Malam tahun baru, disaat kicauan moncong manusia menari ditiap jalanan yang dibumbuhi bintang- bintang, hal ini tak lagi senada di hatiku. 180 derajat kisahku hampa dan berakhir saat kau pergi memilih jalan hidup tuk meninggalkan cercah kenangan "kita".
 Setahun yang lalu.
 "La, kakak kan mau pergi cuma sebentar. Tiga tahun lagi kamu kan juga mau kuliah," senyumnya padaku, ia adalah seseorang yang mengisi tia hariku. Senyum, tawa, dan tiap aktivitasnya menjadi ritme hidupkuku, pengisi denyut suasana ragaku.
 "Huhuhu... Nanti kakak pasti lupa kan sama Nala? Pasti banyak teman di sana, pasti sibuk, pasti aku bakal dicuekin!" Tanganku meliuk tak berarah, mataku yang besar seakan ingin meloncat keluar karena tak tahan melihat rinai air mata yang terus saja mengeluh. ia mendekatiku. Lagi. Diusapnya berliannya mata ini, setelahnya disematkan kalung hadiah perpisahan. Aku hendak menangis lagi, tapi  sorotan matanya membuat jiwaku terombang- ambing.
"Big Baby, walaupun kakak sibuk. Kakak janji ngak bakal cuekin adik manis kakak ini. ok? Sekarang kamu harus senyum, cheese." Senyumnya yang setengah lingkar itu mampu membuat suasana hatiku yang kacau kembali cerah, secerah matanya.
"Janji?" Kulemparkan sebuah jari kelingking kecilku padanya, ia hanya mengangguk dan kembali tersenyum. Perhalan- lahan, kopernya telah beranjak, iapun tinggal baying.
     Namun alangkah kejamnya, setelah kejadian tersebut akulah tersangka yang selalu membuat hatinya sedih.
     Dik...!
     Apa kabar dik?
     Nala, kemarin kakak pulang, tapi kamu masih ditahan di asrama itu kan? Ada oleh- oleh loh di meja belajarmu.
     Dik, Miss U
Tiap malamnya aku selalu sibuk dengan diri sendiri, menuju awal SMA. Aku juga harus lebih rajin menggapai jenjang pendidikan yang kumau. Akibatnya, aku meninggalkan handphoneku di rumah saja dan hanya pulang pada akhir semester. Kutancapkan dalam tiap niatku untuk selalu menjadi nomor satu, hingga aku tak yakin dengan kondisi batinku sendiri.
"Nala, kan?" ujar seseorang di belakangku. Tanpa ragu ku melanjutkan derap langkah yang kini kutujukan menuju rumahku." Nala, kamu ngak ingat aku? Zaid," aku terperanga. Dia adalah sainganku saat lomba sains semasa SMP. Aku sangat mengidamkannya dari awal berjumpa. Matanya berwarna coklat tua, berambut agak pirang, ikal katanya. Tinggi bagai model, ia tak memiliki celah untuk ditandingi siapapun, bahkan aku harus menerima kekalahan saat berkompetisi dengannya.
"Oh..." aku hanya berpura- pura tak mengetahui apapun tentangnya. gengsiku terlalu tinggi untuk mengakui, apa dia telah mengetahui kalau dia adalah tipeku? Ah, tapi kenapa dia langsung mengenaliku? Haruskah bertanya, padahal kami hanya bertemu dalam perlombaan saja, aku juga selalu kalah oleh Zaid.
 "Boleh kuantar?" Aku hanya bungkam. Tak kusangkah ia telah berada di sampingku dengan tas berwarna hitam dibingkai warna abu- abu. "Hari ini terakhir sekolah bukan? Kamu mau libur kemana? Maaf menganggu kamu."
"Ngak kemana- mana, rencana mau jalan sama 'teman', kamu tidak akan kenal dan ngak bakal aku kenalin sama dia. tapi mungkin saja ia sudah melupakanku, kalau kamu mau liburan kemana? Emang kamu tau rumahku? Kapan kamu bisa kenal denganku? Jangan- jangan stalker," Nafasku terasa sesak jikalau mengingat tentang kak Raka. aku sudah lama tak menghadapkan diri pada persegi panjang logam itu.
"Wah, kamu cerewet banget ya. Aku sampai lupa mau jawab yang mana. Lagian dari manapun aku tahu. Sekarang kita juga sudah berteman"
"Teman?" aku hanya menyeringai, ia kembali tertawa dan memojokkanku dengan mudah. Sangat pintar. Walau masih banyak yang ingin kutanyakan padanya, tapi sudahlah.
Tanpa disadari, kini kami sangat dekat. Sampai lupa, jikalau ia telah memiliki no. Handphoneku. Tiap beberapa jam sekali, selalu bordering. Aku jadi mengingat kak Raka. suaranya yang lembut, senyumnya yang mempersona, dan perangainya yang tak pernah kuragukan.
     Met malam, Nala. Aku sangat senang berkenalan denganmu
     Met malam juga.
     Mau tahun baru ini kamu mau kemana?
     Oh belum tahu, liat kondisi dulu, aku mau belajar dulu. Bye
      Hampir tiga hari terlewatkan. Kenapa kak Raka belum jemput. Apa dia ngak dapat libur semester ya? Sesibuk itukah? Padahal bulannya sangat cerah dihiasi bintang kejora bersama sahabat- sahabatnya.
Dulu, kak Raka selalu menamaiku kejora dikarenakan aku selalu bersinar lebih terang walau beribu manusia di muka bumi ini. katanya sih begitu. aku spontan memberinya nama bulan karena selalu menjadi satu- satunya di hatiku.
"Ma, kak Raka ngak pulang ya? Kenapa belum mampir ke sini? Kenapa belum kasih kabar? Apa dia ngak sayang lagi sama Nala?" ucapku lantang, mama hanya menatapku muram. Sepertinya ada kejadian yang belum ia katakan dari awal ku melangkahkan kaki lagi kerumah ini.Â
 "Dia udah pindah tiga bulan kemarin, La. Emang dia ngak ngasih kabar?" Jelas mama. Hening."Ia pernah berjanji untuk mengambil alih semua perusahaannya di Malaisya, papanya sakit- sakitan, kamu tau kan paman Vinzu,  sepertinya Raka ngak bakal dibolehin kembali ke kampung. Kalau tidak salah ia sudah menikah beberapa hari yang lalu."
"Apa? Ngak bisa! Kak Raka janji bakal nunggu aku tamat sekolah, Ma." Tubuhku yang tadinya melambung ke angkasa, jatuh tanpa sabuk pengaman, air mataku hampir tak mau kompromi.
"Katanya dia sudah hubungin no. Hp kamu, tapi kamu ngak pernah menjawab telponnya." Mama kembali menjelaskan jika semua ini adalah kesalahanku, memang benar aku yang salah. Aku yang seakan tak lagi membutuhkannya. Dan kini aku yang selalu mencari rembulanku, akulah sang bintang kejora. Yang tak lagi dapat melihat sang bulan. Kini hanya penyesalahan. Apalagi baru kudapati sebuah surat darinya yang lebih membuatku menyesal.
 Kakak selalu mencintaimu, dari awal kita menjadi sepasang sahabat. Mungkin kamu belum mengetahui betul tentang perasaan yang kakak pendam. Tapi, masih ingat ketika kamu menangis karena kakak akan meninggalkanmu? Kamu terlalu manis dan jangan lagi menangis. Kakak selalu menyadari bersamamu sangatlah nyaman, senyaman kamar yang sering kau buat onar. Kamu terlalu manis dek, jangan sia- siakan dirimu dan orang- orang yang menyayangimu. Kakak tau kamu sangat ambisius dengan nilai seratus, tak pernah ingin mengalah, tapi selalu ingin mengalahkan. Tapi kakak sayang, sayang melihatmu selalu menjadi dirimu sendiri.
 Mungkin sekarang kita harus berpisah. maaf ya, tapi kakak telah mengirim seseorang yang dulu selalu kamu ceritakan ketika pulang lomba olimpiade, masih ingat? Lomba yang membuat kamu kalah itu? Entah ia telah memulai pembicaraan denganmu, tapi kakak yakin kalian akan menjadi pasangan yang lebih sempurna.
                                                                                Salam sayang dari kakakmu, Raka
      Hai, kak. Akankah kau tahu, ketika kau raib tanpa perpisahan yang benar, hati sang bintang ini terlalu sakit, tak mampu lagi menerima beban. aku membutuhkan belaian dan senyumanmu, mata indahmu yang selalu berbinar bagai bulan yang sering kita jadikan sasaran permainan. Kini hariku terlalu kosong tanpa cintamu, tanpa bayangmu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H