Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden Jokowi Redam Radikalisme Terkait Kasus Ahok, Dwi PKS, dan Rizieq FPI

30 Desember 2016   11:02 Diperbarui: 30 Desember 2016   11:20 5574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla I Dok Ninoy N Karundeng motret sendiri

Momentum dan pantulan bola liar radikalisme terjadi. Euforia kemenangan semu radikalisme menemui titik balik. Kasus Ahok Ahok telah dipelintir menjadi kasus berbau kriminalisasi politik-hukum, dengan tekanan massa menjadi panglima bagi keadilan. Kini momentum muncul dan public consciousness terhadap kasus Ahok secara jernih semakin dilihat masyarakat, terlebih setelah muncul pelaporan atas kasus Rizieq FPI. Karenanya, penanganan kasus Ahok dan melawan radikalisme secara tegas justru menjadi pertaruhan terberat Presiden Jokowi dalam menjaga NKRI.

Mari kita telaah momentum penghentian radikalisme dan pertaruhan Presiden Jokowi dan NKRI terkait kasus Ahok, yang melebar ke kasus Dwi Estiningsih, dan berlanjut ke kasus Rizieq FPI, dan radikalisme yang ditunggangi oleh terorisme dan korupsi dengan hati jauh dari gembira ria senang gembira pesta-pora suka-cita menari menyanyi koprol jungkir balik senantiasa selamanya.

Kasus Ahok menjadi ajang berseminya radikalisme. Pun ambisi keserakahan politikus akan kekuasaan menjadi picuan bagi serangan terhadap Ahok – dan Presiden Jokowi. Kasus Ahok yang sejatinya bisa diselesaikan dengan kepala dingin berubah menjadi gerakan massa yang mengarah pada disintegrasi dan mengancam harmoni keberagaman dan kemajemukan bangsa Indonesia.

Radikalisme yang mengarah ke pergesekan di kalangan masyarakat Indonesia yang beragam menjadi tantangan terberat Presiden Jokowi. Ahok pun menjadi semacam model kecil lanjutan dari Presiden Jokowi sebagai gubernur DKI Jakarta. Presiden Jokowi dan Gubernur Ahok adalah pelawan gigih pada korupsi dan radikalisme dengan kendaraan partai nasionalis PDIP dan Golkar serta anak-anaknya selain Gerindra.

Sementara itu Dwi Estiningsih sebagai kader partai agama PKS memang dikenal sebagai garda terdepan penjaga keimanan dan kejumudan para kader partai agama PKS yang mengamalkan doktrin taklid hasil indoktrinasi di sekolah menengah dan universitas kepada pentolan-pentolan politik yang sekaligus dijadikan dan digelari ustadz atau ustadzah tanpa memerhatikan siapa pun dia. Maka dalam budaya taklid ala PKS, manusia semacam Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, Hidayat Nur Wahid, Tifatul Sembiring pun digelari gelar ustadz.

Manusia semacam Dwi Estiningsih ini pun memiliki pengikut yang mengelu-elukan dan mendorong-dorong agar Dwi PKS menjadi semakin militant dan teguh melawan dirinya dan orang lain dalam soal pahlawan kafir. Tentu perhitungan Dwi PKS disebabkan oleh momentum merebaknya radikalisme yang tengah menjadi bagian euphoria kemenangan semu bagi kalangan garis keras dan bahkan teroris pun menyelinap mendompleng memanfaatkan momentum.

Lain Dwi PKS, lain pula Rizieq FPI yang menjadi pentolan pengawal fatwa MUI – di tengah pertanyaan tentang eksistensi MUI maka mengaum keras – menjadi panglima dan komandan yang meneriakkan anti pimpinan politik non-Muslim dan sangat anti-Ahok. FPI yang merupakan kelompok terdepan dengan sikap tegas, keras dan tanpa kompromi dalam menegakkan keyakinan, dengan orasi para pentolan mereka yang berteriak-teriak penuh semangat juang, memiliki pendukung militan yang berdiri dan duduk mendukung setiap orasi Rizieq.

