesia, masyarakat keturunan dari dataran Tiongkok tersebut lebih akrab disebut sebagai ‘kaum peranakan’ atau orang Tionghoa.Di era tahun 70an hingga 90-an, tercatat beberapa nama masyarakat Tionghoa di Indonesia yang menorehkan prestasi emas di bidang bulutangkis (badminton) seperti Rudy Hartono juara All England termuda sekaligus terbanyak, serta peraih emas perdana Indonesia di Olimpiade yaitu pasangan Susi Susanti bersama Alan Budikusuma, dan lainnya.Lalu di bidang birokrasi dan pemerintahan, tercatat nama Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur dan Megawati serta Basuki ‘Ahok’ T. Purnama, Gubernur DKI saat ini.

[caption id="attachment_406350" align="aligncenter" width="448" caption="Pembangunan Taman Budaya Tionghoa-Indonesia di TMII ini berlangsung dari tahun 2006 (Dokpri)"]

14276328011758550433
14276328011758550433
[/caption]

Hubungan masyarakat bumiputera dengan peranakan Tionghoa di Indonesia memang tidak selalu berjalan mulus.Pada era reformasi di tahun 1997/1998, hubungan harmonis yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut sempat tegang karena ternodai dengan kasus kerusuhan sosial yang sama-sama menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak.Tahun 1999 hingga 2001, saat Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid menjadi presiden RI keempat, hubungan baik masyarakat Indonesia dengan kaum Tionghoa kembali normal dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari libur nasional dan Kong Hu Cu diakui sebagai agama resmi di Indonesia.

Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang diprakarsai pada tahun 1975 oleh First Lady Indonesia kedua, Ibu Tien Soeharto, juga turut menjembatani asimilasi atau pembauran budaya antara kaum Tionghoa dan masyarakat Indonesia.Presiden RI kedua, Soeharto, yang juga Ketua Yayasan Harapan Kita, meresmikan pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI) pada tahun 2006 di TMII.Tahun 2012, Museum Hakka Indonesia (MHI) sebagai bagian TBTI dibuka bagi para pengunjung TMII.Selain MHI, di TBTI juga terdapat Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan yang terletak tepat di samping MHI. Setelah mengunjungi keduanya, saya menyadari bahwa taman dan kedua museum tersebut memang sarana yang sangat tepat sebagai media perekat budaya antara kaum pribumi dan Tionghoa di Indonesia.

[caption id="attachment_406351" align="aligncenter" width="640" caption="Pintu 2 TMII yang buka dari pukul 7.00 hingga 22.00 (Dokpri)"]

14276330301239469973
14276330301239469973
[/caption]

Bagi Kompasianer yang tertarik untuk mengunjungi TBTI, ada baiknya masuk lewat Pintu 2 TMII karena lebih dekat jaraknya dan terletak setelah Museum Listrik dan Energi Baru (MLEB).Pengunjung TMII tidak dipungut bayaran saat berkunjung ke Taman Budaya dan kedua museum di dalamnya. Cukup membayar tiket masuk TMII saja.TBTI buka setiap hari sedangkan MHI buka dari Selasa hingga Minggu dari jam 9 pagi hingga 4 sore. Sebelum mengunjunginya langsung, silakan nikmati terlebih dahulu liputan berikut ini.Selamat membaca!

Taman Budaya Tionghoa Indonesia (TBTI)

Taman ini sungguh tepat bagi Anda yang ingin menikmati sejuknya alam sekaligus mempelajari sejarah kaum Tionghoa di Indonesia.Bagi yang membawa buah hatinya, bisa menyewa perahu bebek dan naga yang disewakan di atas danau.TBTI juga menyediakan tempat duduk yang nyaman serta pendopo untuk berkumpul.

[caption id="attachment_406352" align="aligncenter" width="336" caption="Patung pahlawan nasional Laksamana Muda TNI John Lie di Taman Budaya Tionghoa-Indonesia TMII (Dokpri)"]

14276332641413339944
14276332641413339944
[/caption]

Bukti nyata nasionalisme masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dilihat dengan hadirnya patung pahlawan nasional John Lie atau Jahja Daniel Dharma (1911 – 1988).Patung Laksamana Muda TNI yang berbintang dua tersebut berada dalam posisi berdiri dengan tangan kirinya bertumpu pada pedang panjang sementara tangan kanannya memegang Injil (Alkitab).

Selain berjiwa nasionalisme, masyarakat Tionghoa ternyata juga tetap mengenang tokoh leluhurnya yang bermoral mulia sehingga dapat dijadikan teladan bagi generasi penerusnya.Contohnya adalah patung Kwan Yu atau Guan Yu (140 -219 M).Jenderal ksatria yang setia, jujur, serta bijaksana dari marga Kwan tersebut memilih dihukum mati dan tetap setia pada negara yang dibelanya daripada harus menyerah sekalipun telah diiming-imingi harta oleh pihak lawan.Bahkan Kwan Yu kerap dipuja sebagai Dewa Kesetiaan (Kwan Sen Ti).

