BAGIAN 1: (BAYANGAN)
Namaku Fajar, 16 tahun, aku tak punya teman, mereka semua menjauhiku. Aku hidup dengan melawan arus, disaat orang-orang takut gelap aku menghapirinya.
***
Pukul 18.00 aku merasakan sesuatu yang membuatku terjaga dari bunga-bunga tidur elok nan menawan, semacam getaran, kecepatanya melebihi 250,00 mbps melalui neuron-neuron motorik kemudian ditrasmisikan ke otak. Sial! Itu perutku, aku bergegas ke dapur aku yakin getaran ini akan reda dengan sepotong roti lapis. Ya! aku fikir ini akan menyenangkan.
Aku membuka lemari es, kuambil sepotong roti dan selembar sayuran, kurasa aku membutuhkan saus. Segera aku menuju meja makan, tanganku sigap merain botol saus, tepat saat aku menggnggamnya ruangan seketika menjadi gelap. Wajar saja, aku pemalas yang tidak suka mematikan lampu. Sepanjang hari kubiarkan lampu-lampu itu menyala, mereka pasti lelah.
Kuraba sekeliling untuk mencari senter, aku menemukan sesuatu, bukan! Ini kecap asin, aku mendekati lemari, kubuka laci, aku menemukannya. Sial! Senter ini juga kelelahan, ia terlalu tua, cahayanya berkedip-kedip aku mencoba tidak memerdulikannya kutaruh senter itu diatas meja, kusandarkan pada botol saus. Cahayanya menabrak dinding membentuk lingkaran terang disana.
Aku mencoba menikmati roti lapis yang sedarai tadi kupegang dengan tangan kiri. Rasanya seperti kehidupanku, menyedihkan! Belum separuh  rotiku termakan, aku melihat sesuatu yang asing, sebesar bola kasti berwarna hitam, benda itu berputar-putar mengelilingi cahaya si tua. Aneh sekali bahkan senter sialan itu sekarang semakin berkedip-kedip. Kurasa ada binatang mungil di permukaan kaca pelapisnya, namun tidak itu bersih. Kali ini aku melahap rotiku yang tinggal separuh dalam sekali suap.
Atau mungkin senter tua ini butuh rehat? Aku mencoba mematikan dan menghidupkannya berulangkali namun tidak ada yang berbeda disini, hanya membuat senterku semakin berkedip-kedip. Kuputuskan untuk mendekati lingkaran hitam itu kudekatkan ujung jariku untuk menyentuhnya, namun ada sesuatu yang menarikku dari sana. Aku coba memasukkan pergelangan tanganku, muncul pergelangan tangan lain, dia menarikku, yang ini berwarna hitam. (Ruangan kembali gelap)
***
Aku terbangun diranjang empuk berwarna putih, lebih tepatnya seisi ruangan berwarna putih. Ini bukan kamarku, aku dimana? Mataku sibuk mengelilingi ruangan, aku bangkit untuk melihat keluar jendela barangkali seorang tetangga mengevakuasiku. Kusadari tak sesederhana itu.
Aku mulai khawatir, semua yang ada disini berwarna putih. Rumput, tanah, bunga, kupu-kupu, hanya langit yang berwarna biru. Kegilaan macam apa ini?
Gagang pintu bergerak "klek", sesorang masuk untuk mengapiriku, kutarik kembali perkataan ku, itu bukan orang. Dia berjalan kearahku, aku mundur beberapa langkah sebelum terjatuh tepat disisi tempat tidur. Sosok itu dari ujung kepala sampai ujung kakinya berwarna hitam. Kali ini aku benar-benar khawatir. Dia semakin dekat, aku hampir mati karena jantungku bekerja terlalu cepat. Ketika jaraknya denganku terpaut tiga jengkal, dia berbisik "Sssst. jangan takut! Namaku Senja, aku adalah bayang." seharusnya aku lari, namun aku memilih diam menjadi pecundang dengan memegangi dadaku yang semakin sakit.
Aku terus menatapnya, ayolah hanya itu yang bisa kulakukan. Sebentar, ada sesuatu yang terjadi, warna hitam nya mulai pudar, sekarang aku bisa melihat mata cokelatnya, rambutnya panjang terurai, dia seorang gadis berkulit kuning kecoklatan dengan lesung pipi disenyumnya. kuakui dia cantik, astaga aku mulai gila!
Sekarang dia mulai tampak seperti manusia, tak kurang dari seperempat jam perubahannya sempurna. Dia mengulurkan tangannya yang tak kunjung kulepaskan kendati aku sudah berdiri "Namaku Senja." masih dengan senyum dan lesung pipinya. " Cantik! Maksudku, a..a.aku Fajar." jawabku tersengal .sejak saat itu aku mengenal senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H