Kasus peradilan Ahok semakin mencerahkan bangsa Indonesia dan warga Jakarta. Demo dukungan terhadap FPI menyurut melaun melambat seiring dengan persidangan kasus Ahok. Sementara Rizieq FPI pun hari ini akan menemukan nasib untuk menjadi tersangka di Polda Jabar. Pengompor kasus Ahok yang berteriak tak karuan di Youtube SBY pun gagal memetik buah manis komporannya. Faktor FPI hanya menjadi pemecah suara Anies dan Agus, dan justru membuat Ahok tetap unggul. Kalkulasi oportunitas politik kasus Ahok, FPI, dan Sylvi menjadi boomerang kegagalan misi politik SBY.
Mari kita telaah strategi politik gagal SBY terkait kasus Ahok, pemilihan Sylvi, pemanfaatan FPI, dan silent political power on the hand of the Operators yang menguntungkan Ahok-Djarot dan NKRI mulai menggeliat dengan hati gembira riang ria senang sentosa bahagia menari menyani tertawa ngakak selamanya senantiasa.
SBY adalah kalkulator yang mumpuni soal strategi politik. Hakikat politik yang kejam dan hanya mencari keuntungan diri dan kelompoknya benar-benar dipraktekkan oleh SBY. Bahkan koruptor gantung di Monas Anas Urbaningrum pun menyindir SBY sebagai negarawan-politikus – istilah yang menohok untuk menyebut sikap SBY terkait kekuasaan. Anas mengalami sendiri beserta hampir seluruh pentolan Demokrat seperti Ramadhan Pohan, Muhammad Nazarudin, Murdaya, Bathoegana, Angie, Andi, dsb. menjadi penghuni trali besi hotel prodeo.
Begitu keseleo lidah Ahok mencuat di Youtube dengan manusia kepo Buni Yani menyeruak, maka SBY serta-merta menghitung keuntungan politik untuk Agus, bukan untuk bangsa. Ahok harus dihukum, Ahok harus diadili, Ahok harus … Negara ini negara hukum, blab la blab la. (Hal yang sama tidak dilakukan untuk kasus Rizieq FPI yang menjadi terlapor berbagai kasus.) Pasalnya, SBY hanya menghitung politik sebagai kegunaan dan alat untuk kepentingan diri sendiri.
Gambaran kalkulasi politik di benak SBY jelas. SBY membayangkan Ahok dipenjara dan Agus melenggang dengan mudah menang melawan Anies Baswedan. SBY pun berharap FPI akan sangat berterima kasih kepada SBY karena teriakan-teriakan tentang Ahok di Youtube.
SBY lupa bahwa secara kultural dan etnisitas Rizieq FPI lebih dekat kepada Anies Baswedan dan partai agama PKS dibandingkan dengan partai nasionalis Demokrat. SBY pun gagal paham kalau FPI akan mendukung Anies dari Gerindra karena Fadli Zon dan Fahri Hamzah sangat dekat dengan Rizieq FPI.
SBY pun tidak paham bahwa partai agama PKS pasang kuda-kuda untuk kasus Ahok dan dengan gempita semua kader partai agama PKS turun ke jalanan mendukung sikap FPI pada aksi 212. Hanya segelintir masyarakat yang mendukung gerakan gelora euphoria SBY dan FPI itu.
Surutnya dukungan ini dibuktikan dengan rangkaian selanjutnya demo-demo lanjutan kasus Ahok sepi dari dukungan. Bahkan partai agama PKS yang sebelumnya menjadi pihak yang akan memetik buah berpikir ulang dan mulai kendor dan hanya menyisakan massa FPI dalam demo-demo Ahok. Melempem.
(Begitu pun kalangan Muhammadiyah pun semakin menyadari sikap politik ala Amien Rais yang ditampilkan oleh Din Syamsuddin akan merugikan bagi warga Muhammadiyah secara luas yang sebelumnya menjadi tulang punggung kebhinekaan dan pluralisme. Din Syamsuddin dulu sangat concerned dan cool dan smart terkait masalah kebangsaan berubah menjadi aneh dengan aneka pernyataan mirip sekondannya Amien Rais.)
Kondisi politik zig-zag ini pun ditambah dengan blunder memilih Sylvi sebagai tandem Agus. Harapan perhitungan culun SBY adalah dengan menggaet Sylvi, diharapkan akan memeroleh dukungan warga PNS DKI Jakarta. Padahal senyatanya di mata PNS, Sylvi adalah sosok kontroversial yang tidak menarik bagi kalangan PNS dan warga Betawi. Belakangan kasus Masjid dan Pramuka akan menyeret Sylvi ke kursi terdakwa yang jelas menghantam rencana SBY dengan kasus Ahok. Kini SBY memetik buah strateggi politiknya sendiri dengan Agus kehilangan dukungan.
Perhitungan politik lainnya SBY adalah sikap megalomania-nya. Didorongnya Agus ke Pilkada DKI juga bagian rasa ge-er gede rasa SBY bahwa dirinya masih popular. Ingat kasus SBY melakukan safari mencari muka ke daerah-daerah yang dihantam oleh Presiden Jokowi hanya dengan foto selfie Hambalang. Dan sejak saat itu tidak ada lagi tandingan kunjungan SBY ke daerah atas nama mencari aspirasi rakyat – yang tujuan SBY untuk membandingkan dirinya dengan SBY.