Manusia semacam Rizieq FPI pun disegani dan ditakuti oleh lawan dan kawan. Organisasi massa FPI di masa lalu berani melakukan razia dan bahkan menolak dengan tegas dan keras serta melawan norma hukum negara terkait pejabat negara yang haram hukumnya jika tidak beragama Islam. Salah satunya yang ditentang habis-habisan adalah Ahok yang kebetulan sebagai warga negara Indonesia etnis Tionghoa dan Kristen pula – berbeda dengan Rizieq FPI yang etnis Arab.

Bahkan sejak lama SBY pun tidak berani bertindak tegas meluruskan sikap keras FPI dalam berorasi dan menentang Ahok – bahkan satu paket dengan Jokowi dalam Pilgub DKI 2012. MUI pun pada 2012 mengeluarkan fatwa yang mengarah pada ajakan tidak memilih Jokowi-Ahok. Padahal UUD dan UU Pilkada menjamin setiap warga negara dipilih dan tidak dipilih terlepas dari keyakinan dan agamanya.

Sikap terbuka mengafirkan orang baik seagama maupun berbeda agama dan menentang orang lain – dari perspektif sempit pribadi – dan perbedaan politik dan akidah hendak dijadikan dasar penentuan pemimpin politik. Padahal politik dan agama adalah dua hal yang tak bisa disatukan. Politik – dengan demikian pemimpin politik seperti  presiden, gubernur, walikota dan bupati – adalah entitas duniawi. Sementara agama adalah urusan manusia dengan Tuhan atau Dewa yang sangat pribadi dan bukan ranah ubyang-ubyung pamer kekuatan untuk menekan orang lain.

Pembiaaran terhadap bibit-bibit radikalisme menemukan tempat bersemainya ketika Ahok keseleo lidah dan berani menyeberang mengutip kalimat – yang Gus Dur sering ucapkan. Namun, jelas terdapat pembeda antara Gus Dur yang pemimpin agama dan ulama besar NU yang diikuti oleh jutaan Nahdliyin dengan Ahok yang hanya seorang pribadi dengan agama berbeda – dan kebetulan berani melawan korupsi. Maka keseleo lidah itu menjadi momentum yang bergerak liar menciptakan disintegrasi dan keteteraman kehidupan bermasyarakat dan beragama.

Umat Islam terpecah menjadi tiga bagian dalam menghadapi kasus Ahok. Yang (1) umat yang menganggap kasus Ahok adalah kasus politis dan kriminalisasi-politik. Yang (2) umat yang yakin terjadi penistaan agama seperti yang diyakini oleh FPI dan MUI, dan yang (3) netral dan tidak memahami isu tentang kasus Ahok. Mayoritas umat Islam jelas menganggap kasus hukum diselesaikan sesuai hukum – karena telanjur masuk pengadilan dan ditunggu hasilnya.

Namun demkian, lagi-lagi Rizieq FPI kembali berkoar-koar memaksakan kehendak pada pengadilan untuk menghukum Ahok disertai dengan ancaman jika tidak dihukum maka Rizieq FPI mengajak untuk melakukan ‘revolusi’, seperti yang disampaikan di Medan.

Kalangan politikus pun berasyik-masyuk demi kekuasaan seperti SBY yang berteriak-teriak tak karuan terkait ucapan Ahok, namun diam seribu bahasa dan ngacir ketakutan ketika kasus Dwi PKS dan Rizieq FPI merebak di media sosial. Sikap pengecut dan rakus demi kekuasaan SBY muncul dengan penerapan standard ganda atau trisula. Kasus Ahok diteriakkan karena anaknya si Agus hendak didorong jadi gubernur, sementara Dwi PKS dan Rizieq FPI tak memberi manfaat pada pencalonan Agus jika SBY berteriak-teriak lewat Facebook sebagaimana meneriaki kasus Ahok.

Polri dan Presiden Jokowi menghitung dengan cermat dalam menghadapi situasi politik dan sosial yang begitu panas. Maka langkah dan strategi yang terbaik yang bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dan aparat keamanan adalah dengan mengatur dan menunjukkan ketegasan terhadap radikalisme untuk menjadi deterrent bagi para pelaku radikalisme dan teroris.

Maka (1) TNI-Polri bersinergi melakukan penindakan dan mencegah terorisme untuk menunjukkan ketegasan terhadap radikalisme dan terorisme yang ditindak dengan penuh kekuatan dan tanpa kompromi. Kalau perlu tembak di tempat seperti yang tengah dilakukan untuk membunuhi teroris dan terduga teroris.

Selanjutnya (2) sidang pengadilan kasus Ahok harus dilakukan secara terbuka dan dengan melakukan buying time untuk mengatur dan menghindari tekanan dalam suasana euphoria kemenangan radikalisme. Kasus Ahok akan diputuskan dalam suasana politik tanpa tekanan setelah penetralan terhadap ancaman tekanan massa berkurang dan dibonsai.

Sebagai penawarnya, Polri harus bertindak strategis dan tegas untuk menindaklanjuti kasus Dwi PKS dan Rizieq FPI agar terjadi keseimbangan rasa dan suasana – dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Warga non-Muslim dan Kristen yang berkepentingan dengan proses hukum tidak perlu pamer kekuatan seperti yang dilakukan oleh FPI dan para simpatisannya.

Kemudian (3) secara politis, religius, dan kemasyarakatan pelemahan gerakan radikalisme secara masif harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan aparat keamanan dan intelejen. Penguatan kesadaran berbangsa harus diarahkan menuju keberagaman dan pluralisme kehidupan berbangsa dalam wadah NKRI – bukan radikalisme dan terorisme. Kelompok Islam terbesar yakni kaum Nahdliyin – dan sebagian kecil warga Muhammadiyah – harus dijadikan garda depan bagi pembendung gerakan radikal.

Seterusnya, (4) bibit makar dan terdakwa makar harus diproses secara hukum dengan mengedepankan prinsip ketegasan dan tanpa kompromi. Polri harus bisa membuktikan bahwa meraka yang ditangkap seperti Sri Bintang Pamungkas dan kawan-kawan termasuk yang ngeper mewek seperti Rachmawati pun jika memang ada bukti harus dihukum sesuai dengan ketentuan.

Dan, (4) dengan UU ITE maka segala bentuk ujaran kebencian dan pengajakan terhadap terorisme, radikalisme, dan permusuhan harus dibabat habis oleh Polri agar menjadi peringatan bahwa tidak ada ruang untuk tumbuhnya paham dan gerakan anti keberagaman di wilayah Indonesia.

Seterusnya, (5) Presiden Jokowi harus merapatkan barisan dengan para parpol untuk meminta komitmen politik pendukung Presiden Jokowi-Jusuf Kalla untuk bersatu-padu memertahankan NKRI. Politikus belok kanan cenderung nyinyir dalam kasus Ahok dan pembela gerakan makar harus dibungkam dan mulutnya diatur agar tidak menimbulkan kekisruhan di masyarakat. Pas benar Prabowo pun sangat mendukung pendiaman kasus makar meski menyeret para pentolan partai nasionalis Gerindra.

Presiden Jokowi sangat memahami bahwa kasus Ahok harus dihentikan dari menjadi bola liar dengan ketegasan dan strategi tepat dan tegas karena menyangkut pertaruhan bagi Presiden Jokowi sendiri dan juga kehidupan berbangsa di Indonesia. Pun Presiden Jokowi memahami bahwa Negara Indonesia dengan seluruh aparat keamanan TNI-Polri tidak boleh kalah oleh teror, terorisme, radikalisme, dan teroris.

Presiden Jokowi memahami dan berani bertindak untuk menyelamatkan Indonesia dengan mendorong pengadilan – sebagai momentum mendinginkan gerakan radikalisme – sebagai penawar keseimbangan dengan Polri menyikapi secara tegas dan adil kasus Dwi PKS dan Rizieq FPI sebagaimana kasus Ahok.

Jadi, dengan lima langkah tersebut Presiden Jokowi bukan hanya menyelamatkan diri sendiri terkait dengan radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia, namun juga bagi kekuasaan Presiden Jokowi sendiri yang didukung rakyat secara demokratis dan konstitusional. Kini saatnya Presiden Jokowi dan Polri bertindak tepat dan tegas dengan momentum tepat sebagaimana diuraikan di atas.

Salam bahagia ala saya.

Catatan: Foto di atas adalah hasil moto sendiri Ninoy N Karundeng bukan hasil dari Mbah Google.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun