Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Reportase IIBF 2014: 6 Fakta Menarik dari Print vs Digital Books

2 November 2014   19:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:52 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trio Narasumber: Pepih Nugraha dari Kompasiana, Putut Wijanarko dari Mizan, dan Eric Yang dari Tabon Korea serta dimoderatori oleh Kompasianer Wardah Fajri (Dokumentasi koleksi Kompasianer Agung Han)

Kompasiana Nangkring Sabtu, 1 November 2014, kemarin berlangsung di Panggung Utama Indonesia International Book Fair (IIBF) 2014.   IIBF tahun ini bertema "Lebih Lengkap, Lebih Terjangkau, Lebih Menarik, Lebih Kreatif."  Sementara itu, "Print Books vs Digital Books" menjadi tema Nangkring kali ini.

Nangkring menghadirkan tiga orang narasumber yaitu Pepih Nugraha sebagai Manajer Kompasiana, Direktur Mizan Putut Widjanarko, dan Presiden Penerbit di Asia Pasifik (Asia Pasific Publisher Association) yang berkewarganegaraan Korea Selatan, Eric Yang.  Eric juga sekaligus pendiri (founder) dan CEO dari Tabon Books yang bergerak di bisnis buku-buku digital.  Wardah Fajri, Kompasianer yang lebih akrab disapa dengan sebutan Mbak Wawa menjadi moderator Nangkring IIBF 2014.

Acara yang berdurasi hampir 3 jam tersebut, dari pukul 14.00 hingga 17.00 tidak hanya dihadiri oleh Kompasianer, namun juga para pengunjung IIBF pada hari pertama.  Lalu, apa saja fakta-fakta menarik dari hadirnya persaingan buku cetak vs buku digital di era menjamurnya smartphone saat ini? Inilah fakta-faktanya.

1. Proses pembuatan digital books tidak instan

Eric menganalogikan print books dan digital books seperti tubuh yang dilihat hanya dari satu sisi, kiri atau kanan saja.  Jika seseorang memutar tubuhnya ke arah tertentu, sekalipun terlihat mudah, jelas ada koordinasi yang terjadi antara sistem syaraf di otak dengan kerja mata dan pergerakan otot tubuh. Proses antara (in between process) itulah yang mirip dengan pembuatan digital books dari print books. Adanya digital books diawali dengan inovasi teknologi dan informasi yang telah berlangsung sejak adanya komputer dan internet.

Di lain sisi, Pepih menuturkan anomali dari era kompetisi print vs digital books yang dialaminya sendiri.  Dia membuktikan bahwa print books yang isinya berasal dari artikel blog Kompasianer tentang Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono berhasil dicetak berulang kali.  Buku cetak yang berjudul 'Pak Beye' itu pun bahkan bisa menembus edisi kelima atau pentalogy.

2. Penerbit buku memilih untuk digital atau mau 'ditinggal'?

Contoh nyatanya adalah Encylopaedia Britannica yang kini tidak mencetak lagi edisi hard copy - terakhir tahun 2010 - dan beralih ke digital encyclopaedia. Info menarik dari Eric tersebut juga ditambahkan dengan penuturan Pepih tentang kehadiran Gramediana yang menjadi platform bagi penulis dan pembaca buku digital.  Putut setengah berkelakar membayangkan bahwa 10 tahun kemudian, bisa jadi pameran buku kosong oleh tumpukan buku yang dicetak pada kertas dan malah penuh dengan barisan gadget untuk e-books.

Eric menyebutkan Kindle dari Amazon dan Nook dari Barnes & Noble sebagai dua pemain utama dalam digital publishing di dunia.  Sekalipun demikian, Amazon tetap menjual print books via internet.

3. Bagaimana trend digital books di dunia?

Pertumbuhan digital books di Amerika Serikat yaitu sekitar 20 %, Eropa 6 - 10 %, dan Asia-Pasifik 2 - 5 %.  Paparan Eric dalam presentasinya tersebut juga mengungkapkan fakta adanya perbedaan pasar buku digital di dunia. AS dan Eropa termasuk pasar yang sudah matang dan juga stabil untuk buku digital. Potensi peningkatan lebih besar prospeknya di negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia dan Korea.

Eric juga menambahkan, dalam waktu 6 tahun saja, dari 2008 hingga 2014, jumlah pembaca buku digital melonjak drastis.  Hal tersebut dimungkinkan dengan semakin mutakhirnya jenis gadget di pasaran.

Pepih juga Putut sama-sama menyampaikan adanya perubahan di penerbit tempat mereka berkarir di era digital.  Baik Gramedia maupun Mizan kini telah menyediakan fasilitas print on demand (dicetak sesuai permintaan) dan penerbitan buku mandiri (self-publishing). 

