Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengaruh Kasus Ahok, Sylvi, Rizieq FPI, dan Kalkulasi SBY bagi Warga DKI

30 Januari 2017   10:04 Diperbarui: 30 Januari 2017   10:33 8630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umbul-umbul Pilkada DKI I Sumber Kompas.com

Kasus peradilan Ahok semakin mencerahkan bangsa Indonesia dan warga Jakarta. Demo dukungan terhadap FPI menyurut melaun melambat seiring dengan persidangan kasus Ahok. Sementara Rizieq FPI pun hari ini akan menemukan nasib untuk menjadi tersangka di Polda Jabar. Pengompor kasus Ahok yang berteriak tak karuan di Youtube SBY pun gagal memetik buah manis komporannya. Faktor FPI hanya menjadi pemecah suara Anies dan Agus, dan justru membuat Ahok tetap unggul. Kalkulasi oportunitas politik kasus Ahok, FPI, dan Sylvi menjadi boomerang kegagalan misi politik SBY.

Mari kita telaah strategi politik gagal SBY terkait kasus Ahok, pemilihan Sylvi, pemanfaatan FPI, dan silent political power on the hand of the Operators yang menguntungkan Ahok-Djarot dan NKRI mulai menggeliat dengan hati gembira riang ria senang sentosa bahagia menari menyani tertawa ngakak selamanya senantiasa.

SBY adalah kalkulator yang mumpuni soal strategi politik. Hakikat politik yang kejam dan hanya mencari keuntungan diri dan kelompoknya benar-benar dipraktekkan oleh SBY. Bahkan koruptor gantung di Monas Anas Urbaningrum pun menyindir SBY sebagai negarawan-politikus – istilah yang menohok untuk menyebut sikap SBY terkait kekuasaan. Anas mengalami sendiri beserta hampir seluruh pentolan Demokrat seperti Ramadhan Pohan, Muhammad Nazarudin, Murdaya, Bathoegana, Angie, Andi, dsb. menjadi penghuni trali besi hotel prodeo.

Begitu keseleo lidah Ahok mencuat di Youtube dengan manusia kepo Buni Yani menyeruak, maka SBY serta-merta menghitung keuntungan politik untuk Agus, bukan untuk bangsa. Ahok harus dihukum, Ahok harus diadili, Ahok harus … Negara ini negara hukum, blab la blab la. (Hal yang sama tidak dilakukan untuk kasus Rizieq FPI yang menjadi terlapor berbagai kasus.) Pasalnya, SBY hanya menghitung politik sebagai kegunaan dan alat untuk kepentingan diri sendiri.

Gambaran kalkulasi politik di benak SBY jelas. SBY membayangkan Ahok dipenjara dan Agus melenggang dengan mudah menang melawan Anies Baswedan. SBY pun berharap FPI akan sangat berterima kasih kepada SBY karena teriakan-teriakan tentang Ahok di Youtube.

SBY lupa bahwa secara kultural dan etnisitas Rizieq FPI lebih dekat kepada Anies Baswedan dan partai agama PKS dibandingkan dengan partai nasionalis Demokrat. SBY pun gagal paham kalau FPI akan mendukung Anies dari Gerindra karena Fadli Zon dan Fahri Hamzah sangat dekat dengan Rizieq FPI.

SBY pun tidak paham bahwa partai agama PKS pasang kuda-kuda untuk kasus Ahok dan dengan gempita semua kader partai agama PKS turun ke jalanan mendukung sikap FPI pada aksi 212. Hanya segelintir masyarakat yang mendukung gerakan gelora euphoria SBY dan FPI itu.

Surutnya dukungan ini dibuktikan dengan rangkaian selanjutnya demo-demo lanjutan kasus Ahok sepi dari dukungan. Bahkan partai agama PKS yang sebelumnya menjadi pihak yang akan memetik buah berpikir ulang dan mulai kendor dan hanya menyisakan massa FPI dalam demo-demo Ahok. Melempem.

(Begitu pun kalangan Muhammadiyah pun semakin menyadari sikap politik ala Amien Rais yang ditampilkan oleh Din Syamsuddin akan merugikan bagi warga Muhammadiyah secara luas yang sebelumnya menjadi tulang punggung kebhinekaan dan pluralisme. Din Syamsuddin dulu sangat concerned dan cool dan smart terkait masalah kebangsaan berubah menjadi aneh dengan aneka pernyataan mirip sekondannya Amien Rais.)

Kondisi politik zig-zag ini pun ditambah dengan blunder memilih Sylvi sebagai tandem Agus. Harapan perhitungan culun SBY adalah dengan menggaet Sylvi, diharapkan akan memeroleh dukungan warga PNS DKI Jakarta. Padahal senyatanya di mata PNS, Sylvi adalah sosok kontroversial yang tidak menarik bagi kalangan PNS dan warga Betawi. Belakangan kasus Masjid dan Pramuka akan menyeret Sylvi ke kursi terdakwa yang jelas menghantam rencana SBY dengan kasus Ahok. Kini SBY memetik buah strateggi politiknya sendiri dengan Agus kehilangan dukungan.

Perhitungan politik lainnya SBY adalah sikap megalomania-nya. Didorongnya Agus ke Pilkada DKI juga bagian rasa ge-er gede rasa SBY bahwa dirinya masih popular. Ingat kasus SBY melakukan safari mencari muka ke daerah-daerah yang dihantam oleh Presiden Jokowi hanya dengan foto selfie Hambalang. Dan sejak saat itu tidak ada lagi tandingan kunjungan SBY ke daerah atas nama mencari aspirasi rakyat – yang tujuan SBY untuk membandingkan dirinya dengan SBY.

SBY yang mengalami post-power syndrome pun lupa dirinya bukan siapa-siapa lagi. Namun nafsu berkuasanya tak tertahankan – sampai posisi Ketum Demokrat dan Sekjen pun anaknya – maka Agus pun dikorbankan dan akan menjadi pengangguran bekas tentara. Yang mengherankan Agus kok juga mau. Ha ha ha.

Perhitungan SBY yang membanggakan Agus dan tidak mendukung Ibas ternyata salah besar. Agus tidak menunjukkan kemampuan manajerial dan bahkan dalam debat pun belepotan dan tidak nyambung – yang menjadi bahan tertawan netizen. Belum lagi Sylvi yang menjadi tandemnya gagal menunjukkan performa sebagai calon mumpuni. Sikapnya malah demam panggung.

Di luar itu, SBY sama sekali tidak menghitung – jika pun menghitung akan dilawan dengan kontra-intelejen – tentang gerakan pembersihan dan upaya membangun bangsa yang didukung oleh banyak partai. Program kerja Presiden Jokowi pun mendapat dukungan – bahkan Prabowo pun berada di posisi mengambang jika terkait program kerja Presiden Jokowi dengan kecenderungan mendukung.

Prabowo pun all-out untuk menyingkirkan dinasti SBY dari tampuk kekuasaan karena pengalaman pribadi SBY dan Prabowo dengan SBY pernah digebuki oleh Prabowo sebagai mana cari sendiri di Youtube terkait keterangan Hermawan Sulistyo. Persaingan pribadi inilah yang gagal diingat oleh SBY. Bahwa Prabowo dan SBY tak akan pernah saling mendukung. Sikap Prabowo ini memecah dukungan FPI dan juga para kader partai agama PKS baik bagi SBY alias Agus atau Agus alias SBY maupun dukungan untuk Anies alias Prabowo. Dan … lagi-lagi menguntungkan Ahok-Djarot dari partai nasionalis PDIP, Golkar, NasDem, Hanura, PPP, dkk.

Dengan munculnya Agus, kasus Ahok, dan gelora Rizieq FPI maka publik pun dengan cerdas menerima gambaran kejelasan persaingan elite politik. Bahwa FPI secara salah diharapkan dan diperebutkan dukungannya oleh Anies dan Agus alias SBY. SBY membayangkan pembelotan warga partai agama PKS untuk mendukung Agus karena teriakan SBY, dan sebagian mendukung Anies. Ternyata FPI mendukung Anies Baswedan.

Gambaran politik pun menjadi jelas. Kasus Ahok adalah kasus antara untuk menggoyang Presiden Jokowi. Maka pada awalnya ketika euphoria kemenangan Rizieq FPI di puncak, Rizieq langsung menohok Presiden Jokowi dan bahkan meneriakkan revolusi ala FPI segala. Kini ucapan itu tak  muncul lagi. Bahkan yang tak disangka adalah gerakan the Operators yang secara sabar dan strategis memetakan 411 dan 212 dan lanjutannya.

Akhirnya, endusan operasi intelejen dan TNI-Polri menangkap para tersangka makar dan penghinaan seperti Rachmawati, Bintang Pamungkas, Kivlan Zein, Ahmad Dhani, dan nenek Sarumpaet yang dibuat cep klakep tak berbunyi lagi.

(Awalnya publik meragukan tuduhan makar namun konsistensi polisi sebagai bagian strategi politik dan hukum mengerem gerakan makar untuk melemah dan dipatahkan dan Polri akan membuktikannya di pengadilan dan tak surut langkah. Buktinya para tersangka sudah tidak berteriak nyaring lagi, termasuk Prabowo pun menghormati proses hukum.)

Publik pun menangkap bahwa dalam Pilkada DKI tiga elite politik sedang saling memertaruhkan kekuatannya. Presiden Jokowi pun tak tinggal diam meredam aksi anti pluralisme dan sejak dini menyebut aksi 411 sudah ditunggangi oleh kepentingan politik. Demokrat kebakaran jenggot atas tuduhan Presiden Jokowi yang oleh Presiden Jokowi tidak ditanggapi sama sekali. Pasca aksi 411 konsolidasi politik keamanan dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan memanggil para ketua parpol dan hanya SBY yang tidak diundang.

Maka dengan cermat Presiden Jokowi menghitung kalkulasi politik ketika unsur gerakan makar diendus dan gelombang pemboncengan fatwa MUI diidentifikasi, dengan sabar the Operators menentukan TO agar pergerakan yang membahayakan bangsa dan negara dihentikan embryo-nya. Kalkulasi pertama adalah mengidentifikasi masalah terkait dukung-mendukung.

Maka kasus Ahok akan menjadi bola liar yang menguntungkan gerakan radikal jika Presiden Jokowi gagal menangani. Maka Presiden Jokowi pun memetakan kekuatan politik dan sosial untuk membetengi NKRI. Secara nyata, kekuatan politik Prabowo saja yang mampu menandingi Presiden Jokowi. Maka Presiden Jokowi meminta komitmen Prabowo yang tetap mendukung upaya Presiden Jokowi menyelamatkan bangsa yang terpecah.

Ahok akan diadilisi secara transparan dan dengan durasi yang panjang sebagai strategi untuk melemahkan lawan politik. Dengan pengadilan yang transparan, justru publik akan melihat siapa di balik upaya tekanan terhadap Ahok ini. Kasus Ahok pun menjadi benderang sebagai kasus yang diliputi oleh tekanan politik dan massa yang diorkrestasi dan dibumbui dengan sentimen SARA yang membahayakan kehidupan bangsa Indonesia.

SBY dan FPI pun lupa bahwa di pemerintahan Presiden Jokowi ada dukungan Golkar. Golkar pun memiliki orang kuat semacam Setya Novanto – yang mendukung the Operators – dalam mengambil langkah strategis. Maka Rizieq FPI pun kini mengalami pemolisian dan pelaporan bertubi – bahkan kasus yang sudah selesai pun dihidupkan kembali seperti kasus “Sampurasun” yang menghina kebudayaan Sunda.

Kini kasus Ahok akan diputuskan berdasarkan kondisi nyata pembuktian persidangan dan kalkulasi politik setelah penyeimbangan dan persiapan dengan mengamankan situasi politik. Pun kasus pelaporan terhadap Rizieq FPI menjadi salah satu indikator keputusan terhadap Ahok. Ahok pun berjiwa besar dan nothing to lose karena apapun hukuman bagi Ahok, Ahok tetap menjadi pahlawan demokrasi dan pluralisme Indonesia.

Di tengah gencetan itu, Presiden Jokowi pun melakukan safari komunikasi politik dan menggandeng dukungan dari berbagai elemen ormas pencinta NKRI. KH Said Aqil Siradj pun memimpin gerakan untuk membentengi ormas radikal dengan mengerem keterlibatan kaum nahdliyin NU dari demo-demo yang dipimpin oleh FPI. Terbukti efektif Banser di seluruh Indonesia bersiaga mengerem setiap upaya untuk merusak dan mengganggu kebhinekaan dan pluralisme Indonesia.

Nah, bagi SBY ternyata berbagai kalkulasi politiknya salah – dan Agus dipastikan akan keok. Faktor (1) realitas internal FPI, (2) kedekatan etnisitas Arab dan keturunan Anies dan Rizieq, (2) latar belakang Sylivi, (3) sikap megalomania dan post-power syndrome SBY sendiri, (4) kualitas manajerial dan intelektual Agus yang ngambang dengan dibuktikan di dua sesi debat Pilkada DKI, (5) gerakan the Operators yang secara strategis memetakan kondisi politik dan mampu menangkap all the perpetrators of political turmoil that endanger NKRI.

Terkait kasus Ahok, (faktor kekuatan Golkar dengan Setya Novanto-nya dalam persidangan Ahok sebagai bagian dukungan ke NKRI tidak bisa dianggap remeh. Yusril pun dalam kasus Ahok lebih banyak mengamati sekarang mengingat berbagai kepentingan besar tengah berlangsung dan bersaing.)

Nah,kasus Ahok, gerakan FPI dengan Rizieq FPI-nya, kalkulasi politik salah kaprah SBY, dan peta persaingan elite antara SBY, Presiden Jokowi yang tengah berkuasa, dan Prabowo menjadi gambaran nyata dengan akibat nyata untuk Pilkada DKI Jakarta. Inilah tiga gambaran pilihan warga DKI Jakarta setelah blunder kalkulasi politik SBY terjadi.

Pertama, Agus adalah ambisi nyata megalomania SBY. Sylvi adalah birokrat yang tidak memiliki basis dukungan di kalangan PNS DKI Jakarta sama sekali. Maka publik Jakarta melihat memilih Agus sama dengan memilih SBY yang selama 10 tahun gagal total dan tidak membangun apa-apa selain kata akan akan akan akan doang.

Kedua, Anies adalah representasi FPI dan Sandiaga tak usah dihitung sama sekali. Maka warga Jakarta pun dengan mudah akan menganalisis apakah akan menyerahkan pemerintahan DKI Jakarta kepada Anies yang pendukung FPI secara kulturan dan ideologis di tengah Jakarta yang metropolis.

Pun warga DKI Jakarta pencinta pluralisme dan kebhinekaan sebagain besar tentu akan menjauhi Anies Baswedan yang menjadi menteri saja tidak becus maka dipecat oleh Presiden Jokowi. (Anies dipecat karena tak memiliki kemampuan manajerial kompleks dan kalah prestasinya dengan DR (HC) Susi Pudjiastuti yang SMA pun tak tamat hahaha.)

Teori didzolimi karena dipecat tidak bekerja sama sekali karena rakyat DKI Jakarta pada cerdas. Maka pilihan terhadap Anies oleh warga DKI pun menyurut yang tentu mengecewakan Prabowo yang nasionalis sejati dengan partai nasionalis Gerindra. Warga massa pemilih mengambang melihat aliansi dukungan FPI dan partai agama PKS di DKI jelas akan menjauhi Anies Baswedan.

Ketiga, Ahok dinilai menjadi pertaruhan Presiden Jokowi – yang kini didukung oleh sebagian besar partai nasionalis PDIP, Golkar, Hanura, NasDem, dan PPP Djan Fariz. Tentu pemilih warga DKI aliansi partai nasionalis PDIP dan para partai lain tidak akan membiarkan DKI Jakarta jatuh ke tangan Agus yang kepanjangan tangan SBY, atau Anies yang didukung oleh FPI dan partai agama PKS.

Pun gerakan the Operators menyingkirkan dan menangkap semua perpetrators of political turmoil manjadi penyadaran bagi warga DKI Jakarta untuk tidak salah memilih. Thanks to political and social miscalculation of SBY. Dan warga DKI semakin tetap memilih Ahok-Djarot dalam kenyataan rebound consciousnessalias kesadaran yang memantul dan kembali ke semula. Demikian the Operators dan Ki Sabdopanditoratu.

Salam bahagia ala saya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun