Studi kelayakan (Feasibility Study) merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha/proyek yang direncanakan.Â
Tujuan dilakukannya studi kelayakan adalah guna menghindari resiko kerugian dari proyek/usaha yang direncanakan. Selain itu dengan melakukan studi kelayakan dapat memudahkan perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan. Dan juga memudahkan hingga proses pengawasan dan pengendalian.
Dalam melakukan studi kelayakan banyak aspek yang harus diperhatikan. Mulai dari aspek pasar dan pemasaran yang menimbang besarnya permintaan, penawaran, dan harga dengan metode proyeksi hingga beberapa tahun kedepan, hingga aspek ekonomi yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah proyek atau usaha, apakah ekonomi yang ada di sekitar tempat pendirian proyek/usaha tersebut mendukung atau tidak.
Pembangunan BIJB (Bandarudara Internasional Jawa Barat) atau yang kerap dikenal dengan Bandara Kertajati sudah dicetuskan sedari tahun 2003 oleh para warga Jawa Barat. Ide tersebut muncul karena jumlah penduduk Jawa Barat yang sudah mencapai 37 juta saat itu dan Bandara Husein Sastranegara Bandung sudah dinilai sangat padat sehingga memerlukan upaya lain guna melayani transportasi udara.
Pada saat itu telah dilakukan studi kelayakan sehingga pada tahun 2005 ditetapkan Kecamatan Kertajati Majalengka sebagai lokasi pembangunan bandara yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Perhubungan No.05 tahun 2005.
Alasan penetapan Kertajati sebagai lokasi pembangunan bandara adalah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat mempolarisasikan tiga kawasan metropolitan, yaitu : Ciayumajakuning (Cirebon Raya, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu), Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang), dan Bodebekkapur (Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Karawang).Â
Diantara tiga kawasan itu pembangunan selama ini hanya dititik beratkan pada kawasan Bandung Raya dan Bodebekkapur saja sedangkan kawasan Ciayumajakuning masih minim akan pembangunan.
Sehingga pembangunan bandara di Kertajati tidak lain merupakan upaya dalam pemerataan pembangunan untuk mengatasi ketimpangan sosial. Keputusan menteri itu kemudian dijadikan bekal bagi Pemprov Jawa Barat untuk memulai pembebasan lahan pada tahun 2009 dengan kebutuhan lahan 1.800 hektar (ha). Kemudian, di tambah aerocity sebagai kawasan yang menunjang operasional bandara seluas 3.480 ha.Â
Namun, Pemprov Jawa Barat tak kunjung merealisasikan pembangunan tersebut hingga 2011. Setelah dilakukan peninjauan ulang, pembangunan bandara ternyata membutuhkan alokasi APBN. Dampaknya, selama tujuh tahun tidak ada kegiatan fisik apapun dan izin penetapan lokasi pun hangus.
Pembangunan BIJB kemudian baru dimulai 3 tahun kemudian yakni pada tahun 2014 untuk pengerjaan pembersihan lahan dan fondasi dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 24 Mei 2018.
Melalui proses yang bertahun-tahun lamanya namun sepertinya pelaksanaan Bandara Kertajati tidak sesuai dengan ekspektasi. Wakil Presiden, Jusuf Kalla atau yang dikenal JK mengkritik Bandara Kertajati sepi penumpang dikarenakan adanya kekeliruan dalam perencanaannya.
Dari kritikan tersebut Direktur Keuangan dan Umum PT BIJB, Muhammad Singgih menanggapi bahwa perencanaan bandara ini telah dilakukan sudah dari lama.Â
Singgih mengatakan bahwa alasan sepinya Bandara Kerjatati adalah karena minimnya aksesibilitas, terutama belum tersambungnya Tol Cisumdawu (Cileunyi-Sumedang-Dawuan). Karena tol ini yang nantinya akan mempersingkat jarak menuju BIJB sehingga diperlukan pengoptimalan dalam pembangunan jalan tol ini dalam rangka mengdongkrak penumpang BIJB.
Menurut Singgih juga tidak ada kesalahan dalam studi kelayakan yang telah dilakukan. Karena studi kelayakan juga dilakukan oleh lembaga yang kredibel, ada yang dari singapura dan juga Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga jika menyalahkan adanya kekeliruan dalam studi kelayakan rasanya tidak memungkinkan.
Dalam pertimbangan studi kelayakan, Majalengka dianggap menjadi titik temu banyak daerah pusat ekonomi seperti Jakarta, Bandung, dan Karawang.Â
Lokasi ini juga diyakini menjadi pilihan tepat sebagai penghubung logistik Pelabuhan Muara Jati di Cirebon dan Pelabuhan Patimban di Subang. Selain itu, secara geografis lahan yang digunakan untuk pembangunan BIJB sebelumnya adalah lahan tadah hujan yang tidak produktif jika digunakan untuk pertanian dalam jangka panjang. Selain jauh dari gunung sehingga aman dari asap letusan, lahan ini juga cukup resisten terhadap gempa bumi dan banjir.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut yang menjadi alasan BIJB dibangun dengan mengusung aeropolis business concept, di mana bandara menjadi pusat aktivitas dan perkembangan ekonomi.Â
BIJB Kertajati sejatinya dibangun dengan harapan mampu menjadi pendongkrak ekonomi wilayah di sekitarnya. Karenanya, tidak tepat rasanya menganggap bandara ini dibangun tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi. Justru alasan ketimpangan ekonomilah yang awalnya melatarbelakangi pembangunan bandara ini.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan sepinya penumpang di Bandara Kertajati bukanlah karena kesalahan dalam studi kelayakannya melainkan minimnya aksesibiltas menuju bandara tersebut yang menyebabkan masyarakat lebih memilih bandara lain yang lebih mudah diakses.
Sehingga saat ini pemerintah dalam misi menyelamatkan Bandara Kertajati telah melakukan beberapa tindakan. Salah satunya mendongkrak penumpang dengan fasilitas umrah dan juga menghidupkan kembali jalur kereta api yang mati.Â
Penghidupan kembali jalur kereta api yang mati tersebut telah melewati proses studi kelayakan dan siap untuk tindak lanjut berikutnya. Studi kelayakan ini dilakukan olek PT KAI. Dan dengan adanya kereta bandara ini diharapkan dapat memudahkan aksesibilitas menuju Bandara Kertajati dan menarik banyak masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H