Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Artivisme Perempuan Muda Bengkulu: Seni sebagai Ruang Katarsis

5 Maret 2019   16:33 Diperbarui: 5 Maret 2019   16:40 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengapresiasi semangat teman-teman perempuan muda yang merupakan sekaligus teman karib penulis sewaktu tinggal di Bengkulu. Tulisan ini menjadi penting sebagai suatu dokumentasi bersama mengenai keterlibatan Perempuan Muda dalam artivisme di Bengkulu.

Pada awalnya gerakan seni hanya didominasi oleh kelompok laki-laki yang mengembangkan ruang berkesenian dengan keterlibatan perempuan dalam jumlah yang kecil; atau karya perempuan berkisar pada seni tari, seni musik, seni teater, dan pertunjukan puisi. Namun setelah tahun 2010, terjadi peledakan dinamika kesenian dimana perempuan lebih banyak show up untuk menunjukan karya dan suara ke publik. Hal ini senada dengan eksisnya media sosial yang mengakomodir karya dan suara perempuan menjadi terpublikasi dan bisa sampai kepada khalayak.

Sejak tahun 2014, diprakarsasi oleh Yayasan PUPA sebagai salah satu motor penggerak gerakan perempuan di Bengkulu yang concern pada isu pemenuhan hak pendidikan bagi perempuan dan anak, membuka ruang bagi perempuan. Namun seiring dengan keterlibatan pelbagai pihak dalam mengembangkan kesadaran kritis; terdapat tiga orang yang menjadi key person woman dalam gerakan anak muda di Bengkulu. Tidak hanya gerakan secara organis atau aksi nyata, tetapi upaya advokasi dan penyadaran dilakukan melalui jaring atau media sosial. Mereka yang terus bergerak adalah;

1. Grasia Renata Lingga

Seorang aktivis perempuan, seniman-penyair, jurnalis, perempuan inspiratif, ind(i)e-penden woman yang merupakan sahabat karib penulis dan menyaksikan betul rekam jejak dan konsistensi beliau dalam isu-isu minoritas dan diskriminasi. Perempuan ini berani menyuarakan dan menyelaraskan pikiran maupun tindakan ke wilayah yang tidak hanya di Bengkulu, tetapi di Jember, pernah di Jakarta, dan sebagainya. Melalui penyampaian dan pembacaannya diskriminasi gender yang selama ini memiliki gap ataupun pandangan miring, akan dapat diselaraskan secara apik dan epik, berikut dengan data-data kuantitatif dan kasus aktual.

Pada Grasia, jarang terdengar keluhan ataupun pesimistis terhadap sesuatu hal, saya mampu menyimpulkan bahwa berkat dalam dirinya berupa kekuatan mengumpulkan dan membagikan Cinta dapat teruji dalam pelbagai ruang dan waktu. Pagi sampai Siang, seterusnya Siang sampai Dini Hari, Malam diretas, hingga jadilah kolaborasi karya yang selalu baru dan memadukan aspek global dan lokalitas.

Saat ini Grasia merupakan Project Officer di Yayasan PUPA. Nah... satu lagi, anggapan bahwa bekerja di Non-Government Organization dalam skala nasional maupun  lokal sering meninggalkan kesan bahwa hanya menghamba pada kepentingan pemilik dana, tetapi dalam kecakapannya mengenai kesadaran kritis, kondisi ini dapat diselaraskan melalui karya progresif dan tetap mengembangkannya ke akar rumput. Jadi setiap aktivisme maupun artivisme mengenai isu diskriminasi, marjinal, dan minoritas tidak hanya berlaku dari, oleh, dan untuk---"hanya" kelompok muda, tetapi juga bersuara untuk masyarakat mulai dari anak-anak hingga kelompok lansia.

2. Ayu Wijayanti

Salah satu senior di kampus Universitas Bengkulu yang memperkenalkan gerakan progresif mahasiswa di antara gerakan orang muda Bengkulu yang masih "kering" karena keterbatasan dan saling mengekskusifkan "diri" secara kolektif. Kemudian lama berpisah, hingga pada awal 2017 mulai bergabung untuk bersinergi melakukan banyak hal dan membuat banyak karya. Saat ini Mbak Ayu merupakan salah satu pengajar di Program Studi Sosiologi di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, dalam cerita personalnya---ia sempat memberikan kesaksian bahwa prosesnya menjadi dosen muda yang berhasil masuk tanpa penelusuran identitas yang berafiliasi organisasi keagamaan. Setelah menjadi dosen kiprah aktivisme dan artivismenya pun tidak terhenti, ia menjadi salah satu pelopor dosen muda yang menyuarakan isu bahaya kekerasan terhadap perempuan dan anak, menjadi agency sekaligus relawan Yayasan PUPA dalam memperkenalkan isu kekerasan dalam pacaran kepada mahasiswa di kelas, bersinergi aktif dalam mendorong perkembangan kesenian di Bengkulu melalui grassroot.

Dalam keberadaannya, Mbak Ayu, sempat menyatakan bahwa identitas sebagai seniman hakiki, bukan dialamatkan kepadanya, namun dalam pergerakannya sejak mahasiswa, ia memiliki kemampuan untuk menghimpun, mengumpulkan, dan merawat massa secara massive sehingga membuat banyak kolektif dari pelbagai latar belakang untuk berkumpul dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan kolektif. Bila ukuran keberhasilan aksi massa adalah angka real kuantitas, Mbak Ayu dapat membuktikan konsistensinya tidak hanya soal pelibatan tetapi juga menciptakan kesadaran kritis melalui pedagogi kritis yang kekinian dan penuh Cinta.

3. Yurika Hermawan 

"Aku sempat merasa down, karena dianggap merambah ke seni suara (proyek baru), pernah dianggap mengambil lahan (rezeki) orang." Begitu tungkas Yurika dalam suatu sesi percakapan singkat melalui whatsapp text.

 Sejak 2016,Yurika mampu membuktikan bahwa perempuan mampu terlibat dalam dinamika gerakan seni rupa di Bengkulu yang masih terbilang minim "sosok" perempuan. Dalam eksistensi personal, dia memiliki jaringan yang luas dan luwes terhadap banyak isu sosial. Secara spesifik, ia tidak mendaku sebagai seniman, tetapi dalam keberlangsungan karyanya yang ditandai sebagai bagian dari seni kontemporer, memberikan banyak pengaruh kepada banyak perempuan di Bengkulu. Seni menjadi tidak hanya dihargai sebagai seni yang maskulin dan mendayu-dayu, tetapi menjadi lebih bermakna-progresif- dan berharga.

Selama ini, pandangan perempuan hanya memandang tubuh orang lain sebagai sesuatu yang "baik", "indah", "cantik", maupun ukuran-ukuran yang hanya memproduksi citra, namun tidak memiliki kesadaran tentang tubuh personal sehingga menganggap tubuh "sendiri" sebagai subyek yang unik. Yurika dengan berani membuat ilustrasi yang meretas batasan tentang "apa yang seharusnya ada pada tubuh perempuan tapi bersumber dari memandang tubuh perempuan lain". Dalam level yang lebih krisis, perempuan bahkan tidak hanya "tidak menyukai" bahkan sampai "membenci" dirinya sendiri sehingga muncul sikap lalai dan abai pada apa yang seharusnya dijaga dan rawat. 

Dalam pembacaannya tentang tubuh personal Yurika menampilkan sosok perempuan yang "bebas" dalam mengekspresikan tubuh yang dipersepsi secara unik dan berdasar pada otoritas diri personal---misalnya perempuan yang menggunakan bra namun ada tanda bekas kerikan- lain waktu menggambarkan perempuan yang mengangkat lengan dengan bulu ketiak yang lebat- lain waktu menceritakan tentang luka-luka pada diri perempuan---hal ini ditampilkan dalam paduan karya warna yang impresif, dan lanskap. Dalam pandangan gender, sebelum era tahun 2015, ilustrasi seperti ini tidak banyak nampak ke publik karena masih dicitrakan sebagai gambar yang porno. Bahkan Yurika menggabungkan bahasa lokal Rejang, dalam paduan karyanya, membangkitkan gairah orang Muda Bengkulu untuk kembali mengingta dan mencintai kebudayaan lokal. 

Melampaui pandangan bias gender, setelah tahun 2015 ilustrasi-ilustrasi mengenai suara dan kegelisahan tentang perempuan ini mulai awam pada khalayak Bengkulu, secara ekspilisit berbarengan dengan penyadaran tentang melek gender ke orang muda yang digagas individu progresif maupun gerakan perempuan Bengkulu, salah satunya konsisten dilakukan oleh Yayasan PUPA.

