Pada 2-4 November lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan manajemen dan resolusi konflik dalam konteks menjaga perdamaian yang dilaksanakan oleh Srikandi Lintas Iman Yogyakarta.
Secara personal, pengetahuan dasar tentang perdamaian tentu bukan hal yang baru bagi saya sebab teori-teori dan referensi dapat dibaca dengan mudah baik melalui buku maupun penelusuran digital.
Namun kesempatan pelatihan ini menjadi sesuatu yang penting karena peserta yang hadir adalah individu-individu yang memiliki keberagaman dalam berbagai hal khususnya mengenai perbedaan iman. Sehingga hal ini membuat saya tertarik untuk hadir, lokasi pelatihan dilaksanakan di punggung Gunung Merapi, yakni di sekitar Kaliurang yang dingin dan sejuk.
Saya hidup di wilayah homogen dalam hal agama, sehingga selama ini saya hanya mengenal orang-orang seragam yang memiliki identitas agama yang sama. Baru setelah lulus SMA, saya mengenali masyarakat yang lebih heterogen, membuat saya belajar secara personal.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita menjalankan hidup secara "taken for granted" menerima apa yang disosialisasikan di dalam keluarga, lingkungan, maupun lingkup hidup masyarakat yang banyak memberikan pengaruh kepada individu. Yang terjadi adalah wacana populis dalam masyarakat hanya diterima tanpa difilter atau dikonfirmasi secara rinci.
Seumpama membicarakan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita merasa konflik hanya ter-representasi dalam tayangan televisi, link berita online, informasi yang viral di media sosial, tetapi senyatanya dalam level horizontal yang terjadi adalah hubungan masyarakat yang satu dengan yang lain tetap baik-baik saja.
Pelatihan ini memperkenalkan kepada saya untuk berlatih mengkonfirmasi setiap hal yang didapatkan khususnya mengenai wacana yang memiliki unsur sensivitas yang tinggi seperti misalnya agama. Proses berlatih-konfirmasi ini diawali dengan belajar mendengarkan, dimana mendengarkan merupakan suatu skill yang tidak dapat dianggap sepele. Terdapat upaya untuk mengendalikan diri, usaha untuk bersabar, menyimak, memahami, berempati, berproses bersama, dan berlapang dada untuk menerima serta "menghadapi" cerita dan pengalaman dari teman.
Dalam terjadinya konflik, tidak jarang memancing tindak kekerasan. Lebih jauh lagi, konflik yang diprovokasi oleh kepentingan tertentu terkadang menyulut terjadinya perang sehingga menyebabkan banyak kerugian oleh semua pihak. Â
"Terkadang, konflik besar yang terjadi dalam masyarakat hanya disebabkan karena perbedaan sudut pandang yang tidak dikomunikasikan. Sesederhana itu."
Dalam konteks Yogyakarta, lima tahun terakhir ini banyak terjadi toleransi yang mengatasnamakan perbedaan keyakinan agama, sehingga membenarkan melakukan kekerasan kepada kelompok yang berbeda agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institute pada 2018, kondisi tersebut menyebabkan Yogyakarta sebagai wilayah dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Sangat berbanding terbalik dengan narasiyang terus di-reproduksi mengenai Yogya Istimewa ataupun Yogya berhati nyaman.
Bila saja narasi ini berbanding lurus dengan proses belajar untuk terus membuka diri dan saling berkomunikasi terhadap perbedaan, maka sebesar apapun ketidaksepahaman akan dapat diredam melalui jalan nirkekerasan. Tetapi bila salah satu pihak, bersikap teguh pada pandangan untuk mempertahankan ego yang berangkat dari sudut pandang subyektif tanpa mempertimbangkan orang lain, maka yang terjadi adalah konflik ataupyn tindak kekerasan yang mengatasnamakan pandangan atau prinsip tertentu, akan terus terjadi sampai kapanpun.
Kami saling berbagi cerita, mendengarkan, berupaya untuk memahami, dan menemukan kebaikan, dan kami menyepakati bahwa kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusiaan didasari oleh cinta dan kasih. Dengan prinsip itu, maka masing-masing orang tidak akan mungkin tega untuk saling menyakiti sesama manusia.
Namun menurut pandangan saya pribadi, proses mengendalikan diri untuk tidak mudah terlibat atau menciptakan konflik juga lahir dari proses belajar mengenali diri dan mengidentifikasi persoalan sosial. Nyatanya ada banyak ras yang dilabelkan sebagai ras yang "kasar" karena "asumsi tentang karakternya" namun dalam kehidupan sehari-hari justru membenci dan menyadari bahaya konflik maupun kekerasan.
Sebaliknya, ada pihak yang merasa dirinya sebagai pihak yang paling "baik" ataupun berbudi namun nyatanya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan, mengendalikan, mereproduksi kondisi konflik dan kekerasan untuk mendapatkan suatu kepentingan individual.
Nah, melalui pelatihan ini diharapkan para peserta pelatihan yang menjadi bagian dari lingkungan sosial dapat menjadi agen yang mampu mengajak masyarakat untuk melihat kebaikan dalam keberagaman. Sehingga kehidupan yang damai bukanlah bukanlah suatu cita-cita yang nihil.
"Menciptakan surga melalui kehidupan damai secara bersama-sama, adalah pahala yang tiada putus. Dibandingkan menciptakan kehidupan di dunia yang seperti neraka bagi orang lain" Â
Selama mengikuti pelatihan, saya mendapatkan sambutan hangat dari interaksi para peserta yang kesemuanya merupakan perempuan. Ketika mempelajari suatu konsep, berproses untuk melaksanakannya dalam tindakan sehari-hari merupakan tantangan yang tidak mudah, namun bila berhasil dilalui maka ia akan menjadi suatu habitus yang berdampak baik dalam kehidupan manusia. Mari berlatih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H