Karenanya, dengan adanya guidance dan arahan dari PBNU tentang kenyataan bahwa Rasullullah SAW tidak pernah menggagas Negara Islam apalagi Kekhalifahan Islam – yang benar adalah negara civil society alias negara Madani, maka warga DKI dengan bebas tanpa takut neraka atau bermimpi masuk surga terkait Pilkada DKI. Pilkada DKI Jakarta tidak terkait dengan dosa, pahala, surga, atau neraka karena ini hanya urusan politik dan bukan urusan agama.
Kedua, dilemma antara memilih Anies yang berafiliasi dengan FPI atau memilih Ahok-Djarot bagi warga DKI Jakarta. Bayangan kekuasaan FPI di Jakarta telah membuat keresahan bagi sebagian besar warga Muslim dan etnis Betawi. Makanya, secara sadar setelah sebelumnya FBR (Forum Betawi Rempug) mendukung Anies di putaran 1, maka kini FBR mendukung Ahok-Djarot.
FBR tidak akan membiarkan ormas FPI menjadi besar dan menenggelamkan keberadaan ormas etnis Betawi – yang mewakili 15% warga DKI Jakarta – namun sangat menentukan dalam pilkada DKI 2017 ini. Maka FBR pun turun gunung dan berkampanye untuk Ahok-Djarot – demi menghindari dan menolak dominasi FPI di Jakarta yang berpotensi menenggelamkan FBR.
Selain itu, dilemma dan ketakutan warga DKI terhadap FPI di satu sisi, namun melihat sosok Ahok sebagai non-Muslim pun akhirnya dijembatani dengan pemikiran warga DKI Jakarta dengan memilih Djarot sebagai representasi umara dalam Pilkada DKI Jakarta – bukan sedang memilih pemimpin agama.
Terlebih lagi gambaran sentimen keagamaan di Jakarta dengan Djarot diusir oleh jamaah usai solat Jum’at di Tebet menunjukkan sentimen anti keagamaan yang membahayakan kehidupan umat Islam di Jakarta. Hal ini harus dihentikan dan salah satunya upaya itu adalah tidak memilih Anies yang bersekongkol dengan FPI untuk menciptakan Jakarta Bersyariah yang hanya akan membuat ribet kehidupan di Jakarta.
Pun warga DKI Jakarta yang cerdas memahami agenda FPI yang menunggangi Anies – karena Anies sangat lemah manajemen dan karakternya, sehingga mudah disetir oleh FPI. Warga DKI Jakarta tidak bisa membayangkan Jakarta di bawah pengaruh FPI. Sementara kini di bawah Ahok-Djarot kehidupan di DKI normal dan bergerak maju.
Ketiga, dilemma antara program ilusi Anies dan FPI dengan program nyata Ahok dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dilema ini sungguh berat ditanggung oleh warga DKI akibat kampanye masif penuh tipu daya yang membius dan cerdas – seolah janji kampanye adalah kenyataan dan harapan di depan mata: padahal hanya ilusi semata.
Timses Anies – yang berisi orang-orang eks Timses Prabowo 2014 – sangat memahami cara kampanye dan topic kampanye, termasuk ilusi dan delusi sebagai jualan. Sah memang. Namun kelemahan mereka adalah mereka tidak siap dengan strategi counter-campaign dan bahkan counter against black and negative campaigns. Mereka culun di bidang ini.
Dalam psikologi ilusi lebih gampang dibuat dibandingkan dengan kenyataan atau fakta. Membangun ilusi apalagi delusi lebih mudah dibandingkan dengan mengerjakan dan membuat ilusi menjadi fakta nyata.
Maka terkait Rumah DP 0% dan juga terkait KJP Plus menjadi bahan tertawaan warga DKI Jakarta. Logika tentang KJP ya sudah ada dan secara nyata telah dipraktikkan oleh Ahok-Djarot – bahkan sejak zaman Gubernur Jokowi.
Tentang DP 0% untuk rumah secara orang tolol bin bahlul siapa pun tahu bahwa DP 0% akan membuat cicilan membesar dan akan membebani. Pun untuk membangun rumah di atas tanah Anies tidak bisa menunjukkan tempatnya. DP 0% dibantu atau dicicil tetap saja bagi yang berpenghasilan UMP dan di bawah Rp 7 juta akan sangat berat mencicilnya.