Mohon tunggu...
Nino Zulfikar
Nino Zulfikar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Berpikir itu seksi. Seni, puncaknya. Kawan2 bisa langsung ke sarang saya: http://ninozulfikar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Fenomena Koala Kumal

30 Juli 2015   02:50 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:57 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koala Kumal. Yang punya akun Twitter pasti paham apa itu. Yang belum, saya kasih tahu. Itu judul bukunya Kanjeng Prabu Twitter Yang Dipertuan Agung Raditya Dika, SE, Wirahadi Kusuma. Ya, itu buku teranyar BELIAU -kalau tidak salah, saya sendiri belum baca-. Saking banyaknya follower Radit, meskipun tidak difollow, ada-ada saja, tau-tau bertengger di TL twit dia yang di-RT. Sob, 11.3 M followers itu bukan angka sembarangan, kalau tiap akunnya dihargai Rp 1,- saja, sudah bisa buat modal nikah. Luar biasa!

Tapi tulisan ini bukan mau membahas Radit, melainkan Fenomena Koala Kumalnya. Konon kabarnya, Koala Kumal terinspirasi dari legenda seekor koala yang pergi meninggalkan hutan tempat kelahirannya, kemudian binggung saat ia pulang karena hutan tersebut telah rata dengan tanah. Sambil bingung, koala itu yakin disanalah rumahnya, tidak mungkin salah.

Masa yang Terhenti di Kepala

Lain paha,

lain dada.

Lain masa,

Lain rasa.

 

Entah apa nama ilmiah dari fenomena ini -tidak perlu cari di google-, dan untuk memudahkan, anggap saja kita sepakat menyebut sebagai fenomena koala kumal.

Sebagai orang daerah, Jakarta adalah pencapaian tertinggi dari perjalan kehidupan seseorang. Maka berangkatlah saya ke sana satu tahun selepas SMA,  membawa tingginya harga diri anak muda dan nama baik keluarga. Untuk alasan ekonomis, saya berusaha sekuat-kuatnya hati yang menahan rindu untuk tidak pulang selama beberapa tahun pertama.

Singkat cerita, barulah 3 tahun kemudian kesempatan pulang yang singkat itu datang. Senang bukan kepalang. Girang, segirang-girangnya. Persiapan pulang telah rampung bahkan 3 hari sebelum jadwal keberangkatan. Di kepala terputar film-film tentang masa SMA dulu bersama kawan-kawan, tentang cita rasa masakan ibu yang tiada banding, tentang bau angin dan kesejukan kota kelahiranku itu. Film-film itu yang selalu kuputar ketika menghadapi masa sulit di Jakarta: kadang makan sehari sekali, kadang tidak makan. Seperti ada energi merasuk ketika menonoton film-film itu dengan mata terpejam. Semua gambar-gambar itu terpajang di dinding-dinding otakku. Saat-saat terindah dalam hidupku, sengaja kubekukan dan kupajang di situ.

Tapi alangkah anehnya, ketika tiba dirumah dan mencicipi masakan ibu, seperti ada yang lain. Tidak sama dengan rasa dalam ingatanku. Tidak sama seperti makan saat pulang sekolah dulu. Padahal menunya sudah sengaja kupesan favoritku. Makin aneh lagi, saat berkeliling kota dengan sepeda motor, wangi udaranya sama, tapi kesejukannya tidak seistimewa dalam ingatan, beda, dan terasa sedikit aneh. Diam-diam, perasaanku malah seperti sedang berkunjung ke tempat baru tapi sudah sering browsing tentang tempat itu. Jadi asing. Sangat asing. Agak miris karena ini adalah tempat yang telah kurindukan selama 3 tahun. Rasanya seperti LDR 3 tahun, begitu ketemuan, pacarnya malah sudah operasi plastik, transgender lagi.

Yang paling parah ketika kumpul bareng teman-teman SMA. Selera humornya sudah tidak sama lagi, topik yang dulu seru jadi malah garing, ingin bicara prestasi takut pamer, ingin sharing pengalaman nanti dibilang curhat. Serba membingungkan. Serba meraba-raba kembali. Seperti band yang harus menyamakan nada dan tempo lagi. Aneh memang, tapi itu kejadiannya. Dan mereka yang tidak berubah adalah mereka yang benar-benar mencintai kita dengan tulus: orang tua, sahabat, pasangan LDR yang tidak selingkuh. Mereka tidak berubah sedikitpun.  