4. Perempuan-perempuan muda Bengkulu yang menghimpun pelbagai semangat untuk menyalakan tidak hanya eksistensi tetapi juga menelurkan suara perempuan yang berhabiatiusasi di dalam ruang aktivisme dan artivisme. 

  • Seni sebagai Ruang Katarsis : Pendekatan melalui Cinta Kasih

Pada diskusi IVAA pada akhir Februari 2019 lalu, penulis mendapatkan kesempatan untuk menghadiri presentasi diskusi oleh Alia Swastika mengenai "Presentasi Membaca Praktik Seniman Perempuan Indonesia Dekade 80-90an dan Politik Gender Orde Baru". Salah satu simpul dalam diskusi tersebut menunjukan bahwa perempuan perupa yang menjadi narasumber dalam penelitian, merasa ruang-ruang perempuan tertutup dan tidak terdokumentasi dengan baik ihwalnya karena budaya patriarki dimana perempuan dianggap hanya kelompok nomor dua, sehingga bilapun berkarya, secara represi karya mereka akan diasosiasikan sebagai karya yang dipengaruhi oleh siapa dibalik mereka---dan ini akan berkaitan dengan subyek laki-lak--- sehingga kemampuan personal perempuan, menjadi tidak diakui sebagai kemampuan sebagai subyek, meminggirkan anggapan bahwa perempuan hanya sebagai obyek dalam proses berpikir kreatif ataupun penciptaan karya.  

Dalam pergerakan kesenian di suatu wilayah, hasil gagasan maupun karya perempuan hanya dipandang sebagai subyek "antara" dimana karyanya akan dianulir sebagai karya yang didorong oleh laki-laki. Dalam konteks lokal Bengkulu, bila berani untuk jujur, segregasi ini juga masih dominan namun kondisi ini mampu diretas dalam perjumpaan dan kolaborasi tanpa henti. Pada 2016, Yayasan PUPA secara khusus mengajak lebih banyak pihak untuk ikut berpartisipasi dalam sinergi yang mengusung tagar gerak bersama ataupun penggunaan hastag #GerakBersama. Secara Sosiologis, hal ini merupakan proses habituasi dan perjumpaan yang panjang memproduksi kesadaran kritis bagi individu maupun kolektif lainnya sehingga pihak lain---khsususnya laki-laki merasa tidak didominasi maupun terancam dengan eksistensi perempuan. Kabar baiknya, mereka ikut menyuarakan bersama mengenai kasus dan suara perempuan yang membutuhkan bantuan.

Tantangan lainnya di lokal, ketika menyuarakan isu-isu mengenai perempuan maka akan diasosian sebagai tindakan radikal, liar, dan pemberontakan yang besar karena diawali dengan cara pandang yang tidak egaliter. Peran ini kemudian dipilah-pilah untuk dibagikan dan direproduksi melalui peran interpersonal salah satunya melalui pendekatan Cinta kasih. Dimana membicarakan dapat dilakukan dengan mulai memperhatikan perempuan di sekitar lingkungan, mulai mencintai, memeluk, hingga mempertanyakan keamanan perempuan di ruang publik. Ibaratnya energi positif, tindakan ini kemudian menyebar kepada pihak lain, dimulai dengan sesuatu yang sederhana tetapi berdampak luas hingga mendorong pengambil kebijakan untuk turut hadir dalam sinergi #GerakBersama. 

Artivisme ini juga kemudian mendorong pemajuan terhadap sudut pandang perempuan dalam media lokal misalnya Grasia tetap konsern pada data kasus-kasus perempuan, Yurika dengan artivisme dan karya seni yang diliput sebagai subyek perempuan yang kreatif, begitu juga dengan Mbak Ayu yang memperluas lanskap media sosial dengan melibatkan mahasiswa-mahasiswa di jurusan Sosiologi yang mulai mengenai persoalan masyarakat di akar rumput. 

Sebentar lagi akan dilangsungkan peringatan International Women's Day 2019, tentu Bengkulu juga akan merayakannya dengan menghimpun lebih banyak aspirasi, suara dan karya perempuan. Saya pribadi mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Puan yang tidak pernah lelah untuk terus melapangkan hati dan dirinya dalam lingkaran membangun perdamaian. Semoga mereka terus diberkati Cinta dan kedamaian,

Dari Yogya saya kirimkan semangat hangat. Untuk teman-teman Perempuan saya yang kuat di Bengkulu sana, Peluk Erat!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun