Keempat, stretegi kampanye memanfaatkan isu SARA. Dasar strategi itu bukan untuk NKRI namun untuk segregasi NKRI dengan pentolannya HTI, FUI dan FPI untuk menyebut yang di permukaan. Isu-isu yang berusaha membelah DKI dengan kata-kata kafir kafir dan kafir atau China menjadi barang jualan yang efektif awalnya menggerus suara Ahok.
Namun, ketika Pilgub I hasilnya Ahok masih menang dengan 42%, maka keterkejutan muncul. Rakyat DKI tidak begitu terpengaruh oleh sikap dan janji yang intinya mengedepankan SARA sebagai jualan. Bahkan masjid pun dipasangi spanduk dan slogan-slogan yang memecah belah umat. Dari upaya mengeluarkan fatwa haram sampai mayat tidak disholati yang jelas melanggar hukum Islam fardhu kifayah untuk menyolatkan muslim dan muslimat yang meninggal.
(Strategi ini dilawan dengan menggandeng GP Anshor dan NU untuk meluruskan sikap anti kemajemukan dan pampanye SARA. GP Anshor membuat satgas untuk menangani dan men-sholatkan jenazah pendukung Ahok yang meninggal.)
Kelima, para pengembang reklamasi diam-diam dan pemodal besar mendukung Anies. Kepentingan politik lainnya melibatkan para pengusaha yang berbalik arah mendukung Anies setelah pentolan koruptor di DPRD DKI dibui – Muhammad Sanusi. Pasalnya pengenaan bayar retribusi bagian Pemda DKI untuk reklamasi pulau yang harus disetor oleh pengusaha sampai 15% membuat pengembang kehilangan potensi keuntungan sampai Rp 122 triliun. Makanya menyuap Muhammad Sanusi dengan modal puluhan miliar masih tidak sebanding dengan kalau menuruti aturan permintaan Ahok retribusi sebesar triliunan rupiah.
(Strategi dukungan pemodal besar untuk kampanye ini dilawan dengan (1) iuran simpatisan Ahok dan pengusaha biasa untuk menyumbang untuk dana kampanye dan (2) jualan merchandise dan (3) penggambaran jelas sikap Anies dan Sandi yang pro pengusaha. Buktinya adalah dukungan si mantan terpidana koruptor Muhammad Taufik dan adiknya si Muhammad Sanusi.)
Keenam, strategi Anies memanfaatkan masjid dan  umat Islam untuk jualan politiknya. Masjid yang sejatinya tempat suci jauh dari hiruk pikuk politik justru dijadikan alat politik. Politik Anies adalah politik hanya berpihak kepada umat Islam garis keras atau pendukungnya seperti FPI. Masyarakat pengguna masjid pun terpecah karena berbagai cara kampanye pemanfaatan masjid adalah penodaan terhadap fungsi masjid.
Anehnya manusia seperti JK sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia tidak berbuat apa-apa karena Aksa Mahmud mendukung pengusaha Anies-Sandi. Sikap JK ini diwaspadai oleh Presiden Jokowi karena kelakuan JK pada saat menjabat wapres-nya SBY mengerjai SBY dengan menjadi matahari kembarnya – hal yang sebenarnya kesalahan SBY juga karena dia lemah.
(Perlawanan yang dilakukan adalah para pentolan parpol dan kader parpol seperti PKB, PPP, Golkar, NasDem, PDIP, Hanura, berjibaku meluruskan bahwa masjid bukanlah tempat yang bisa digunakan untuk memecah belah umat Islam. Pun GP Anshor dan PBNU memberikan pencerahan untuk menghentikan masjid sebagai awal dan tempat tujuan politik.
JK pun menjadi ambigu dalam Pilkada DKI ini. Langkah JK ini menjadi catatan penting bagi Presiden Jokowi – dan diperkirakan JK akan menyeberang menjadi cawapres bagi Prabowo. Testing the water-nya adalah Pilkada DKI. Jika Ahok kalah. maka model kampanye menggunakan masjid akan digelorakan di seluruh Indonesia karena JK adalah Ketua DMI.
Maka bagi JK, kemenangan Ahok adalah akhir perjalanan politiknya dan persiapan JK untuk berpindah haluan membawa gerbong DMI untuk bendera dan kendaraan politiknya di 2019. Pemahaman dan sinyalemen seperti ini menyeruak karena secara blatant istri JK mendukung Anies, demikian pula Aksa Mahmud.)
Ketujuh, mengidentifikasi Anies-Sandi sebagai antithesis santun dari Ahok-Djarot. (Strategi penggambaran santun Anies ini dilawan dengan meyakinkan Anies-Sandi untuk menjadi manusia nyinyir dan tukang pemberi komentar negatif. Penjerumusan ini berhasil dan Anies-Sandi terkenal menjadi pribadi yang keluar aslinya: nyinyir dan hiprokit.