Waktu Merubah Segalanya

Mungkin sobat sekalian pernah juga merasakan keterasingan ini. Mungkin sebenarnya tidak ada yang berubah. Mungkin juga sebenarnya kita yang berubah. Atau bisa jadi kita salah ingat. Tapi terlepas dari semua itu, mungkin ruang dan waktu yang kita tempati memiliki dimensi dan kecepatannya masing-masing, dan memengaruhi pola pikir dan –tentu saja– tingkah laku manusia di dalamnya. Belum ada teorinya mungkin, setidaknya hasil pengamatan saya merujuk ke situ. Misalnya, orang-orang yang bermukim di Jakarta akan cenderung bergerak lebih cepat dan cekatan, lebih tepat waktu, lebih waspada, dan lebih hedon. Selera akan bakso, nasi goreng, dan soto ayam dari seorang mahasiswa Indonesia di luar negeri akan bertambah: kenikmatan lebih dengan resep yang sama saja. Satu jam perjalan di daerah itu jauh dan lama, tapi di Jakarta, itu terbilang singkat dan bahkan belum bisa menembus Kuningan –Jl. HR. Rasuna Said.

Ini masih hipotesa, jadinya serba kemungkinan, tapi dari hasil pengamatan dan shalat malam yang panjang. Mungkin, pada awal di Jakarta lidah saya masih memindai struktur rasa enak berdasarkan format rasa masakan ibu. Lambat laun format ini terinfiltrasi, karena lama tidak diakses oleh otak sehingga melebur dengan format baru. Secara matematis, standar baru ini akan lebih tinggi nilainya dari standar sebelumnya karena mengandung dua unsur. Jika dirumuskan:

Etot = E0 + ((E0 + E1):2) t

Ket : Etot    = Enak Total

          E0     = Enak mula-mula

          E1     = Enak setelah merantau

          t        = waktu

Standar tersebutlah yang kemudian menjadi dasar bagi ingatan saya –yang menanggap bahwa masakan ibu saya lebih enak–untuk menetapkan tingkat kelezatan masakah ibu dengan nilai baru yang lebih tinggi pula. Jika dirumuskan:

E’ = (Etot + E1) t

Ket : E’        = Enak semu

          Etot    = Enak total

          E1      = Enak setelah merantau

          t         = waktu

Dengan persaman diatas, dapat pula dijelaskan bagaimana selera humor, dan semua hal yang berubah dari kampung halaman dan pasangan bisa berbeda dengan ingatan kita. Waktu bisa merubah segalanya.

Rumah Tetaplah Rumah

Ayah saya sering berpesan: kitalah yang harus menyesuaikan dengan lingkungan, karena tidak pernah akan mungkin sebaliknya. Fenomena koala kumal, seperti juga fenomena alam lainnya, adalah ketentuan Sang Pencipta dengan sebuah sistem yang diciptakan bahkan sebelum jagad raya ini tercipta. Kesimpulannya, semua bisa terjadi karena pergerakan semesta dan seluruh isinya, termasuk waktu. Yang ini teorinya Einstein. Akibat yang timbul dari pergerakan ini adalah jarak. Bersamaan dengan itu, manusia sadar semakin dekat titik akhir perjalananya, secara sadar ataupun tidak. Kemudian waktu menjadi sangat berharga, dan kenangan telah menjadi emas di kalbunya.

Seperti kita hanya bisa mengembangkan layar ketimbang mengarahkan angin, kita sebenarnya bisa belajar banyak dari fenomena koala kumal ini. Bahwa kita tak pernah sampai pada titik pemahaman maksimal tentang sesuatu, bahkan tentang rumah kita sendiri. Bahwa manusia perlu terus belajar sambil berendah hati sekuat tenaga. Bahwa tidak masalah bagaimanapun rasanya, rumah tetaplah rumah yang selalu kita dambakan untuk pulang.

 

Ambil benarnya,

Maafkan salahnya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun