Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Melihat Dunia Melalui Buku Bajakan, Etiskah?

27 Oktober 2014   23:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:31 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tersedia (35 %); Tidak Tersedia (65 %)

7.

Kepemilikan buku bajakan/fotokopian

Punya (98 %); Tidak Punya (2 %)

Dilema Buku Bajakan

Benci tapi rindu sepertinya dapat menjadi ungkapan yang tepat untuk para penikmat buku mengenai fenomena buku bajakan.Mahalnya harga buku yang linier dengan semakin tingginya kualitas buku sudah menjadi rahasia umum.Tak heran, buku bajakan akhirnya menjadi pilihan terakhir ketika seseorang ingin tetap mengenal dunia, namun dengan dana yang ala kadarnya.

Saya pernah menengok rak-rak buku yang berisi koleksi buku impor yang tersedia di salah satu toko buku lokal.Mayoritas buku tersebut berkualitas luar biasa, baik secara isi maupun tampilannya.Topiknya pun beragam, mulai dari kisah dongeng seperti Alice in Wonderland dan Sleeping Beauty hingga buku self-help karya Mitch Albom, Tuesdays with Morrie (buku favorit CEO PT Trakindo Utama Indonesia, Bari Hamami) serta buku psikologi populer yang juga best-seller hasil tulisan jurnalis Malcolm Gladwell, Tipping Point dan Blink. Hasrat hati tentunya ingin memborong koleksi buku impor tersebut.

Namun, saat melihat label harga, rupanya harapan saya harus sementara tertahan sampai sudah terkumpul dana untuk membeli buku impor idaman.Bagaimana tidak? Harga untuk hanya satu buku impor tersebut bahkan dapat untuk membeli setengah lusin bukuterbitan lokal.Wajar saja, jika ada peringatan di bagian buku impor untuk tidak membuka plastik pembungkus buku bagi para pengunjung toko buku.Peringan yang serupa tidak ditemui di bagian buku-buku lokal.

Sekalipun saya termasuk kutu buku, saya belum memiliki kebiasaan rutin untuk mempunyai anggaran khusus dalam membeli buku.Seringnya, setelah mengetahui adanya buku yang menarik, saya baru akan membelinya atau menabung terlebih dahulu jika harganya setinggi langit.Atau jika saya dikejar waktu untuk membeli buku-buku impor yang luar biasa mahal tersebut – biasanya untuk kepentingan akademis saat masih kuliah S1 - sedangkan kantong masih belum bersahabat, ujung-ujungnya sebagai tindakan darurat, saya akan mencari buku-buku tersebut dalam versi bajakan di kios-kios buku yang harganya lebih murah meriah.

Ternyata, hal yang setipe juga dialami dan dilakukan oleh para responden penelitian.Hanya 1/3 responden yang memiliki anggaran khusus untuk membeli buku.Untuk buku bajakan? Angkanya lebih fantastis: Sebanyak 98 persen responden memiliki buku bajakan, duh….. Sedih dan prihatinnya melihat fakta miris ini, tak terkecuali bagi para pengunjung perpustakaan kampus.

Setelah menjadi dosen, saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak membeli lagi buku bajakan atau fotokopian untuk mengajar suatu materi kuliah.Caranya dengan meminjam kepada rekan sesama dosen yang sebelumnya mengajar materi kuliah tersebut sehingga mereka sudah memiliki text books.Atau juga bisa dengan cara meminjam buku ke perpustakaan kampus.Biasanya ada kebijakan untuk meminjamkan buku teks selama satu semester kepada dosen-dosen yang memang membutuhkannya untuk mengajar.

[caption id="attachment_369725" align="aligncenter" width="560" caption="Wah, perpustakaan LSI IPB Dramaga Bogor ternyata juga menjadi tempat istirahat mahasiswa (Dokumen Pribadi)"]

14144031502020165554
14144031502020165554
[/caption]

Saya juga cukup tertolong dengan adanya digital books yang berupa e-books dan audio books.Kadangkala para dosen saling berbagi koleksi digital books yang mereka miliki.Dengan bermodalkan flash disk, puluhan hingga ratusan buku digital yang semakin memperlebar wawasan akan dunia tersimpan aman dalam laptop. Tidak hanya minim bahkan seringnya tanpa biaya, koleksi buku digital tersebut bisa dibaca di mana saja, kapan saja, serta…. dapat berpindah tangan ke siapa saja.

Nah, kini saya jadi berpikir lagi.Menyebarluaskan file berisi buku digital tersebut apakah bisa disebut sebagai pembajakan?Bukankah selama ini buku bajakan lebih identik dengan buku cetak yang difotokopi, baik dengan kualitas prima maupun asal-asalan? Jadi, bagaimana nasib buku cetak yang tidak hanya bertahan di tengah banjirnya buku bajakan dalam bentuk fotokopian, namun kini juga harus menghadapi menjamurnya akses digital books yang begitu mudah?

Saya bersyukur termasuk sebagai Kompasianer yang sudah terdaftar dalam Nangkring IIBF Sabtu 1 November 2014.Tema Nangkring yang membahas “Printing vs Digital Books” memang bukan lagi sekedar trending topic, tapi harus segera dicari solusinya.Setuju?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun