Awalnya saya sempat merasa bahwa iuran akan menjadi beban lain dalam masyarakat, apalagi nota bene sebagian besar masyarakat secara finansial tergolong dalam ekonomi menengah ke bawah.
Namun menariknya, iuran yang dikumpulkan ternyata bukan iuran dalam bentuk uang saja. Melainkan juga "mengumpulkan" sumber daya, tenaga, ide, sembako yang dikemas dan dilakukan secara gotong royong. Komunikasi secara lisan menjadi sangat efektif untuk menyebarkan informasi tentang suatu kegiatan yang akan dilakukan.
Hal ini tidak hanya oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan, bahkan ketidakhadiran seseorang dalam kegiatan tidak berarti bantuan yang hendak disampaikan menjadi terhambat. Ibu-ibu kadang secara sukarela memetik hasil kebun untuk bersama-sama memasaknya di dapur umum.
Dalam masyarakat pedesaan, nilai uang dan jasa masih memilih harga yang setimpal khususnya di Ledokombo dimana hierarkis melebus ke dalam suatu solidaritas masyarakat. Â Â
Saya jadi mesem-mesem sendiri bila mengingat betapa setiap hari saya akan membawa oleh-oleh yang diberikan masyarakat dari hasil kebun sendiri. Tentunya, saya tidak akan diperbolehkan pulang sebelum perut saya kenyang. Ajaib! Â
Dalam konteks yang lebih luas, kebaikan yang dilakukan seseorang kemudian dapat  menginspirasi masyarakat lainnya untuk melakukan kebaikan bagi lainnya, terutama bagi anak-anak desa yang belum banyak terpengaruh badai internet. Â
Cinta sebagai alat perlawanan
Saya senang sekali tiap kali berkunjung ke masyarakat lalu mendapatkan kesempatan untuk mengobrol banyak kepada mereka yang menginspirasi. Saya selalu mengulang-ulang dua pertanyaan kepada mereka yang telah berbuat banyak hal.
Kira-kira pertanyaannya seperti ini :
- Pernah merasa capek ndak berjuang sendiri diantara masyaraarakat desa yang dipandang masih tradisional?
- Pernah merasa makin miskin tidak ketika membantu semakin banyak orang-orang yang membutuhkan?