Dari awal dukungan ke Agus sangat kecil. Namun jaringan kekuatan rezim SBY kembali muncul dengan kekuatan uang bejibun. Mobilisasi massa menjadi andalan – dengan pergerakan terorganisir. Denny JA pun kini dengan tanpa malu membuat survei sesuai dengan keinginannya. Media kampanye luar ruang digeber. Hasilnya cukup memuaskan.
Titik kekuatan Agus yang ada di SBY pun menjadi pisau bermata dua yakni menjadi sekaligus kekurangan dan kelemahan Agus. Agus mengandalkan SBY – sama dengan Andika di Pilgub Banten mengandalkan nama koruptor Ratu Atut karena Andika anak Atut. Agus pun namanya tersangkut dari mertuanya si Aulia Pohan sebagai koruptor. Kaitan nyata yang membuat imajinasi publik beragam soal bibit, bebet, bobot.
(Makanya rezim SBY dengan serta-merta memenjarakan Ketua KPK saat itu Antasari Azhar begitu Aulia Pohan dipenjarakan. Hal yang kini ditakuti nama baik Aulia Pohan menjadi tinta hitam bagi perbesanan SBY dengan Aulia Pohan, karena SBY malu sekali berbesan dengan Aulia Pohan sebagai koruptor.)
Dengan kondisi ini pada akhirnya kesadaran publik terhadap Agus menjadi terbuka. Tak heran maka kekuatan Agus tetap tidak bisa beranjak dari posisi buncit. Kalah gagal total karena Agus diidentikkan dengan SBY dan kaki tangan SBY alias ambisi SBY. Keterkaitan ini merusak ingatan massa akan SBY yang selama 10 tahun menghasilkan puluhan proyek mangkrak termasuk yang fenomenal Hambalang.
Kekuatan Ahok.  Ahok memiliki pendukunga dan partai-partai nasionalis yang militant PDIP, Golkar dan lain-lain. Pun kekuatan Ahok kembali muncul akibat kesadaran masyarakat melihat Ahok yang semuanya dianggap salah oleh lawan politik. Kampanye menyerang Ahok oleh dua kubu menjadi senjata makan tuan bagi Agus dan Anies – karena masyarakat melihat Ahok menjadi tampak sebagai korban pedzoliman. Apalagi setelah nota keberatan dibacakan dan juga dinamika kesadaran politik terbangun dengan upaya penenangan dan pembungkaman para pentolan makar dan gerakan FPI. Ahok menjadi korban dari upaya penjungkalan politik dengan medium agama, sektarianisme, dan sukuisme yang berbahaya.
Untungnya masyarakat DKI Jakarta tidak mudah untuk tergerak reaktif. Generasi millenea yang melek informasi menjadi penentu kemenangan. Politisasi agama dan  agama dijadikan alat politik dipandang oleh generasi millenea sebagai tindakan kuno dan tidak layak untuk diikuti.
Kondisi seperti ini jelas menguntungkan bagi cagub yang didukung oleh para partai nasionalis seperti PDIP, Golkar, dan lain-lain. (Gerindra yang nota bene partai nasionalis terjebak permainan partai agama PKS. Demikian pula PAN dan Demokrat yang memolitisasi sentimen agama dengan sikap menyerang Ahok lewat SBY menjadi jebakan yang tidak disukai oleh generasi millinea.)
Kampanye yang mengarah pada sektarianisme berdasarkan agama pun membuat peta kekuatan terpolarisasi. Kampanye ala Agus di jalanan yang menyerukan persatuan Islam untuk memilih Agus justru menjadi alat polarisasi yang menguntungkan Ahok. Seolah masyarakat dipecah oleh Pilkada berdasarkan pilihan agama.
Peta bersatunya kalangan non-muslim di DKI menjadi kekutan nyata yang secara diam-diam mendukung Ahok. Pun Ahok didukung oleh kalangan masyarakat Jawa yang mendukung fanatik Djarot yang jumlahnya besar. Pun mesin politik PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem dan para partai lain menjadi kekuatan yang tak bisa diremehkan.
Kekuatan Anies. Anies Baswedan memiliki kekuatan jaringan pendukung Prabowo eks Pilpres 2014. Publik yang gagal move on dan anti-Jokowi menempatkan Ahok sebagai musuh politik. Maka Anies yang dipecat karena tidak becus mengelola pemerintahan pas untuk dijadikan barisan sakit hati. Kekuatan itu ditambah oleh kader partai agama PKS yang taklid buta yang tentu sebagian besar mendukung Anies – terlepas dari isu yang tak berdasar yang menyebut Anies sebagai penganut Syi’ah yang sudah dibantah Anies.
Selain kekuatan tersebut, Anies mendapatkan dukungan penuh FPI. FPI akan menjadi benteng dan garda depan Anies dalam memenangkan Pilkada DKI – dengan euphoria yang dianggap sebagai kekuatan nyata pilihan politik. Padahal kini euphoria itu telah menghilang dengan bukti tidak ada lagi demo-demo yang besar setelah Rizieq, Firza, Munarman menjadi tersangka kasus hukum yang berbeda-beda. Warga DKI Jakarta melek melihatnya.