Selain itu, iPad dan Tablet menjadi jawara sebagai media untuk membaca digital books.  Orang semakin sedikit yang membaca buku digital melalui komputer, khususnya PC.  Di lain pihak, smartphone sekarang juga termasuk media untuk membaca buku digital sekalipun jumlahnya masih kecil.

1414908998970476180
1414908998970476180
Peserta Nangkring IIBF 2014 di Istora GBK Jakarta, Sabtu 1 November 2014 (Dokumentasi koleksi Kompasianer Agung Han)



4. Semakin muda, semakin nyaman dengan digital books

Secara agregat atau keseluruhan, para generasi Millenium dan Y (remaja hingga 30-an awal) lebih akrab dengan buku digital.  Menurut Eric, di Jepang kini para penikmat komik atau mangga semakin banyak yang beralih ke edisi digital.  Mbak Wawa lalu mengusulkan kepada ketiga narasumber untuk membidik pasar buku anak dengan buku digital.

Pepih memiliki cerita menarik bahwa anak-anaknya jauh lebih lekat dengan digital books.  Padahal sebagai seorang jurnalis dari Kompas, dia sering membawa tumpukan harian Kompas ke rumahnya.  Ironisnya, para buah hatinya sama sekali tak tertarik untuk membaca koran cetak yang dibawa ayah mereka.

Putut mendapati fakta unik lainnya yaitu majalah, terutama majalah pria dewasa, semakin populer diunduh dalam bentuk digital.  Alasannya tentu saja karena faktor privasi dibandingkan ketika membaca edisi cetaknya.

5. 'Perang' di pasar buku digital antara perusahaan IT, media sosial, dan search engine

Pepih dan Putut menyampaikan fakta bahwa kedatangan bos Facebook, Mark Zuckerberg, ke Indonesia pada bulan Oktober 2014 lalu, tidak hanya bermotif amal atau filantrofi.  Menurut keduanya, FB dan Google kini sama-sama sedang membidik dan bersaing dalam memasarkan digital books di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Eric menuturkan, Apple dengan Apple Store-nya dan Google yang mengusung Google Play juga semakin agresif dan intensif menguasai pasar buku digital.  Taboon Books, penerbit buku digital miliknya yang berbasis di Korea dan juga AS didirikan dengan memanfaatkan adanya fasilitas IT yang beragam dalam persaingan buku digital di dunia. Nama 'Tabon' sendiri merupakan gabungan dari kata 'TABlet' dan 'ON'.  Putut memuji Eric dengan menyebutkan bahwa nama 'Tabon' tersebut kreatif, unik, mudah diingat dan juga gampang diucapkan.

6. Print vs Digital Books, Pemerintah vs Swasta?

Pepih dan Putut sama-sama menyayangkan pemerintah Indonesia yang belum peduli dengan adanya infrastruktur IT, khususnya kecepatan internet, yang menjadi syarat mutlak dalam akses buku digital. Minimnya infrastruktur IT tersebut membuat para penerbit buku di Indonesia, dalam hal ini pihak swasta, harus jatuh-bangun dalam menghadapi kebangkitan era digital dalam industri buku belakangan ini.

Fakta itu membuat penulis tertarik untuk menanyakan kepada Eric mengenai kepedulian pemerintah Korea dan bagaimana pengaruhnya dengan adanya perkembangan buku digital di Negara Ginseng tersebut.  Eric kemudian menjawab, pemerintah Korea memfasilitasi para penerbit buku di Korea dengan cara lelang terbuka untuk pengadaan buku digital, utamanya yang akan dipakai sebagai buku teks pendidikan dan buku pengisi perpustakaan. Selain buku digital, video juga banyak tersedia dan digunakan sebagai media pendidikan di Korea.

Pada penjelasan di awal presentasinya, Eric sempat menanyakan tentang kecepatan internet di Indonesia kepada Putut dan Pepih.  Saat Indonesia masih dalam level 3G, Korea kini sudah menembus 5G atau kecepatan berinternet puncak bisa mencapai 10G per detik atau hanya butuh 1 detik untuk mengunduh maupun mengunggah sesuatu di internet.

Nah, itulah enam fakta menarik dari era 'perang' buku cetak menghadapi gempuran buku digital menurut narasumber Nangkring IIBF 2014 di Jakarta.  Di akhir presentasinya, Eric mengungkapkan sejatinya ke depannya print books dan digital books akan saling melengkapi dan bukannya saling menghabisi.  Menurut Pepih, sekalipun tidak sepraktis buku digital, pembaca buku cetak tentunya akan merasakan sensasi kenyamanan yang khas saat memegang dan membalik lembaran kertas yang dibacanya.  Silakan dicoba saat ini juga, dijamin ketagihan!

Salam Kompasiana


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun