Pasca debat Pilkada DKI II, publik Jakarta semakin mantap menentukan pilihan. Survei LSI menempatkan Ahok teratas, disusul oleh Agus dan di posisi buncit Anies Baswedan. Persaingan antara Agus, Ahok dan Anies untuk merayu warga DKI Jakarta pun dilakukan secara gencar dengan masing-masing pendukung dan para partai. Debat pun menarik perhatian publik. Mendekati pilgub 15 Februari, gambaran dan kecenderungan pemilih semakin tampak. Untuk pemilih akan sangat penting untuk memertimbangkan banyak hal terkait Pilgub DKI Jakarta 2017 ini. Hal ini disebabkan Pilkada DKI adalah barometer Indonesia ke depan dan nasib 9 juta warga DKI dipertaruhkan.
Mari kita telaah kecenderungan peta kekuatan saat ini dan prediksi politik-hukum terkait persaingan Pilgub DKI Jakarta dengan SBY sebagai pendorong Agus dan kasus Ahok yang didukung partai nasionalis PDIP serta Anies yang memanfaatkan FPI sebagai pendukung utama dan partai agama PKS dengan hati gembira ria riang senang bahagia suka-cita tertawa menari menyanyi menertawai SBY senantiasa selamanya.
Latar belakang dan utama para penantang Ahok muncul adalah godaan uang anggaran APBD DKI Jakarta yang Rp 70-an triliun. Maka SBY bersemangat mendorong anaknya jadi gubernur dengan kendaraan tradisional partai nasionalis Demokrat dan PAN, sekondan abadi karena keterkaitan dengan besanan Hatta-SBY.
Pun juga partai agama PKS tak gentar keok melulu menggandeng partai nasionalis Gerindra dan memanfaatkan Prabowo dan akhirnya Anies Baswedan yang chemistry-nya dekat dengan Rizieq FPI pun maju. Sementara petahana berjuang keras melawan FPI sejak lama. Ramai.
Di tengah dukungan para partai tersebut, persaingan di tataran elite partai mengemuka. Elite politik bermain. Akibatnya, peta pertarungan politik Pilkada DKI menjadi panas. Kenapa? Karena Pilkada DKI adalah gambaran dukungan untuk Presiden Jokowi, Prabowo dan berbagai calon lainnya untuk Pilpres 2019.
Prabowo dipastikan maju sebagai capres di 2019 melawan Presiden Jokowi dengan satu catatan UU Pileg dan Pilpres tidak menetapkan presidential threshold 20%. Itulah sebabnya Gerindra dan para partai getol menghapus presidential threshold karena peta dukungan untuk Presiden Jokowi meliputi hampir semua partai kecuali partai agama PKS dan partai nasionalis Gerindra. Dengan adanya presidential threshold 20%, dipastikan kemungkinan Prabowo maju di Pilpres 2019 akan sulit.)
Nah,berbagai kepentingan politik itu harus diurai untuk memberi petunjuk terkini untuk warga DKI Jakarta terkait dengan pemimpin politik mereka. Gubernur bukan pemimpin agama, hanya jabatan pelayan publik dan tidak terkait sama sekali dengan agama apa pun. Dengan uraian itu maka pilihan warga DKI Jakarta menjadi lebih baik dan tidak salah pilih. Untuk itu harus diulas sepak-terjang para calon gubernur dan wagub seperti Agus-Sylvi, Ahok-Djarot, dan Anies-Sandi.
Agus-Sylvi. Saking menariknya APBD yang Rp 70-an triliun itu, SBY pun meminta anaknya yang di militer mundur kabur dari militer. Publik awalnya membayangkan Agus hebat. Namun publik melihat jejak Agus ternyata tidak nyambungan. Hal ini dapat dilihat dari debat I dan II yang tampak menghapal dan celingukan tidak fokus dan jawabannya ngambang.
Omongan tentang kota terapung, membangun tanpa menggusur, menghidupkan BLT oleh Agus adalah foto-kopi SBY. Agus memiliki kecenderungan seperti SBY – tidak tegas, peragu dan gak nyambung. Dalam membuat kebijakan manusia seperti ini hanya akan menghasilkan kebingungan birokrasi. Para pendukung Agus adalah loyalis SBY dengan uang bejibun. SBY menduga dengan mendorong Ahok diadili maka Agus akan berpeluang besar memenangi Pilkada DKI. Hal yang mustahil terjadi sampai kiamat Agus tak akan menang di Pilgub DKI 2017.
SBY sejatinya akan nyaman dengan Agus jika mendapat dukungan FPI dalam kasus Ahok. Nyatanya dukungan FPI diberikan kepada manusia sebangsa yakni Anies Baswedan. SBY pun kehilangan harapan mendapatkan dukungan FPI – yang sudah direbut Anies. Anies Baswedan pun mengunjungi markas FPI dan dielukan untuk memenangi Pilkada DKI.
Memilih Sylvi pun SBY terjebak menjadikan calon tersangka korupsi Pramuka dan Masjid Jakarta Utara. Maka lengkap sudah kegagalan SBY mendorong Agus dengan menjadi kompor kasus Ahok dengan harapan mendapat dukungan FPI. Sylvi pun berteriak seperti para koruptor meski belum jadi tersangka dengan mengatakan didzolimi. Sama dengan omongan koruptor Patrialis Akbar dan bahkan juga Akil Mochtar.
Warna kriminalisasi terhadap Ahok akibat tekanan massa – yang melaun melambat sadar akan kebenaran yang haq dan bathil – menjadi salah satu kartu truf kemenangan bagi SBY dan Agus, serta Anies, dengan kedua pasangan mencoba merebut dukungan FPI. Dipastikan FPI tidak akan mendukung Ahok atau pun Agus. FPI pro Anies Baswedan – dibuktikan dengan kunjungan mesra Anies Baswedan.
Nah, bagi Agus, andalannya adalah loyalis SBY di DKI yang jumlahnya kecil. Maka sesuai survei pun Agus hanya menempati urutan kedua dengan presentasi 25% kurang. Publik pun membayangkan Agus akan sama dengan SBY yang selama 10 tahun tidak menghasilkan karya hebat. SBY tidak berani membubarkan Petral dan mafia migas yang merugikan negara lebih dari Rp 2,000 triliun selama 10 tahun.
Agus yang omongannya ngambang dan menghapal materi debat dilihat oleh publik DKI sebagai tidak mampu memimpin Jakarta. Ditambah dengan Mpok Sylvi yang tersangkut korupsi akan semakin membuat warga DKI menjauhi Agus dan SBY.
Anies-Sandi. Anies Baswedan yang awalnya menjanjikan dan akan dijadikan manusia yang didzolimi oleh Presiden Jokowi karena dipecat, justru makin menunjukkan diri tidak berkualitas. Tidak ada unsur didzolimi dalam pemecatan Anies selain karena Anies memang tidak becus dan layak dipecat. Partai nasionalis Gerindra dan partai agama PKS pun terjebak oleh jebakan media dan ahli strategi kampanye dengan menunjuk Anies.
Dalam debat Anies Baswedan gagal menunjukkan kemampuan manajerial dan intelektualitasnya dengan aneka jawaban yang hanya berupa sindiran. Bukan solusi masuk akal seperti memberikan subsidi untuk sopir angkot: hanya jargon janji semata.
Maka publik Jakarta pun dipastikan tidak akan memilih calon yang kemampuan manajerialnya rendah dengan dibuktikan jadi menteri saja dipecat – kalah sama Menteri Susi yang tidak lulus SMA. Ngurus kementerian saja satu bidang tidak becus, apalagi DKI yang multi dinas, multi-problem. Anies diyakini dan dipastikan tidak mampu menjadi Gubernur DKI Jakarta yang berhasil.
Hal ini ditambah lagi dengan kedekatan Anies Baswedan dengan FPI. Anies yang didukung ormas radikal FPI dipastikan kehilangan dukungan masyarakat Jakarta yang mayoritas tidak mendukung FPI dan juga partai agama PKS. DKI Jakarta tidak pernah dipimpin oleh gubernur yang beraliran non-nasionalis.
Maka mendukung Anies Baswedan akan sangat membingungkan bagi kalangan warga DKI yang nasionalis – sementara yang berpaham FPI dan partai agama PKS juga bukan mayoritas warga DKI Jakarta. Selain kemampuan manajerial yang gagal yang dibuktikan dengan dipecat sebagai Menteri Pendidikan oleh Presiden Jokowi.
Oleh sebab itu elekbilitas Anies-Sandi pun berada di posisi buncit dengan menyisakan hanya 22% dan akan semakin turun.
Ahok yang menjadi terdakwa karena tekanan publik dan komporan omongan nggak karuan SBY, yang dalam kasus Rizieq FPI tidak berteriak sama sekali, sekarang mengalami public consciousness rebound – kesadaran publik yang memantul ke semula alias pulih. Persidangan Ahok semakin menunjukkan peta dukungan kepada Ahok-Djarot.
Hal ini ditambah dengan performa debat yang sudah dijalini yang dengan entengnya pasangan ini mampu menunjukkan kinerja dengan data dan angka. Tidak seperti Agus dan Anies yang hanya bisa mengatakan: kalau, kalau, kalau, atau akan akan akan seperti SBY selama 10 tahun.
Dalam skenario terburuk Ahok dihukum pun ringan 1 tahun atau percobaan, publik Jakarta sadar bahwa Djarot bisa diandalkan sebagai pelaksana tugas Gubernur DKI. Jadi tidak ada alasan bagi publik Jakarta untuk tidak memilih Ahok-Djarot. Pun publik Jakarta mencatat dengan tinta emas kedekatan Anies Baswedan dengan FPI menjadi blunder. Sementara untuk Agus dan Sylvi gambarannya seperti bapak si Agus yakni SBY yang hobinya bilang “akan, akan, akan” sampai menjadi mantan.
Jadi itulah peta politik Pilkada DKI sekaligus gambaran politik lokal DKI yang mewarnai Pilpres 2019.
Salam bahagia ala saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H