Kami saling berbagi cerita, mendengarkan, berupaya untuk memahami, dan menemukan kebaikan, dan kami menyepakati bahwa kehidupan yang menjunjung tinggi kemanusiaan didasari oleh cinta dan kasih. Dengan prinsip itu, maka masing-masing orang tidak akan mungkin tega untuk saling menyakiti sesama manusia.
Namun menurut pandangan saya pribadi, proses mengendalikan diri untuk tidak mudah terlibat atau menciptakan konflik juga lahir dari proses belajar mengenali diri dan mengidentifikasi persoalan sosial. Nyatanya ada banyak ras yang dilabelkan sebagai ras yang "kasar" karena "asumsi tentang karakternya" namun dalam kehidupan sehari-hari justru membenci dan menyadari bahaya konflik maupun kekerasan.
Sebaliknya, ada pihak yang merasa dirinya sebagai pihak yang paling "baik" ataupun berbudi namun nyatanya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan, mengendalikan, mereproduksi kondisi konflik dan kekerasan untuk mendapatkan suatu kepentingan individual.
Nah, melalui pelatihan ini diharapkan para peserta pelatihan yang menjadi bagian dari lingkungan sosial dapat menjadi agen yang mampu mengajak masyarakat untuk melihat kebaikan dalam keberagaman. Sehingga kehidupan yang damai bukanlah bukanlah suatu cita-cita yang nihil.
"Menciptakan surga melalui kehidupan damai secara bersama-sama, adalah pahala yang tiada putus. Dibandingkan menciptakan kehidupan di dunia yang seperti neraka bagi orang lain" Â
Selama mengikuti pelatihan, saya mendapatkan sambutan hangat dari interaksi para peserta yang kesemuanya merupakan perempuan. Ketika mempelajari suatu konsep, berproses untuk melaksanakannya dalam tindakan sehari-hari merupakan tantangan yang tidak mudah, namun bila berhasil dilalui maka ia akan menjadi suatu habitus yang berdampak baik dalam kehidupan manusia. Mari berlatih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H