[caption id="attachment_406359" align="aligncenter" width="448" caption="Jembatan Kasih Sayang menuju Museum Cheng Ho dan Hakka Indonesia di TMII (Dokpri)"]

14276338761642941263
14276338761642941263
[/caption]

Jika ingin mengunjungi Museum Hakka dan Cheng Ho di TBTI, sebaiknya Anda melintasi Jembatan Kasih Sayang.Jembatan tersebut terletak tak jauh dari patung legenda cinta sejati yang abadi dan termasyhur dari Tiongkok, Sam Pek Eng Tay.Selain melalui Jembatan Kasih Sayang, pengunjung juga bisa menuju museum di TBTI melalui jalan lurus di dekat danau.

Museum Cheng Ho (Museum Peranakan)

Setelah puas berteduh di Taman Budaya, selanjutnya Anda bisa melanjutkan napak tilas tentang sejarah asimilasi atau pembauran marga Tionghoa di Indonesia dengan mengunjungi Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan.Museum tersebut diberi nama dari pelaut muslim legendaris dari Tiongkok yang menjelajahi dunia, termasuk ke Indonesia.Daerah-daerah di Indonesia yang dilewati oleh Cheng Ho bersama armadanya antara lain Jakarta, Palembang, Deli, Aceh, Semarang, Surabaya, Tuban, dan Cirebon. Gedung museum merupakan sumbangan dari salah satu warga Tionghoa di Sentiur, Kalimantan Timur, Bapak H. M. Yos Sutomo.

[caption id="attachment_406361" align="aligncenter" width="640" caption="Museum Cheng Ho atau Museum Peranakan di TMII (Dokpri)"]

14276340721122958663
14276340721122958663
[/caption]

Di dalam Museum Cheng Ho, terdapat foto-foto dan sejarah singkat para tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari marga Tionghoa.Mereka antara lain Oei Tiang Tjoei atau Permana (1893 – 1977) dan Yap Tjwan Bing (1910 – 1988) yang sama-sama berperan dalam persiapan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 sebagai anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).Foto tokoh Tionghoa Indonesia yang berasal dari kalangan militer dan kini di masa pensiunnya aktif mengurus Taman Budaya, Him Tek Ji atau Brigjen TNI Purnawiran Tedy Jusuf juga terdapat di sana.

[caption id="attachment_406362" align="aligncenter" width="480" caption="Tokoh nasional dari etnis Tionghoa yang turut berjuang dalam kemerdekaan (Dokpri)"]

14276341811300860223
14276341811300860223
[/caption]

Dari kalangan akademisi, ada Profesor Tjan Tjoe Siem (1909 -1978) dari keluarga Tionghoa Muslim sebagai profesor Jawa Modern dan Dekan FSUI – sekarang FIB UI – dari tahun 1964 hingga 1968.Untuk penulis bermarga Tionghoa, ada Kho Ping Hoo atau Asmaraman Sukowati (1926 – 1994).Uniknya, meskipun banyak menulis cerita silat berlatar belakang Tiongkok, penulis yang tersohor dengan ceritanya tentang Pendekar Gunung Lawu tersebut tidak tidak menguasai kemampuan baca-tulis dalam bahasa Mandarin.

[caption id="attachment_406363" align="aligncenter" width="480" caption="Indonesia Kepadamu Kami Berbakti (Dokpri)"]

14276343511018331675
14276343511018331675
[/caption]

Selain sejarah, Museum Cheng Ho juga menyimpan foto dan koleksi sejarah budaya antara lain sepasang barongsai, Martavan atau guci besar dari keramik, batik peranakan, upacara pernikahan (Chio Tau), dan buku bacaan tentang yang berkaitan dengan marga Tionghoa di Indonesia.

[caption id="attachment_406378" align="aligncenter" width="448" caption="Koleksi motif batik peranakan di Museum Cheng Ho TMII (Dokpri)"]

14276376482061019281
14276376482061019281
[/caption]



[caption id="attachment_406364" align="aligncenter" width="448" caption="Bagian dalam Museum Cheng Ho di Taman Budaya Tionghoa TMII (Dokpri)"]

142763479322416540
142763479322416540
[/caption]

Hal menarik dari bangunan Museum Cheng Ho ini adalah bangunannya yang tetap sejuk dan terang meskipun lampu dan pendingin ruangan atau AC tidak dinyalakan.Setelah diperhatikan, langit-langit dan bangunan atap yang tinggi ternyata menjadi faktor penyebab bangunan tersebut sangat ramah lingkungan.

Museum Hakka Indonesia (MHI)

Selain marga Hokkian, keturunan marga Hakka juga banyak tinggal di Indonesia.Menurut petugas MHI, mayoritas marga Hokkian di zaman kolonial saat penjajahan Belanda dahulu memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik dari marga Hakka.Hal ini disebabkan oleh garis keturunan leluhur marga Hokkian yang berasal dari keluarga bangsawan dari Tiongkok sementara marga Hakka adalah kalangan rakyat biasa.Setelah kemerdekaan, baik marga Hokkian maupun Hakka di Indonesia kini sama-sama sudah sejajar dalam status sosial ekonominya.

[caption id="attachment_406365" align="aligncenter" width="448" caption="Museum Hakka di TMII yang serupa dengan bentuk Tulou Fujian dari Tiongkok (Dokpri)"]

1427634983104483467
1427634983104483467
[/caption]

Jika Museum Cheng Ho berbentuk rumah gaya peranakan, maka MHI dari jauh sudah mirip benar dengan benteng dan atap terbuka seperti stadion olahraga. MHI memang mengadopsi bentuk bangunan Tulou di pegunungan Fujian yang merupakan tempat tinggal marga Hakka di Tiongkok.Wajar jika MHI dibangun seperti bentuk Tulou.Para pendiri dan donator MHI adalah marga Tionghoa di Indonesia yang mayoritas berasal dari keturunan marga Hakka Yongding.

[caption id="attachment_406366" align="aligncenter" width="640" caption="Lobi utama Museum Hakka Indonesia di TMII (Dokpri)"]

14276353831461783712
14276353831461783712
[/caption]

Ketika memasuki MHI, pengunjung akan melihat bangunan yang tersusun atas 3 lantai.Umumnya Tulou memiliki 3 lantai.Fungsi Toulo adalah sebagai tempat tinggal dan bahkan bisa menampung hingga 100 keluarga.Lantai 1 untuk fasilitas umum seperti MCK dan sekolah, lantai 2 untuk tempat persediaan bahan pangan sehingga pasokan makanan tetap tersedia jika musim dingin tiba, dan lantai 3 tempat tinggal masing-masing keluarga.

[caption id="attachment_406367" align="aligncenter" width="640" caption="Lantai 1 Museum Hakka di TMII yang bisa menampung hingga 1000 orang (Dokpri)"]

1427635694679266051
1427635694679266051
[/caption]

Masih menurut petugas MHI, Tulou ada juga yang hingga memiliki 5 lantai. Namun, berapapun jumlah lantainya, Tulou hanya memiliki satu pintu untuk masuk dan keluar.Hal ini untuk memudahkan pengawasan terhadap orang yang keluar dan masuk Tulou karena Tulou juga berfungsi sekaligus sebagai benteng pertahanan terhadap pihak musuh maupun hewan buas pada zaman dahulu.Sejak 2008, Tulou diakui UNESCO sebagai salah satu World Heritage Site (Situs Bangunan Bersejarah).

[caption id="attachment_406368" align="aligncenter" width="640" caption="Peta persebaran awal daerah di Nusantara yang didatangi etnis Tionghoa (Dokpri) "]

1427635931329457398
1427635931329457398
[/caption]

Di TMII, lantai 1 MHI berfungsi sebagai ruan rapat dan pertemuan yang bisa disewa masyarakat umum dan toko oleh-oleh.Petugas MHI menyebutkan, di bulan Agustus 2015 nanti, ada seorang pengusaha yang akan menikahkan anaknya di gedung museum tersebut dan sudah membayar uang muka sewa gedung sebagai tanda jadi.Lantai dasar MHI mampu menampung hingga 500 orang jika mereka duduk dan 1000 orang tanpa tempat duduk.

[caption id="attachment_406369" align="aligncenter" width="640" caption="Ruang Merah Putih di lantai 2 museum yang berisi foto-foto tokoh nasional Tionghoa-Indonesia (Dokpri)"]

14276362181729803205
14276362181729803205
[/caption]

Jika ingin menaiki lantai 2 dan 3 MHI, pengunjung bisa menggunakan lift atau lantai.Nah, di lantai 2 inilah terdapat sejarah marga Tionghoa di Indonesia.Oleh karena itu, lantai 2 disebut khusus sebagai Museum Tionghoa Indonesia (MTI) karena sejarah marga Hakka di Indonesia sangat berkaitan erat dengan sejarah masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia secara keseluruhan.

Di masa awal kedatangan marga Tionghoa ke Indonesia, tidak semua daerah di Nusantara didatangi dan ditempati oleh mereka.Di Sumatera, marga Tionghoa awalnya banyak bermukim di Medan, Bagan Siapi-api, Palembang, dan Bangka-Belitung.Lalu di Jawa, mulanya marga Tionghoa terkonsentrasi di daerah Batavia, Semarang, dan Surabaya.Kemudian di Sulawesi, mereka bermula tinggal di Makasar dan Manado.Selanjutnya di Kalimantan, mereka berada di Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda.Sekalipun demikian, di MTI juga terdapat keterangan dan tentang orang Cina di Bali.

[caption id="attachment_406371" align="aligncenter" width="640" caption="Para tokoh agama dan cendikiawan dari warga Tionghoa di Indonesia (Dokpri)"]

14276367401153302716
14276367401153302716
[/caption]

Di MTI inilah, pengunjung bisa menjumpai Ruang “Merah Putih”.Di bawah tulisan “Indonesia Kepadamu Kami Berbakti” berjejer foto tokoh-tokoh Tionghoa yang berjasa terhadap Nusa dan Bangsa dari berbagai bidang kehidupan. Mulai dari tokoh Muhammadiyah sekaligus Ketua Partai Masyumi Bengkulu dan pendiri Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Abdul Karim Oey atau Oey Tjeng Hien, wartawati dan penulis senior Kompas Threes A. Santosa, politisi Alvin Lie, Sosiolog dan Anggota Komnas Anti Kekerasan pada Perempuan Dr. Mely G. Tan atau Tan Giok Lan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabinet Indonesia Bersatu II Pang Hui Lan atau Dr. Marie Elka Pangestu, pendiri dan rektor Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Nio Cwan Chung atau Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, aktor Ferry Salim, hingga pembalap muda Rio Haryanto.

[caption id="attachment_406372" align="aligncenter" width="640" caption="Kuli Tionghoa-Indonesia yang bekerja di zaman penjajahan Belanda (Dokpri)"]

14276368551745452445
14276368551745452445
[/caption]

MTI juga berisi sejarah kehidupan dan profesi marga Tionghoa di Indonesia.Saat Belanda masih menjajah Indonesia, banyak marga Tionghoa yang berkerja sebagai kuli dan pekerja kasar.Namun ternyata kehidupan keras tersebut tak menyurutkan rasa nasionalisme marga Tionghoa di Indonesia.Terbukti ada dua tokoh nasional dari warga Tionghoa Indonesia yang turut berperan aktif dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yaitu Sie Kok Liong dan Kwee Tiam Hong.

Urusan kuliner, sudah menjadi rahasia umum bahwa cita rasa Tionghoa banyak mempengaruhi sajian makanan di Indonesia.Sebut saja Lumpia Semarang, Laksa Betawi, Bakpia Pathok, dan masih banyak lagi ragamnya. Foto Nila Chandra atau Chan Lan Nio sebagai ahli kue tradisional dan ahli tahu Sumedang, Ong Boen Keng, turut pula terpajang di Ruang Merah Putih MTI di lantai 2 MHI.

[caption id="attachment_406373" align="aligncenter" width="448" caption="Laksa Betawi dengan pikulannya di Museum Tionghoa dan Hakka Indonesia TMII (Dokpri)"]

14276369941199354849
14276369941199354849
[/caption]

Barulah di lantai 3, pengunjung benar-benar dapat mengetahui sejarah marga Hakka di Indonesia yang sebagian besar berasal dari daerah Yongding di Indonesia.Ternyata marga Hakka di Indonesia banyak yang berkecimpung dalam industri obat-obatan di Indonesia.Merek obat dan ramuan kesehatan yang terkenal antara lain Pil Sehat, obat batuk dan influenza Ultraflu, permen pelega tenggorokan Milton, dan larutan pereda panas dalam Lasegar dan Cap Badak.Di bidang properti, ada pemilik Summarecon Gading.Di bidang pendidikan, terdapat Panji Wicaksana, 90 tahun, dosen Trisakti dan Atmajaya.

[caption id="attachment_406374" align="aligncenter" width="640" caption="Museum Hakka Yongding Indonesia di TMII berada di lantai 3 (Dokpri)"]

14276371551615091889
14276371551615091889
[/caption]

Pulang dari mengunjungi Taman Budaya TMII, saya mendapatkan banyak informasi berharga dan sudut pandang yang lebih humanis tentang marga Tionghoa di Indonesia, terutama sumbangsih mereka dalam pembangunan nasional, mulai dari ekonomi, politik, agama, pendidikan, hingga sastra, seni dan budaya.Kesimpulannya, misi Taman Budaya Tionghoa-Indonesia memang seiring sejalan dengan fungsi utama TMII sebagai perekat budaya bangsa.

[caption id="attachment_406375" align="aligncenter" width="640" caption="Satu keluarga yang mengunjungi Museum Hakka Yongding di TMII (Dokpri)"]

14276373511657447753
14276373511657447753
[/caption]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun