Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Artivisme Perempuan Muda Bengkulu: Seni sebagai Ruang Katarsis

5 Maret 2019   16:33 Diperbarui: 5 Maret 2019   16:40 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Aku sempat merasa down, karena dianggap merambah ke seni suara (proyek baru), pernah dianggap mengambil lahan (rezeki) orang." Begitu tungkas Yurika dalam suatu sesi percakapan singkat melalui whatsapp text.

 Sejak 2016,Yurika mampu membuktikan bahwa perempuan mampu terlibat dalam dinamika gerakan seni rupa di Bengkulu yang masih terbilang minim "sosok" perempuan. Dalam eksistensi personal, dia memiliki jaringan yang luas dan luwes terhadap banyak isu sosial. Secara spesifik, ia tidak mendaku sebagai seniman, tetapi dalam keberlangsungan karyanya yang ditandai sebagai bagian dari seni kontemporer, memberikan banyak pengaruh kepada banyak perempuan di Bengkulu. Seni menjadi tidak hanya dihargai sebagai seni yang maskulin dan mendayu-dayu, tetapi menjadi lebih bermakna-progresif- dan berharga.

Selama ini, pandangan perempuan hanya memandang tubuh orang lain sebagai sesuatu yang "baik", "indah", "cantik", maupun ukuran-ukuran yang hanya memproduksi citra, namun tidak memiliki kesadaran tentang tubuh personal sehingga menganggap tubuh "sendiri" sebagai subyek yang unik. Yurika dengan berani membuat ilustrasi yang meretas batasan tentang "apa yang seharusnya ada pada tubuh perempuan tapi bersumber dari memandang tubuh perempuan lain". Dalam level yang lebih krisis, perempuan bahkan tidak hanya "tidak menyukai" bahkan sampai "membenci" dirinya sendiri sehingga muncul sikap lalai dan abai pada apa yang seharusnya dijaga dan rawat. 

Dalam pembacaannya tentang tubuh personal Yurika menampilkan sosok perempuan yang "bebas" dalam mengekspresikan tubuh yang dipersepsi secara unik dan berdasar pada otoritas diri personal---misalnya perempuan yang menggunakan bra namun ada tanda bekas kerikan- lain waktu menggambarkan perempuan yang mengangkat lengan dengan bulu ketiak yang lebat- lain waktu menceritakan tentang luka-luka pada diri perempuan---hal ini ditampilkan dalam paduan karya warna yang impresif, dan lanskap. Dalam pandangan gender, sebelum era tahun 2015, ilustrasi seperti ini tidak banyak nampak ke publik karena masih dicitrakan sebagai gambar yang porno. Bahkan Yurika menggabungkan bahasa lokal Rejang, dalam paduan karyanya, membangkitkan gairah orang Muda Bengkulu untuk kembali mengingta dan mencintai kebudayaan lokal. 

Melampaui pandangan bias gender, setelah tahun 2015 ilustrasi-ilustrasi mengenai suara dan kegelisahan tentang perempuan ini mulai awam pada khalayak Bengkulu, secara ekspilisit berbarengan dengan penyadaran tentang melek gender ke orang muda yang digagas individu progresif maupun gerakan perempuan Bengkulu, salah satunya konsisten dilakukan oleh Yayasan PUPA.

4. Perempuan-perempuan muda Bengkulu yang menghimpun pelbagai semangat untuk menyalakan tidak hanya eksistensi tetapi juga menelurkan suara perempuan yang berhabiatiusasi di dalam ruang aktivisme dan artivisme. 

  • Seni sebagai Ruang Katarsis : Pendekatan melalui Cinta Kasih

Pada diskusi IVAA pada akhir Februari 2019 lalu, penulis mendapatkan kesempatan untuk menghadiri presentasi diskusi oleh Alia Swastika mengenai "Presentasi Membaca Praktik Seniman Perempuan Indonesia Dekade 80-90an dan Politik Gender Orde Baru". Salah satu simpul dalam diskusi tersebut menunjukan bahwa perempuan perupa yang menjadi narasumber dalam penelitian, merasa ruang-ruang perempuan tertutup dan tidak terdokumentasi dengan baik ihwalnya karena budaya patriarki dimana perempuan dianggap hanya kelompok nomor dua, sehingga bilapun berkarya, secara represi karya mereka akan diasosiasikan sebagai karya yang dipengaruhi oleh siapa dibalik mereka---dan ini akan berkaitan dengan subyek laki-lak--- sehingga kemampuan personal perempuan, menjadi tidak diakui sebagai kemampuan sebagai subyek, meminggirkan anggapan bahwa perempuan hanya sebagai obyek dalam proses berpikir kreatif ataupun penciptaan karya.  

Dalam pergerakan kesenian di suatu wilayah, hasil gagasan maupun karya perempuan hanya dipandang sebagai subyek "antara" dimana karyanya akan dianulir sebagai karya yang didorong oleh laki-laki. Dalam konteks lokal Bengkulu, bila berani untuk jujur, segregasi ini juga masih dominan namun kondisi ini mampu diretas dalam perjumpaan dan kolaborasi tanpa henti. Pada 2016, Yayasan PUPA secara khusus mengajak lebih banyak pihak untuk ikut berpartisipasi dalam sinergi yang mengusung tagar gerak bersama ataupun penggunaan hastag #GerakBersama. Secara Sosiologis, hal ini merupakan proses habituasi dan perjumpaan yang panjang memproduksi kesadaran kritis bagi individu maupun kolektif lainnya sehingga pihak lain---khsususnya laki-laki merasa tidak didominasi maupun terancam dengan eksistensi perempuan. Kabar baiknya, mereka ikut menyuarakan bersama mengenai kasus dan suara perempuan yang membutuhkan bantuan.

Tantangan lainnya di lokal, ketika menyuarakan isu-isu mengenai perempuan maka akan diasosian sebagai tindakan radikal, liar, dan pemberontakan yang besar karena diawali dengan cara pandang yang tidak egaliter. Peran ini kemudian dipilah-pilah untuk dibagikan dan direproduksi melalui peran interpersonal salah satunya melalui pendekatan Cinta kasih. Dimana membicarakan dapat dilakukan dengan mulai memperhatikan perempuan di sekitar lingkungan, mulai mencintai, memeluk, hingga mempertanyakan keamanan perempuan di ruang publik. Ibaratnya energi positif, tindakan ini kemudian menyebar kepada pihak lain, dimulai dengan sesuatu yang sederhana tetapi berdampak luas hingga mendorong pengambil kebijakan untuk turut hadir dalam sinergi #GerakBersama. 

Artivisme ini juga kemudian mendorong pemajuan terhadap sudut pandang perempuan dalam media lokal misalnya Grasia tetap konsern pada data kasus-kasus perempuan, Yurika dengan artivisme dan karya seni yang diliput sebagai subyek perempuan yang kreatif, begitu juga dengan Mbak Ayu yang memperluas lanskap media sosial dengan melibatkan mahasiswa-mahasiswa di jurusan Sosiologi yang mulai mengenai persoalan masyarakat di akar rumput. 

Sebentar lagi akan dilangsungkan peringatan International Women's Day 2019, tentu Bengkulu juga akan merayakannya dengan menghimpun lebih banyak aspirasi, suara dan karya perempuan. Saya pribadi mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Puan yang tidak pernah lelah untuk terus melapangkan hati dan dirinya dalam lingkaran membangun perdamaian. Semoga mereka terus diberkati Cinta dan kedamaian,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun