Umat Islam terpecah menjadi tiga bagian dalam menghadapi kasus Ahok. Yang (1) umat yang menganggap kasus Ahok adalah kasus politis dan kriminalisasi-politik. Yang (2) umat yang yakin terjadi penistaan agama seperti yang diyakini oleh FPI dan MUI, dan yang (3) netral dan tidak memahami isu tentang kasus Ahok. Mayoritas umat Islam jelas menganggap kasus hukum diselesaikan sesuai hukum – karena telanjur masuk pengadilan dan ditunggu hasilnya.
Namun demkian, lagi-lagi Rizieq FPI kembali berkoar-koar memaksakan kehendak pada pengadilan untuk menghukum Ahok disertai dengan ancaman jika tidak dihukum maka Rizieq FPI mengajak untuk melakukan ‘revolusi’, seperti yang disampaikan di Medan.
Kalangan politikus pun berasyik-masyuk demi kekuasaan seperti SBY yang berteriak-teriak tak karuan terkait ucapan Ahok, namun diam seribu bahasa dan ngacir ketakutan ketika kasus Dwi PKS dan Rizieq FPI merebak di media sosial. Sikap pengecut dan rakus demi kekuasaan SBY muncul dengan penerapan standard ganda atau trisula. Kasus Ahok diteriakkan karena anaknya si Agus hendak didorong jadi gubernur, sementara Dwi PKS dan Rizieq FPI tak memberi manfaat pada pencalonan Agus jika SBY berteriak-teriak lewat Facebook sebagaimana meneriaki kasus Ahok.
Polri dan Presiden Jokowi menghitung dengan cermat dalam menghadapi situasi politik dan sosial yang begitu panas. Maka langkah dan strategi yang terbaik yang bisa dilakukan oleh Presiden Jokowi dan aparat keamanan adalah dengan mengatur dan menunjukkan ketegasan terhadap radikalisme untuk menjadi deterrent bagi para pelaku radikalisme dan teroris.
Maka (1) TNI-Polri bersinergi melakukan penindakan dan mencegah terorisme untuk menunjukkan ketegasan terhadap radikalisme dan terorisme yang ditindak dengan penuh kekuatan dan tanpa kompromi. Kalau perlu tembak di tempat seperti yang tengah dilakukan untuk membunuhi teroris dan terduga teroris.
Selanjutnya (2) sidang pengadilan kasus Ahok harus dilakukan secara terbuka dan dengan melakukan buying time untuk mengatur dan menghindari tekanan dalam suasana euphoria kemenangan radikalisme. Kasus Ahok akan diputuskan dalam suasana politik tanpa tekanan setelah penetralan terhadap ancaman tekanan massa berkurang dan dibonsai.
Sebagai penawarnya, Polri harus bertindak strategis dan tegas untuk menindaklanjuti kasus Dwi PKS dan Rizieq FPI agar terjadi keseimbangan rasa dan suasana – dengan kewaspadaan tingkat tinggi. Warga non-Muslim dan Kristen yang berkepentingan dengan proses hukum tidak perlu pamer kekuatan seperti yang dilakukan oleh FPI dan para simpatisannya.
Kemudian (3) secara politis, religius, dan kemasyarakatan pelemahan gerakan radikalisme secara masif harus dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi dan aparat keamanan dan intelejen. Penguatan kesadaran berbangsa harus diarahkan menuju keberagaman dan pluralisme kehidupan berbangsa dalam wadah NKRI – bukan radikalisme dan terorisme. Kelompok Islam terbesar yakni kaum Nahdliyin – dan sebagian kecil warga Muhammadiyah – harus dijadikan garda depan bagi pembendung gerakan radikal.
Seterusnya, (4) bibit makar dan terdakwa makar harus diproses secara hukum dengan mengedepankan prinsip ketegasan dan tanpa kompromi. Polri harus bisa membuktikan bahwa meraka yang ditangkap seperti Sri Bintang Pamungkas dan kawan-kawan termasuk yang ngeper mewek seperti Rachmawati pun jika memang ada bukti harus dihukum sesuai dengan ketentuan.
Dan, (4) dengan UU ITE maka segala bentuk ujaran kebencian dan pengajakan terhadap terorisme, radikalisme, dan permusuhan harus dibabat habis oleh Polri agar menjadi peringatan bahwa tidak ada ruang untuk tumbuhnya paham dan gerakan anti keberagaman di wilayah Indonesia.
Seterusnya, (5) Presiden Jokowi harus merapatkan barisan dengan para parpol untuk meminta komitmen politik pendukung Presiden Jokowi-Jusuf Kalla untuk bersatu-padu memertahankan NKRI. Politikus belok kanan cenderung nyinyir dalam kasus Ahok dan pembela gerakan makar harus dibungkam dan mulutnya diatur agar tidak menimbulkan kekisruhan di masyarakat. Pas benar Prabowo pun sangat mendukung pendiaman kasus makar meski menyeret para pentolan partai nasionalis Gerindra.