teori mereka tentang hal ini.
Proses masuknya agama Islam ke Nusantara, tampaknya tidak bisa terlepas dari kegiatan pelayaran dan perdagangan. Hal tersebut disebabkan karena pelayaran dan perdagangan jalur laut antara kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur sudah dimulai sekitar abad ke 3 dan ke 4 Masehi. Bagaimanapun, wilayah geografis Nusantara berada pada posisi yang strategis sebagai tempat persinggahan bangsa lain. Terutama, dalam alur sejarahnya, Nusantara khususnya kawasan Maluku menjadi pusat rempah-rempah yang sangat dibutuhkan dunia. Mengenai bagaimana dan mengapa Islam bisa masuk ke Nusantara, masih belum diketahui secara pasti. Namun, ada banyak para ahli yang mengemukakanAda sejumlah teori yang membicarakan mengenai asal-muasal Islam yang berkembang di Nusantara. Di antaranya:
Teori Gujarat
Teori ini dikemukakan oleh sejumlah sarjana Belanda, antara lain Pijnappel, Snouck Hurgronje dan Moquette. Teori ini mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal  dari orang-orang Arab yang telah bermigrasi dan menetap di wilayah India dan kemudian membawanya ke Nusantara. Teori Gujarat ini berdasarkan pada teori mazhab dan teori nisan. Menurut teori ini, ditemukan adanya persamaan mazhab yang dianut oleh umat Islam Nusantara dengan umat Islam di Gujarat yaitu mazhab Syafi'i. Teori nisan dibuktikan dengan  peninggalan artefak berupa batu nisan yang ada di Pasai, kawasan utara Sumatera, terutama yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Batu nisan yang ia amati memiliki  kemiripan dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822/1419) di Gresik, Jawa Timur. Kedua jenis batu nisan itu ternyata memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat, India.
Teori Bengal
Dalam teori ini, pernyataan S.Q. Fatimi melemahkan teori Gujarat. Menurut Fatimi, model dan bentuk nisan Malik al-Shalih, raja Pasai, berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Fatimi mengatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari daerah Bengal. Teori Bengal juga didasarkan pada teori nisan. Namun, teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal menjadi lemah berkenaan dengan adanya perbedaan mazhab yang dianut kaum muslim Nusantara (Syafi'i) dan mazhab yang dipegang oleh kaum muslimin Bengal (Hanafi).
Teori Coromandel Dan Malabar
Teori Coromandel dan Malabar juga melemahkan teori Gujarat. Marrison mematahkan teori Gujarat ini dengan menunjuk pada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat tahun 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian (699/1298) Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan muslim. Untuk itu tidak mungkin penyebaran Islam berasal dari Gujarat. Karena itu Marrison mengatakan bahwa Islam yang berkembang di Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar pada akhir abad 13, atas dasar teori mazhab. Ada persamaan mazhab yang dianut oleh umat Islam Nusantara dengan umat Islam Coromandel dan Malabar yaitu mazhab Syafi'i.
Teori Arabia
Thomas W. Arnold berpendapat bahwa Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya kawasan yang menyebarkan ajaran Islam. Menurutnya, pedagang dari Arab menyebarkan ajaran Islam ketika bangsa mereka mendominasi perdagangan Timur-Barat pada awal abad 7 dan 8 Masehi. Hal ini didasari pada fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir perempat abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Dan diantaranya dilaporkan melakukan perkawinan dengan penduduk asli dan menciptakan pemukiman. Selain di Sumatera, di Jawa belum dapat dipastikan kapan pertama Islam datang. Buktinya yaitu pada temuan arkeologis berupa batu nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M) yang menunjukkan bahwa pada abad 11, Islam telah berkembang di sana. Â Pendapat bahwa Islam juga dibawa langsung oleh orang Arab diakui oleh Crawfurd. Meskipun menurutnya interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Teori Persia
Thomas W. Arnold juga tidak mengesampingkan teori Persia, yang mana, pedagang Persia beraliran syiah pertama kali mendarat di Sumatra. Teori ini juga didasarkan pada teori mazhab. Ditemukan adanya peninggalan mazhab keagamaan di Sumatera dan Jawa yang bercorak Syiah. Juga disebutkan adanya dua orang ulama fiqih yang dekat dengan Sultan yang memiliki keturunan Persia. Seorang berasal dari Shiraz dan seorang lagi berasal dari Isfahan. Selain itu, adanya perayaan 10 Muharam di Bengkulu dan Sumatera Barat yang dikenal sebagai Tradisi Tabot atau Tabuik, untuk mengenang cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali, ini juga dikenal di Persia. Ada penyerapan dan penambahan kosa kata bahasa Persia ke dalam bahasa Melayu. Bukti lain adalah adanya persamaan nisan pada makam Malik al-Shalih dan makam Maulana Malik Ibrahim, yang memiliki kemiripan dengan nisan yang ada di Persia. Namun,kelemahan dari teori ini adalah Persia bukanlah pusat penyebaran Islam dan transaksi pedagang dari Persia masih kalah dengan pedagang dari Arab, Cina, dan India.Â
Teori Mesir.Â
Teori yang dikemukakan oleh Kaijzer ini juga mendasarkan pada teori mazhab, dengan mengatakan bahwa ada persamaan mazhab yang dianut oleh penduduk Mesir dan Nusantara, yaitu bermazhab Syafi'i. Teori Arab-Mesir ini juga dikuatkan oleh Niemann dan de Hollander. Tetapi keduanya memberikan revisi, bahwa bukan Mesir sebagai sumber Islam Nusantara, melainkan Hadramaut. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indonesia disimpulkan bahwa Islam ke Indonesia langsung dari Arab, tidak dari India; bukan pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan pada abad pertama hijriah atau abad ke-7 Masehi.Â
Mengenai siapakah yang menyebarkan Islam ke wilayah Nusantara, Azyumardi Azra mempertimbangkan tiga teori. Pertama, teori da'i yang menjelaskan bahwa penyebar Islam adalah para guru dan penyebar profesional yang secara khusus memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam, yang di dasarkan pada Riwayat historiografi Islam klasik. Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500) dan Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630). Kedua, teori pedagang yang menjelaskan bahwa ajaran islam diperkenalkan sambil melakukan usaha perdagangan. Tahap lanjutan terjadi ketika para pedagang tersebut melakukan perkawinan dengan masyarakat setempat. Ketiga, teori sufi. A.H Jhons menjelaskan bahwa para sufi berhasil mengislamkan penduduk setempat setidaknya pada abad ke 13 masehi. Keberhasilan tersebut didukung dengan pengemasan syiar yang menarik dan dipadukan dengan unsur budaya lokal.
Pada akhirnya, memang cukup sulit untuk menetapkan paradigma tunggal tentang bagaimana proses Islamisasi di Nusantara. Para ahli sejarah tentang Islam di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia sepakat bahwa tidak perlu merekonstruksi teori yang baku sebagai paradigma tunggal dalam proses Islamisasi di Nusantara. Sebab, berdasarkan uraian diatas, beberapa asumsi dan bukti-bukti relatif lemah, namun disisi lain, realitas historis yang enyangkut berbagai fenomena terkait budaya, struktur sosial, dan sebagainya relatif beragam. Sehingga, keberagaman tersebut membuka membuka perspektif teoritis dalam memahami corak dan karakteristik penyebaran Islam di Indonesia.Â
Rujukan:
Arnold, T. W. (1950). The Preaching of Islam. London
Arnold, T. W. (1981). Sejarah Da'wah Islam. widjaya. Jakarta
Azra, A. (1999). Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Rosda karya. Bandung
Hasyim, A. (1989). Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia,. Al-Ma'arif. Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H