Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Studi Fenomenologis: Belajar Cinta Kasih dari Masyarakat desa Ledokombo

3 September 2018   18:51 Diperbarui: 23 Juni 2019   23:49 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

- Pernah merasa istimewa tidak dengan banyak hal dan perjuangan yang telah dilakukan kepada masyarakat?

Latar pendidikan sederhana kadang membuat masyarakat desa terkadang tidak percaya diri dengan apa yang telah dilakukan. Termasuk bila diminta untuk memberikan jawaban dan penjelasan dalam bentuk kata-kata.

Namun melampaui yang saya pertanyakan, sesungguhnya kesemuanya telah terjawab dalam pembuktian melalui perbuatan mereka sehari-hari dan bagaimana mereka mampu menginspirasi orang lain tidak hanya tetangganya tetapi juga orang lain yang sekedar singgah untuk ikut belajar dan melakukan sikap berbagi bagi orang-orang di sekitarnya.

Tindakan ini kadang tidak hanya diberlakukan kepada manusia, tetapi juga terhadap hewan, benda-benda yang menurut mereka bermanfaat, juga kepada lingkungan yang dipandang telah memberikan banyak kebaikan kepada masyarakat.

Saya menganalisis bahwa tindakan ini dilakukan lebih dari sekedar pencitraan, popularitas, pamrih, ataupun hal konyol lainnya. Sebab apa yang mereka hadapi sehari-hari berada di luar kepentingan-kepentingan politis maupun nilai yang berdasar pada justifikasi semata.

Mereka yang menginpirasi dari desa Ledokombo itu tidak pernah sekalipun mengekslusi orang-orang yang dianggap berbeda, mereka justru memberikan bantuan kepada siapapun yang membutuhkan sekalipun orang yang bersangkutan adalah orang yang berbeda pandangan ataupun memiliki konflik personal.

Saya menyebutnya sebagai gerakan yang berbasis pada cinta kasih terhadap manusia tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain. Musuh bersama mereka adalah penderitaan itu sendiri, yakni kebodohan, kemiskinan, kebencian, dan sebagainya.

Dalam beberapa kesempatan bertemu, saya juga kadang merasa sangat malu dengan semangat, kerja keras, optimisme dan tindakan mereka yang jauh dari keluhan. Mereka berusia tidak muda, tetapi jauh dari mental nyinyir.

Berbeda dengan kondisi masyarat kota dalam konteks saat ini. Kota yang menawarkan segala bentuk kemodernan justru kerap kali menawarkan perang hanya melalui akun media sosial dan jempol mereka. Masyarakat urban yang hidup dalam media sosial terkadang tak bisa diandalkan, boro-boro untuk dapat berbagi inspirasi ataupun memberikan manfaat.

Sikap Individualisme dan pandangan politis yang cenderung menutup akal pikiran seseorang justri hanya meninggalkan jejak nyinyir dan teman-temannya. Dan kondisi ini terus direproduksi dalam sosial media yang menyebar kepada siapa saja. Semoga tidak sampai kepada masyarakat di desa. Hiks.

Bila masyarakat desa Ledokombo membangun peradaban manusia menjadi semakin optimis dengan menggunakan senjata cinta, lalu semoga kita semua menjadi terinspirasi karenanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun